Pangeran Suryanata
Posted: Minggu, 26 Agustus 2012 by Rusman Effendi in
0
Pada suatu malam Lambung
Mangkurat bermimpi bahwa almarhum ayahandanya menceritakan bahwa Raja Majapahit
ketika bertapa mendapat seorang putera yang layak untuk menjadi suami Putri
Junjung Buih. Di dalam mimpinya diceritakan bahwa semula Raja Majapahit
mendapat nasihat dari seorang tua supaya bertapa di gunung Majapahit dan kelak
malaikat dari kayangan akan memberikan baginda seorang putera. Jika baginda
menjaga anak ini baik-baik, kekuasaan dan kemasyhurannya akan bertambah luas.
Selain itu sebagai tanda rahmat kebahagiaan, akan lahir lagi enam orang anak.
Pada keesokan harinya, Raja Majapahit berangkat bertapa ke gunung tersebut.
Sesudah empat puluh hari lamanya beliau bertapa, baginda benar-benar mendapat
karunia seorang putra yang diberi nama Raden Putra. Kemudian baginda kembali ke
istana. Sesudah beberapa lama akhirnya lahir enam orang anak, tiga orang putra
dan tiga orang putri. Kekuasaan Majapahit kian hari kian bertambah besar.
Demikianlah cerita yang disampaikan oleh almarhum ayahandanya di dalam mimpi.
Berdasarkan mimpinya itu, Lambung
Mangkuratpun memerintahkan dengan segera untuk menyiapkan kapal Si Prabayaksa
dan kapal-kapal lainnya. Selain Wiramartas, ikut pula empat orang patih serta
sepuluh orang nakhoda, Puspawana, Wangsanala, dan Sarageni. Rombongan ini
berangkat dari Negaradipa dan langsung dipimpin oleh Lambung Mangkurat. Tidak
lama kemudian sampailah mereka di pelabuhan Majapahit.
Ketika Syahbandar Pelabuhan
Majapahit menerima kabar tersebut, maka iapun pergi ke pangkalan untuk
menyaksikan sendiri orang asing yang datang itu. Betapa terkejut hatinya ketika
melihat begitu banyak kapal yang berlabuh, sehingga keluar dari mulutnya:
“selama orang-orang asing datang ke sini, belum pernah seperti ini”! Syahbandar
Pelabuhan Majapahit segera kembali dengan membawa kabar, bahwa orang-orang
asing itu berasal dari Negara Dipa di bawah pimpinan Lambung Mangkurat. Mereka
datang dengan maksud mengunjungi Raja Majapahit. Dengan segera Syahbandar
pelabuhan pergi ke istana kerajaan Majapahit dan menyampaikan laporan kepada
Patih Gajah Mada. Kemudian Patih Gajah Mada menyampaikan berita ini kepada Raja
Majapahit.
Berita kedatangan Lambung Mangkurat ini menimbulkan kekhawatiran Raja Majapahit, yang selama ini tidak pernah merasa gentar kepada raja asing mana pun. Meskipun demikian, beliau tetap mempersilakan Lambung Mangkurat untuk menghadap. Dengan berpakaian kebesaran yang gemerlapan, berangkatlah Lambung Mangkurat menunggang kuda putih didampingi oleh para pengawal yang bersenjata pedang.Para
patih, hulubalang dan nakhoda-nakhoda berbaris pula mengikuti mereka dengan
pakaian kebesaran yang indah. Paling belakang terdapat barisan dari lima ratus tentara yang berjalan kaki dan lima ratus orang yang menunggang kuda.
Arak-arakan seindah itu belum pernah terlihat di Majapahit.
Sesudah tiga hari, barisanpun sampai di dalamkota .
Di Sitiluhur telah menunggu Patih Gajah Mada, Arya Dilah, Arya Jamba, Rangga
Lawe, Arya Sinom, Kuda Pikatan, Hajaran Panulih, dan Dipati Lampur. Sejurus
kemudian terdengarlah dentuman senapan yang memberikan tanda bahwa raja akan
keluar dari istana. Dengan diiringi bunyi gamelan, raja berjalan keluar. Di
atas panggung terdengar gamelan membunyikan lagu lokananta, sedang di Paseban
dibunyikan galaganjur. Tombak upacara, bendera, dan panji-panji dibawa ke
hadapan raja. Beberapa rombongan masing-masing terdiri atas empat puluh orang,
datang berbaris dengan memakai pakaian seragam yang indah. Kemudian raja duduk
di Sitiluhur, sedangkan untuk pengawalan ditempatkan Singanegara (polisi)
sebanyak empat ratus orang di sekeliling istana. Di hadapan raja duduk pula dua
ratus orang wanita dengan memakai sarung yang keemas-emasan. Mereka adalah para
pengiring yang diwajibkan untuk membawa keperluan-keperluan raja, seperti
tikar, kendi, alat merokok, dan sebagainya. Lambung Mangkurat dipersilakan
masuk ke ruang tamu istana didampingi oleh empat orang patih yang duduk di
belakangnya.
