Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Pangeran Hidayatullah

Posted: Rabu, 19 Oktober 2011 by Rusman Effendi in
2






Pangeran Hidayatullah diangkat menjadi Sultan Banjar berdasarkan Surat Wasiat Kakek beliau Sultan Adam. Pengangkatan ini dilakukan karena ayah Pangeran Hidayatullah, Sultan Muda Abdurrahman wafat.

Lahir di Martapura pada tahun 1822 M, di-didik secara Islami dipesantren Dalam Pagar Kalampayan ( Didirikan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari, salah seorang tokoh Agama Islam di Nusantara ) sehingga memiliki ilimu kepemimpinan serta keagamaan yang cukup tinggi untuk kemudian dipersiapkan menjadi Sultan.

Sebelum menjadi Sultan sempat menduduki jabatan sebagai Mangkubumi kesultanan pada tahun 1855 M. Pada saat itu jabatan Mangkubumi diangkat oleh Kolonial Belanda dengan persetujuan Sultan Adam. Dengan menduduki jabatan tersebut maka Pangeran Hidayatullah bisa lebih memahami & menyelami kondisi Kesultanan maupun rakyat Banjar, serta mengetahui kekuatan dan kelemahan kolonial Belanda (spionase), hal tersebut sangat berguna untuk persiapan perang.

Akibat campur tangan berulang-ulang pihak Belanda dalam pemerintahan Kesultanan, pemaksaan monopoli perdagangan, konsesi-konsesi pertambangan yang sepihak, serta kuatnya misi kaum nasrani ( Zending ) yang masuk kedalam benua banjar dengan dukungan tentara Hindia Belanda, maka mengakibatkan kebencian rakyat yang sangat mendalam. Perselisihan-persilisihan itu telah sangat lama terjadi, semenjak Kesultanan dipimpin oleh Sultan Suriansyah (~ 1600 M). Kebencian yang tak dapat lagi didiamkan, harus di tuntaskan, Sultan dan Rakyat bersatu untuk mengadakan perang Jihad Fisabilillah.

Sebelum dan ketika perang Sultan mengangkat beberapa Panglima perang karena luasnya areal medan pertempuran. Dari sebelah barat, Kesultanan Sambas, Sampit, Sangau, Kotawaringin, Pagatan bahkan jauh ke timur Kesultanan Pasir maupun Kesultanan Kutai dll. Dipersiapkan oleh Pangeran Hidayatullah sebagai areal perang maupun penyokong Perang Banjar .

Beberapa kutipan dari buku-buku karya Hindia Belanda.

“ Hidayat telah merencanakan dan mempersiapkan pemberontakan yang kemudian akan meluas diseluruh kerajaan “.
“ ..... Loera housin telah menerima dari Hidayat batu permata untuk menghasut penduduk daerah itu melawan gubernemen “.
“ ..... Hidayat sebulan yang lalu berada di gunung Batu Tiris telah mengadakan rapat akbar yang dihadiri para kepala “.
“ ..... seorang bernama Doelmatalip di Nagara telah menerima sepucuk surat dari Hidayat guna memanggil rakyat untuk melakukan perang Sabil “. (De Bandjermasinsche Krijg hal 14,20,31 & 71)

Pengangkatan salah satu pimpinan perangnya seperti berikut ;

“ Surat Seruan Pangeran Hidajatoellah ;
Dengan ini saya menganugrahkan kepada seorang rakyat bernama Gamar gelar Tumenggung Cakra Yuda dan dengan ini pula memperkenankan kepadanya melakukan Perang Sabilullah untuk menegakkan kejayaan agama dan ajaran Nabi Muhammad Rasululloh SAW.

