Legenda Telaga Bidadari di Kandangan
Posted: Rabu, 13 Mei 2015 by Rusman Effendi in
0
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya.
Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
Akan tetapi, pada suatu hari
suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun
serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang mereka.
ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu
beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.
Awang Sukma tidak putus
asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu
indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga
pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri.
Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia
tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari
negeri jauh. Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang
membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling
menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah berapa lama ia terbuai
mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap
yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka
bersembur-semburan air. Aku ingin melihat mereka dari dekat,gumam
Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui
orang yang sedang diintip.
Legenda Telaga Bidadari Dari
tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk
menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di
kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
Puas
bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain
sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah
seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung
(tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam
kindai (lumbung tempat menyimpan padi). Ketika ketujuh putri ingin mengenakan
pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak menemukan
pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang hilang
pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri
bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa
kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari
tempat persembunyiannya. “Tuan Putri
jangan takut dan sedih,” bujuk
Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama
hamba.” Tidak ada alasan bagi putri
bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Awang Sukma merasa bahwa putri
bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi
istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan
kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah
cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan
kulitnya mewarisi kecantikan ibunya. Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada
yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma
selama ini akhirnya tercium baunya. Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali.
Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya
yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas
lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek
dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai. Putri bungsu memburunya. Tidak
sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri
bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya
setelah melihat isi bumbung itu. “Ternyata,
suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama
kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap
pakaian itu.
Perasaan putri bungsu berkecamuk
sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih.
Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya. “Aku harus kembali,” katanya dalam hati. Kemudian,
putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang
belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil
menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma
terjaga.
Awang Sukma terpana ketika
menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian
itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin
ditunda lagi. “Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri
kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri,
masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan.
Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang
menjumpainya.” Putri bungsu pun terbang
dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan
istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa
dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya
ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma bersumpah dan
melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka
bagi dirinya. Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama
Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah
Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten
Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai sekarang, Telaga Bidadari
banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam
hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu
Suling.