Tak lama kemudian Patih Gajah Mada memasuki ruang tamu. Beliau menyalami tangan Lambung Mangkurat, kemudian menanyakan maksud kedatangannya. “Kami datang untuk menghadap Raja Majapahit”! kata Lambung Mangkurat. Kemudian Patih Gajah Mada menanyakan lagi apa gerangan yang diinginkan Lambung Mangkurat yang lain. Kalau diperkanankan ia akan membawa anak Raja Majapahit ke Negara Dipa untuk dikawinkan dengan Putri Junjung Buih, raja dari kerajaan Negara Dipa. Sesudah itu Lambung Mangkurat juga menyerahkan bingkisan-bingkisan yang berharga.
Patih Gajah Mada kemudian menerangkan bahwa baginda tidak mempunyai anak lagi. Enam orang putra-putri telah kawin semuanya. Kemudian Lambung Mangkurat menerangkan bahwa ia hanya menghendaki putera Raja Majapahit yang diperoleh dari bertapa. Akhirnya Raja Majapahit berjanji akan menyerahkan sesudah tujuh hari kepada Lambung Mangkurat. Kemudian Raja Majapahit meninggalkan ruang tamu dengan diiringi bunyi gamelan. Patih Gajah Mada ditunjuk untuk menjamu Lambung Mangkurat beserta pengiringnya.
Tujuh hari tujuh malam secara terus-menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang gedog, dan sebagainya. Selain itu, diadakan pula pertandingan ketangkasan keprajuritan. Setelah tiba waktunya, benarlah raja dengan ikhlas menyerahkan putranya yang bernama Raden Putra. Lambung Mangkurat mendapat banyak hadiah dari Raja Majapahit untuk dibawa pulang seperti dua payung besar, dua payung kertas, dua bedil cacorong, satu keris Jaka Piturun, satu gamelan Si Rarasati, satu babande Si Macan, satu pepatuk Si Mundaran.
Raden Putra pun diusung dalam tandu dibawa menuju ke pelabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan dalam empat hari sampailah di Pendamaran. Angin tiba-tiba berhenti bertiup, reda, teduh, dan laut menjadi tenang. Apapun juga telah diperbuat, namun kapal yang ditumpangi Raden Putra tak juga bergerak. Semuanya telah putus asa. Ketika itu berkatalah Raden Putra bahwa ada dua ekor naga putih, yang merupakan rakyat dari Putri Junjung Buih melilit dan menahan kapal. Raden Putra menyatakan bahwa dia siap melompat ke laut untuk mengusirnya. Sekarang Lambung Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putra. Lambung Mangkurat yang semula tidak menunjukkan ketakutan terhadap Raja Majapahit, kini menghatur sembah kepada Raden Putra. Raden Putra meminta supaya menunggu tiga hari kepada Lambung Mangkurat. Jika sesudah tiga hari belum timbul juga, haruslah dilakukan puja bantani, karena dengan melakukan puja tersebut tentu dia akan segera timbul kembali.
Dengan hati yang berdebar-debar setelah mereka menunggu selama tiga hari, tetapi Raden Putra belum timbul juga. Wiramartaspun lalu diutus lebih dahulu untuk mengambil kerbau, kambing, dan ayam ke Negara Dipa. Diapun juga diwajibkan untuk membawa menteri-menteri untuk menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit. Setelah Wiramartas tiba di Negara Dipa membawa berita, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa pun memerintahkan menteri-menteri berlayar ke Pendamaran.
Sesudah diadakan upacara puja bantani tujuh hari tujuh malam, tampaklah tiba-tiba Raden Putra muncul ke permukaan air dengan muka berseri-seri dan bercahaya, memakai baju sutera kuning yang indah dan menakjubkan, serta kaki Raden Putra bepijak di atas sebuah gong besar. Setelah Raden Putra naik ke geladak kapal, Lambung Mangkurat mengait gong besar itu dengan paradah. Oleh karena itu, gong besar tersebut sampai sekarang tetap dikenal dengan nama Si Rabut Paradah.