Selanjutnya saya memaklumkan, bahwa pengangkatan ini tidak dapat diubah lagi, sehingga dengan demikian Tuan dapat mengadakan musyawarah atau persetujuan dengan Mufti Muhammad Cholid (mufti gubernemen), Mufti Abdul Jalil, Pangulu Machmud (pengulu gubernemen Martapura , Tuan Chalifah Idjra-ie (bertugas melakukan penyumpahan para saksi di Mahkamah Militer di Martapura), semua haji yang di Dalam Pagar ( tempat tinggal para ulama ) dan yang ada di mana-mana dan semua kepala didalam perang ini disamping semua penduduk kampung, baik lelaki maupun perempuan, yang masih terikat kepada Al Khaliq dan Rasulnya.
Bilamana ada diantara mereka yang tidak memperhatikan atau ada yang menentang peraturan yang telah saya keluarkan, maka saya memperkenankan kepada Tuan untuk menghukumnya sampai mati dengan jalan dipancung kepalanya dan menghancurkan harta bendanya. Dalam hal Tuan tidak melaksanakan kemauan saya ini dengan seksama dan tidak memperhatikan semua perintah yang telah saya keluarkan dengan persetujuan orang tua saya , maka Tuan dan seluruh keturunan Tuan selama lamanya akan terkutuk.
Saya memohon semoga Yang Maha Kuasa akan memperkenankan harapan saya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan dari Dayak Dari, Dayak Dusun (Tanah Dusun) dan Dayak Biajau menyerang dan menghancurkan Martapura. Oleh karena yang disebut diatas masih orang kafir (belum Islam) maka akan merupakan suatu kebajikan apabila mereka ikut menghancurkan musuh-musuh Nabi .
Surat ditulis Pangeran Hidajatoellah tanggal 22 Jumadil Awal 1277 / 10 Desember 1860 ditandatanganinya dan juga oleh Pangeran Wira Kusumah (masing-masing cap dan Pangeran Hidajatoellah dengan cap Sulthan).

Surat itu diperlihatkan oleh Gamar kepada Resident ketika ia ditangkap oleh Belanda"
(De Bandjarmasinsche Krijg halaman 162 & 163) .

Setelah Pengangkatan-pengangkatan dan persiapan-persiapan yang matang maka dikobarkanlah Perang Banjar pada tanggal 28 April 1859 dengan semboyan Beatip Beamal Fisabilillah secara serempak.

Jalannya peperangan terekam dalam beberapa tulisan berikut :
“ Sambil bertandak dan berdoa mereka menerobos sampai 10 langkah dari carre` ( formasi tempur berbentuk persegi empat ); meriam houwitser diisi lagi. “Tembak !!” , kedengaran dari mulut komandan, akan tetapi baik pipa houwitser maupun beberapa bedil macet. Beberapa orang musuh sekarang datang melalui houwitser masuk kedalam carre’: dengan pemimpinnya yang berpakaian kuning di muka sekali. Kopral Smit mendapat tusukan tombak pada saat akan memasang lagi isian bedil; van Halderen mendapat dua sabetan klewang yang mematikan pada saat akan memasang lagi pipa yang baru. Pistol kepunyaan van der Heijden juga macet, ketika ia akan menembak kepala penyerbu itu. Kepala yang gagah berani ini telah menerjangnya dan akan menekankan ujung tombak ke dadanya. Koch segera melompat, menangkis dengan pedang tusukan itu, akan tetapi ia sendiri terpanggang tusukan tombak dan keris, dan jatuh tersungkur”. (De Bandjermasinsche Krijg hal. 205)

“ Tentara (Hindia Belanda) telah mempertahankan kehormatan namanya, banyak perwira dan prajurit telah menunjukan keluarbiasaanya, banyak yang mengucurkan darahnya, banyak yang mengorbankan nyawanya.

Celakanya, terlalu sering !
Barisan menjadi tipis, rumah-rumah sakit dan kapal-kapal pengangkut diisi penuh prajurit yang kelelahan karena perang.

Terlalu sering kita ini wajib mengganti pasukan, dan menggantikannya dengan yang baru, yang didatangkan dari Jawa; bahkan demikian seringnya, sehingga kita dalam melukiskan jalannya peperangan segera berhenti memuat semua mutasi !!!”.
(De Bandjermasinsche Krijg hal. 395 )

Perang yang tidak berkesudahan, kekalahan yang terus menerus, kematian prajurit maupun pimpinan tentara Hindia Belanda yang tiada henti, sungguh membuat bingung, lelah dan frustasi, sehingga dipersiapkanlah cara-cara yang sangat keji dan licik. Sebuah tipu muslihat yang sangat tidak pantas dipersiapkan untuk memperoleh suatu kemenangan dalam peperangan.

Penipuan itu dimulai dengan ditangkapnya Ratu Siti , Ibunda Sultan Hidayatullah, kemudian Pihak Belanda menulis surat atas nama Ratu Siti kepada Sultan, agar mengunjungi beliau sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti…, padahal semua itu hanya rekayasa & tipuan tanpa pernah Ratu Siti membuat surat tersebut. Ketika bertemu dengan Ibunda Ratu Siti ditangkaplah Sultan Hidayatullah dan diasingkan ke Cianjur. Penangkapannya dilukiskan pihak belanda :

“ Pada tanggal 3 Maret 1862 diberangkatkan ke Pulau Jawa dengan kapal perang ‘Sri Baginda Maharaja Bali’ seorang Raja dalam keadaan sial yang dirasakannya menghujat dalam, menusuk kalbu karena terjerat tipu daya. Seorang Raja yang pantas dikasihani daripada dibenci dan dibalas dendam, karena dia telah terperosok menjadi korban fitnah dan kelicikan yang keji setelah selama tiga tahun menentang kekuasaan kita (Hindia Belanda) dengan perang yang berkat kewibawaanya berlangsung gigih, tegar dan dahsyat mengerikan. Dialah Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin yang oleh rakyat dalam keadaan huru-hara dinobatkan menjadi Raja Kesultanan yang sekarang telah dihapuskan (oleh kerajaan Hindia Belanda), bahkan dia sendiri dinyatakan sebagai seorang buronan dengan harga f 1000,- diatas kepalanya.

Hanya karena keberanian, keuletan angkatan darat dan laut (Hindia Belanda) dia berhasil dipojokan dan terpaksa tunduk.

Itulah dia yang namanya :

Pangeran Hidajat Oellah
Anak resmi Sultan muda Abdul Rachman dst, dst, dst….. “.

(Buku Expedities tegen de versteking van Pangeran Antasarie, gelegen aan de Montallatrivier. Karya J.M.C.E. Le Rutte halaman 10).

Dengan penangkapan Sultan ini maka berakhirlah peperangan besar yang terjadi, peperangan yang terjadi berikutnya dilukiskan oleh tentara Hindia Belanda sebagai pemberontakan-pemberontakan kecil.

“Dengan Hidayat, pengganti sah dari Sultan Adam, rakyat yang memberontak itu kehilangan tonggak penunjangnya; dengan Hidayat, pemimpin Agama, para pemimpin agama kehilangan senjata yang paling ampuh untuk menghasut rakyat; oleh kepergian Hidayat, hilanglah semua khayalan untuk memulihkan kembali kebesaran dan kekuasaan Kerajaan Banjar, dengan kepergian Hidayat maka pemberontakan memasuki tahap terakhir”
(De Bandjermasinsche krijg hal. 280)

“Dengan Hidayat hilanglah semua khayalan, hasrat suci yang berlebihan, pendorong semangat dan penyebab dari perang ini”
(De Bandjermasinsche Krijg hal. 342)


Makam Pangeran Hidayatullah di Cianjur Jawa Barat



Peninggalan Beliau di Cianjur, yang sekarang ada Pada Keluarga Besar Pangeran Hidayatullah


Demang Lehman

Posted: Selasa, 18 Oktober 2011 by Rusman Effendi in
0


Kiai Demang Lehman adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar. Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar. Demang Lehman semula merupakan seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah sejak tahun 1857. Demang Lehman lahir di Martapura pada tahun sekitar 1837, mula-mula bernama Idis. Oleh karena kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran Hidayatullah, dia diangkat menjadi Kiai sebagai Kepala Distrik Riam Kanan.

Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri almarhum Sultan Adam, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil di daerah Barito, Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah Tanah Laut.