Raden Putra selanjutnya bergelar Suryanata. Surya artinya matahari, nata artinya raja. Tempat berhenti dan memuja di Pendamaran itu sampai sekarang dinamai Perbantanan. Kemudian pelayaran diteruskan menyusuri sungai menuju Negara Dipa. Suryanata mendapat tempat tinggal di istana yang pernah didiami oleh Empu Jatmika. Dari daerah Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Pitap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sabangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang datanglah rakyat berduyun-duyun menyampaikan penghormatan kepada Raden Suryanata. Empat puluh hari, empat puluh malam lamanya diadakan perayaan dan pertunjukan, wayang, topeng, rakit, joget. Pada tengah malam pemuda-pemudi para pembesar kerajaan mendirikan padudusan (tempat upacara mandi), sedang orang-orang yang disebut “kadang haji” diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana, pagungan, sitiluhur dan paseban dihiasi dengan indah.
Dari segala pelosok membanjirlah rakyat hendak menyaksikan dan mengagumi kemeriahan upacara perkawinan Putri Junjung Buih dengan Raden Putra Suryanata. Pada hari upacara padudusan, Suryanata memakai pakaian upacara perkawinan, demikian pula halnya dengan Raja Junjung Buih. Putri Junjung Buih berpakaian dengan hanya boleh dihadiri oleh empat puluh orang gadis dan wanita-wanita dari pembesar istana. Sebagai selendang dipakaikanlah kain yang dikenakan puteri ketika baru timbul dari dalam air. Putri Junjung Buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis yang jelita. Semuanya memakai baju sutera kuning, sedang pengiring buat Suryanata adalah anak-anak para menteri yang diwajibkan antara lain membawa alat-alat merokok, alat menginang, tikar dan sebagainya. Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki dibungkus dengan sutera kuning.
Setelah Suryanata selesai berpakaian, diapun melangkah keluar, dan tiba-tiba terdengarlah suara: “Oh Raden Suryanata, janganlah turun sebelum memakai Mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi raja lebih besar dari raja-raja di bawah angin”. Selanjutnya suara gaib itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian dapat menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan, atau menjadi lebih besar atau menjadi lebih kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok, dialah yang dapat menjadi raja. Dengan sangat khidmat Raden Suryanata mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibuat oleh para gadis disambutnyalah mahkota itu dan diletakkan di kepala. Raden Suryanata kemudian duduk dalam sebuah usungan.
Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan rentetan dentuman bedil serta tepuk sorak dari rakyat, maka usungan pun diusung menuju istana mempelai perempuan. Sampai di sini maka Putri Junjung Buihpun dijemput dan arak-arakan terus menuju ke padudusan. Kedua mempelai turun dari usungan dan duduk di atas empat kepala kerbau dan kemudian naik di panggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara terkemuka dan penghulu dari bujangga-bujangga di padudusan. Dengan penuh hormat dan khidmat Lambung Mangkurat mula-mula menyiramkan air mandi di atas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megatsari, Temenggung Tatah Jiwa, dan penghulu tertinggi dari bujangga-bujangga, yang melakukan penyiraman sambil mengucap mantera dan doa selamat. Ketika telah selesai dengan upacara itu, ditaburkanlah beras kuning dan mata uang berpuluh-puluh ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan rentetan dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Kedua mempelai dibawa ke istana. Di sini kedua pengantin makan bersama-sama dengan nasi adap-adap, sedangkan menteri-menteri pun mendapat bagiannya pula. Sesudah berlangsung tiga hari, tiga malam, barulah kedua mempelai berkumpul, pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang menggembirakan ini, gong Si Rabut Paradah dipalu, sedang rarancakan Si Rarasati dibunyikan dan senapan-senapan ditembakkan berdentum-dentuman. Kebiasaan seperti ini masih terus berlaku terutama pada upacara perkawinan kaum bangsawan.
Masih tujuh hari tujuh malam perayaan diteruskan bertempat di Paseban. Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, dan kecakapan bermain senjata. Keempat puluh orang anak dara mendapat kewajiban masing-masing, diantaranya menjadi parakan, penjogetan, penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih pinang, dan alat perhiasan.
Setiap Sabtu raja memberikan kesempatan bawahan dan rakyat untuk menghadapnya di Sitiluhur. Tidak berapa lama kemudian, permaisuri hamil. Karena permaisuri mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka dikirimlah utusan ke Majapahit untuk mengambilkan buah yang diinginkan itu. Sekadar bahan bingkisan untuk Raja Majapahit dikirim seperti lilin, damar, rotan, tikar, dan dua buah intan yang besar.
Sumber : Hikayat Banjar
Diketik ulang : Rusman Effendi
Harap mencantumkan link asal kalau copy paste .....