Daftar Isi
1 Bulan April 1859
2 Benteng Munggu Thayor
3 Serbuan terhadap Belanda di Keraton Bumi Selamat 30 Agustus 1859
4 Pertempuran di Benteng Tabanio
5 Pertempuran di Benteng Gunung Lawak 27 September 1859
6 Mendatangkan senjata
7 Tiga lokasi pertempuran
8 Pertemuan Para Pejuang di Kandangan
9 Belanda Mendirikan Benteng
10 Haji Isa
11 6 Oktober 1861
12 9 Oktober 1861
13 Perundingan 30 Januari 1862
14 Surat Pemberitahuan Pangeran Hidayat 31 Januari 1862
15 Pangeran Hidayat ke Batavia
16 Penipuan keji 2 Maret 1862
17 Demang Lehman digantung
18 Rujukan .

Bulan April 1859
Pada awal Perang Banjar yaitu sekitar akhir bulan April 1859 Demang Lehman memimpin kekuatan dan penggempuran di sekitar Martapura (kabupaten Banjar) dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin. Selanjutnya Demang Lehman diperintahkan mempertahankan kota Martapura, karena pusat pemerintahan Kerajaan oleh Pangeran Hidayat dipindahkan ke kota Karang Intan. Bersama-sama Pangeran Antasari, Demang Lehman menempatkan pasukan di sekitar Masjid Martapura dengan kekuatan 500 orang dan sekitar 300 orang di sekitar Keraton Bumi Selamat.

Benteng Munggu Dayor
Pada akhir tahun 1859 pasukan rakyat yang dipimpin oleh Demang Lehman, Pangeran Antasari, Tumenggung Antaluddin, Pambakal Ali Akbar berkumpul di benteng Munggu Thayor. Demang Lehman terlibat dalam pertempuran sengit di sekitar Munggu Thayor. Belanda menilai tentang Demang Lehman sebagai musuh yang paling ditakuti dan paling berbahaya dan menggerakkan kekuatan rakyat sebagai tangan kanan dari Pangeran Hidayat. Demang Lehman menyerbu Martapura dan melakukan pembunuhan terhadap pimpinan militer Belanda di kota Martapura.

Serbuan terhadap Belanda di Keraton Bumi Selamat 30 Agustus 1859
Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang Lehman berangkat menuju Keraton Bumi Selamat dengan 3000 kekuatan dan secara tiba-tiba mengejutkan Belanda karena melakukan serangan secara tiba-tiba, menyebabkan Belanda kebingungan menghadapinya, hingga hampir menewaskan Letnan Kolonel Boon Ostade. Dalam serangan tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang kuda dengan gagah berani mengejar Letnan Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke Keraton Bumi Selamat ini gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang berkumpul melakukan inspeksi senjata. Pertempuran sengit terjadi, sehingga anggota Demang Lehman kehilangan 10 orang yang menjadi korban, begitu pula pihak Belanda berpuluh-puluh yang jatuh korban.

Pertempuran di Benteng Tabanio
Sementara itu kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman dalam sebuah pertempuran yang mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan Laut Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9 orang serdadu Belanda tewas, dan terpaksa pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri dengan menderita kekalahan. Serangan kedua oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Penghulu Haji Buyasin. Karena serangan serdadu Belanda didukung oleh angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu benteng Tabanio, Demang Lehman berserta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai bahwa kemenangan terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya, kalau diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan 15 buah meriam, dan sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman.

Pertempuran di Benteng Gunung Lawak 27 September 1859
Selanjutnya Demang Lehman memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan Gunung Lawak di Tanah Laut. Benteng itu terletak di atas bukit, di setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam. Pertempuran memperebutkan benteng ini terjadi pada tanggal 27 September 1859. Dalam pertempuran yang sengit dan pasukan Demang Lehman mempertahankan benteng Gunung Lawak dengan gagah berani, akhirnya mengorbankan lebih dari 100 gugur dalam pertempuran ini. Belanda sangat bangga dengan kemenangannya ini sehingga dilukiskannya sebagai salah satu pertempuran yang indah di tahun 1859. Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang Lehman, sebab mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang sabil, dan mati dalam perang adalah mati syahid. Bahkan pasukan Kolonel Andresen banyak korban dalam perjalanan naik perahu ketika menuju ke Banjarmasin, bahkan Kolonel Andresen sendiri hampir tewas dalam serangan mendadak ini.