Berita kedatangan Lambung Mangkurat ini menimbulkan kekhawatiran Raja Majapahit, yang selama ini tidak pernah merasa gentar kepada raja asing mana pun. Meskipun demikian, beliau tetap mempersilakan Lambung Mangkurat untuk menghadap. Dengan berpakaian kebesaran yang gemerlapan, berangkatlah Lambung Mangkurat menunggang kuda putih didampingi oleh para pengawal yang bersenjata pedang.
Sesudah tiga hari, barisanpun sampai di dalam
Tak lama kemudian Patih Gajah Mada memasuki ruang tamu. Beliau menyalami tangan Lambung Mangkurat, kemudian menanyakan maksud kedatangannya. “Kami datang untuk menghadap Raja Majapahit”! kata Lambung Mangkurat. Kemudian Patih Gajah Mada menanyakan lagi apa gerangan yang diinginkan Lambung Mangkurat yang lain. Kalau diperkanankan ia akan membawa anak Raja Majapahit ke Negara Dipa untuk dikawinkan dengan Putri Junjung Buih, raja dari kerajaan Negara Dipa. Sesudah itu Lambung Mangkurat juga menyerahkan bingkisan-bingkisan yang berharga.
Patih Gajah Mada kemudian menerangkan bahwa baginda tidak mempunyai anak lagi. Enam orang putra-putri telah kawin semuanya. Kemudian Lambung Mangkurat menerangkan bahwa ia hanya menghendaki putera Raja Majapahit yang diperoleh dari bertapa. Akhirnya Raja Majapahit berjanji akan menyerahkan sesudah tujuh hari kepada Lambung Mangkurat. Kemudian Raja Majapahit meninggalkan ruang tamu dengan diiringi bunyi gamelan. Patih Gajah Mada ditunjuk untuk menjamu Lambung Mangkurat beserta pengiringnya.
Tujuh hari tujuh malam secara terus-menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang gedog, dan sebagainya. Selain itu, diadakan pula pertandingan ketangkasan keprajuritan. Setelah tiba waktunya, benarlah raja dengan ikhlas menyerahkan putranya yang bernama Raden Putra. Lambung Mangkurat mendapat banyak hadiah dari Raja Majapahit untuk dibawa pulang seperti dua payung besar, dua payung kertas, dua bedil cacorong, satu keris Jaka Piturun, satu gamelan Si Rarasati, satu babande Si Macan, satu pepatuk Si Mundaran.
Raden Putra pun diusung dalam tandu dibawa menuju ke pelabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan dalam empat hari sampailah di Pendamaran. Angin tiba-tiba berhenti bertiup, reda, teduh, dan laut menjadi tenang. Apapun juga telah diperbuat, namun kapal yang ditumpangi Raden Putra tak juga bergerak. Semuanya telah putus asa. Ketika itu berkatalah Raden Putra bahwa ada dua ekor naga putih, yang merupakan rakyat dari Putri Junjung Buih melilit dan menahan kapal. Raden Putra menyatakan bahwa dia siap melompat ke laut untuk mengusirnya. Sekarang Lambung Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putra. Lambung Mangkurat yang semula tidak menunjukkan ketakutan terhadap Raja Majapahit, kini menghatur sembah kepada Raden Putra. Raden Putra meminta supaya menunggu tiga hari kepada Lambung Mangkurat. Jika sesudah tiga hari belum timbul juga, haruslah dilakukan puja bantani, karena dengan melakukan puja tersebut tentu dia akan segera timbul kembali.
Dengan hati yang berdebar-debar setelah mereka menunggu selama tiga hari, tetapi Raden Putra belum timbul juga. Wiramartaspun lalu diutus lebih dahulu untuk mengambil kerbau, kambing, dan ayam ke Negara Dipa. Diapun juga diwajibkan untuk membawa menteri-menteri untuk menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit. Setelah Wiramartas tiba di Negara Dipa membawa berita, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa pun memerintahkan menteri-menteri berlayar ke Pendamaran.
Sesudah diadakan upacara puja bantani tujuh hari tujuh malam, tampaklah tiba-tiba Raden Putra muncul ke permukaan air dengan muka berseri-seri dan bercahaya, memakai baju sutera kuning yang indah dan menakjubkan, serta kaki Raden Putra bepijak di atas sebuah gong besar. Setelah Raden Putra naik ke geladak kapal, Lambung Mangkurat mengait gong besar itu dengan paradah. Oleh karena itu, gong besar tersebut sampai sekarang tetap dikenal dengan nama Si Rabut Paradah.