Mendatangkan senjata
Pangeran Antasari dan Demang Lehman mencoba mendatangkan senjata dengan cara mengirim utusan ke Kesultanan Kutai, Pasir dan Pagatan. Tetapi rupanya sudah diketahui oleh Belanda, sehingga Belanda menekan semua raja-raja yang membantu Pangeran Antasari dan Demang Lehman. Meskipun demikian Demang Lehman memperoleh sebanyak 142 pucuk senapan dan beberapa buah meriam kecil (lila), tetapi sayang ketika senjata ini dalam perjalanan diangkut dengan perahu dirampas oleh Belanda di tengah laut.

Tiga lokasi pertempuran
Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran terpencar dalam 3 lokasi, yaitu di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di sepanjang Sungai Barito. Medan pertempuran di sekitar Banua Lima dibawah pimpinan Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja, medan yang kedua dibawah pimpinan Demang Lehman, sedangkan medan ketiga dibawah pimpinan Pangeran Antasari.

Pertemuan Para Pejuang di Kandangan
Pada bulan September 1859 Demang Lehman, bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran Muhammad Aminullah, Tumenggung Jalil berangkat menuju Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) untuk merundingkan bentuk perlawanan terhadap Belanda dan sikap serta siasat yang ditempuh selanjutnya. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pejuang dari segala pelosok. Dari pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, bahwa pimpinan-pimpinan perang menolak tawaran Belanda untuk berunding. Pertemuan menghasilkan pula bentuk perlawanan yang terarah dan meluas dengan cara : 31 M
1. Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai.
2. Membuat dan memperkuat pertahanan di daerah Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
3. Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di wilayah Dusun Atas.
4. Mengusahakan tambahan senjata.
Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa para pejuang tersebut bersumpah mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar. Mereka akan berjuang tanpa kompromi Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, berjuang sampai titik darah yang penghabisan.

Belanda Mendirikan Benteng
Untuk melumpuhkan perjuangan rakyat Belanda mendirikan benteng-benteng. Di daerah Tapin, diperkuat Belanda benteng Munggu Dayor yang telah direbutnya dari pasukan Demang Lehman. Di daerah Kandangan (kabupaten Hulu Sungai Selatan), didirikan pula benteng dikenal sebagai benteng Amawang. Demang Lehman dan pasukannya merencanakan untuk menyerang benteng Belanda di Amawang ini. Demang Lehman berhasil menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke dalam benteng sebagai pekerja Belanda. Informasi dari kedua pekerja ini Demang Lehman bertekad akan menyerbu benteng Belanda tersebut. Pihak Belanda memperoleh informasi bahwa rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu benteng Amawang. Dengan dasar informasi ini, pasukan Belanda dibawah pimpinan Munters membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring. Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai Paring, Demang Lehman menyerbu benteng Amawang pada sekitar jam 02.00 siang hari tanggal 31 Maret 1860, dengan 300 orang pasukannya Demang Lehman menyerbu benteng tersebut. Ketika pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam benteng tersebut mengamuk dan menjadikan serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya. Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas dalam benteng dan sementara itu pertempuran sengit terjadi. Pasukan Munters ternyata kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai Paring. Datangnya bantuan kekuatan ini, menyebabkan Demang Lahman dan pasukannya mundur. Demang Lehman mundur di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadi pertempuran. dalam pertempuran itu komandan pasukan Belanda Van Dam van Isselt tewas dan beberapa orang serdadu menjadi korban keganasan perang. Demang Lehman meneruskan ke daerah Barabai membantu pertahanan Pangeran Hidayatullah dan pengiringnya. G.M. Verspyck berusaha keras untuk menghancurkan kekuatan Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman yang berkedudukan di sekitar Barabai. G.M. Verspyck mengerahkan serdadu dari infantri batalyon ke 7, batalyon ke 9 dan batalyon ke 13. Batalyon ke 13 berjumlah 210 orang serdadu dibawah pimpinan Kapten Bode dan Rhode. Pasukan ini diikutkan pula 100 orang perantaian yang bertugas membawa perlengkapan perang dan makanan.
Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran Hidayatullah ini disertai pula kapal-kapal perang Suriname, Bone, Bennet dan beberapa kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada tanggal 18 April 1850 telah memasuki Sungai Ilir Pamangkih. Karena banyak rintangan yang dibuat, maka kapal-kapal perang tidak dapat memasukinya, serdadu Belanda terpaksa menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat serangan dari kelompok Haji Sarodin yang menggunakan lila dan senapan lantakan. Dalam pertempuran ini Haji Sarodin tewas, tetapi dia berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda. Pertempuran terjadi pula di Walangku dan Kasarangan dan Pantai Hambawang. Dengan teriakan Allahu Akbar, rakyat menyerbu serdadu Belanda yang bersenjata lengkap. Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin mati dalam perang melawan Belanda adalah mati syahid.