Raden Putra selanjutnya bergelar Suryanata. Surya artinya matahari, nata artinya raja. Tempat berhenti dan memuja di Pendamaran itu sampai sekarang dinamai Perbantanan. Kemudian pelayaran diteruskan menyusuri sungai menuju Negara Dipa. Suryanata mendapat tempat tinggal di istana yang pernah didiami oleh Empu Jatmika. Dari daerah Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Pitap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sabangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang datanglah rakyat berduyun-duyun menyampaikan penghormatan kepada Raden Suryanata. Empat puluh hari, empat puluh malam lamanya diadakan perayaan dan pertunjukan, wayang, topeng, rakit, joget. Pada tengah malam pemuda-pemudi para pembesar kerajaan mendirikan padudusan (tempat upacara mandi), sedang orang-orang yang disebut “kadang haji” diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana, pagungan, sitiluhur dan paseban dihiasi dengan indah.
Dari segala pelosok membanjirlah rakyat hendak menyaksikan dan mengagumi kemeriahan upacara perkawinan Putri Junjung Buih dengan Raden Putra Suryanata. Pada hari upacara padudusan, Suryanata memakai pakaian upacara perkawinan, demikian pula halnya dengan Raja Junjung Buih. Putri Junjung Buih berpakaian dengan hanya boleh dihadiri oleh empat puluh orang gadis dan wanita-wanita dari pembesar istana. Sebagai selendang dipakaikanlah kain yang dikenakan puteri ketika baru timbul dari dalam air. Putri Junjung Buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis yang jelita. Semuanya memakai baju sutera kuning, sedang pengiring buat Suryanata adalah anak-anak para menteri yang diwajibkan antara lain membawa alat-alat merokok, alat menginang, tikar dan sebagainya. Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki dibungkus dengan sutera kuning.
Setelah Suryanata selesai berpakaian, diapun melangkah keluar, dan tiba-tiba terdengarlah suara: “Oh Raden Suryanata, janganlah turun sebelum memakai Mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi raja lebih besar dari raja-raja di bawah angin”. Selanjutnya suara gaib itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian dapat menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan, atau menjadi lebih besar atau menjadi lebih kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok, dialah yang dapat menjadi raja. Dengan sangat khidmat Raden Suryanata mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibuat oleh para gadis disambutnyalah mahkota itu dan diletakkan di kepala. Raden Suryanata kemudian duduk dalam sebuah usungan.
Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan rentetan dentuman bedil serta tepuk sorak dari rakyat, maka usungan pun diusung menuju istana mempelai perempuan. Sampai di sini maka Putri Junjung Buihpun dijemput dan arak-arakan terus menuju ke padudusan. Kedua mempelai turun dari usungan dan duduk di atas empat kepala kerbau dan kemudian naik di panggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara terkemuka dan penghulu dari bujangga-bujangga di padudusan. Dengan penuh hormat dan khidmat Lambung Mangkurat mula-mula menyiramkan air mandi di atas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megatsari, Temenggung Tatah Jiwa, dan penghulu tertinggi dari bujangga-bujangga, yang melakukan penyiraman sambil mengucap mantera dan doa selamat. Ketika telah selesai dengan upacara itu, ditaburkanlah beras kuning dan mata uang berpuluh-puluh ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan rentetan dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Kedua mempelai dibawa ke istana. Di sini kedua pengantin makan bersama-sama dengan nasi adap-adap, sedangkan menteri-menteri pun mendapat bagiannya pula. Sesudah berlangsung tiga hari, tiga malam, barulah kedua mempelai berkumpul, pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang menggembirakan ini, gong Si Rabut Paradah dipalu, sedang rarancakan Si Rarasati dibunyikan dan senapan-senapan ditembakkan berdentum-dentuman. Kebiasaan seperti ini masih terus berlaku terutama pada upacara perkawinan kaum bangsawan.
Masih tujuh hari tujuh malam perayaan diteruskan bertempat di Paseban. Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, dan kecakapan bermain senjata. Keempat puluh orang anak dara mendapat kewajiban masing-masing, diantaranya menjadi parakan, penjogetan, penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih pinang, dan alat perhiasan.
Setiap Sabtu raja memberikan kesempatan bawahan dan rakyat untuk menghadapnya di Sitiluhur. Tidak berapa lama kemudian, permaisuri hamil. Karena permaisuri mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka dikirimlah utusan ke Majapahit untuk mengambilkan buah yang diinginkan itu. Sekadar bahan bingkisan untuk Raja Majapahit dikirim seperti lilin, damar, rotan, tikar, dan dua buah intan yang besar.
-oOo-
Sumber : Hikayat Banjar
Diketik ulang : Rusman Effendi
Harap mencantumkan link asal kalau copy paste .....