Demang Lehman dan Pangeran Hidayatullah berusaha keras dan penuh keberanian menahan serangan serdadu Belanda. Tetapi karena jumlah personil Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, maka diambil suatu siasat mundur. Pangeran Hidayatullah mengundurkan diri ke Aluwan, sedangkan Demang Lehman bertahan di kampung Pajukungan. Akhirnya Belanda berhasil menduduki Barabai setelah meninggalkan banyak korban. Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat ternyata tidak berhasil, karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.

Belanda berusaha memikat Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dengan segala cara agar menghentikan perlawanannya terhadap Belanda. Belanda kemudian menempuh jalan untuk menangkap kedua tokoh pejuang itu hidup atau mati, dan mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat agar dapat membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan adalah dengan mengeluarkan pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda. Harga kepala Pangeran Hidayatullah adalah sebesar f 10.000,- dan Demang Lehman sebesar f 2.000,- Nilai uang sebesar itu dapat memikat hati setiap orang yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang yang memegang sumpah Haram manyarah, waja sampai kaputing, tidak tergoyah hatinya mendengar janji-janji seperti itu, kecuali bagi mereka yang mengingkari sumpah, menghianati perjuangan bangsa dan yang lemah imannya terhadap prinsip perang sabil.

Haji Isa
Meskipun segala usaha telah gagal, Belanda tetap berusaha untuk menangkapnya dengan cara apapun. Pemerintah Belanda mengutus Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan pemerintah Belanda terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayat, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan tugas misinya terhadap Demang Lehman. Demang Lehman langsung menjawab menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen G.M. Verspyck.

Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayat asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang Lehman selalu merasa curiga dengan keinginan Belanda untuk mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai raja di Martapura, karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi pasukannya. Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya. Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan akan mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh pejuang yang mengiringi Demang Lehman adalah : Kiai Darma Wijaya, Kiai Raksa Pati, Kiai Mas Cokro Yudo, Kiai Puspa Yuda Negara, Gusti Pelanduk, Pembekal Awang, Kiai Jaya Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana, Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal Unus, Tumenggung Gamar dan lain-lain.

6 Oktober 1861
Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman memasuki kota Martapura disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam pertemuan empat mata dengan Demang Lehman, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji akan memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji menentap di Martapura, di Banjarmasin atau Pelaihari dan mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerjsama seperti semula. Janji Residen itu tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya kepada perjuangan dan sumpah perjuangan lebih tinggi nilainya dari pada kepentingan diri sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya. Hasil pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayat dan akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti.

9 Oktober 1861
Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda dan meminta agar Demang Lehman kembali ke Martapura. Tanggal 30 Desember 1861 Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen berjanji bahwa Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung dan jikalau perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman. Tanggal 3 Januari 1862 Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862 Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu. Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pamenang. Dalam perjanjian itu Ratu Siti ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Paauw Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran Hidayatullah yang masih menetap di Tamunih.

Perundingan 30 Januari 1862
Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayatullah berangkat dari Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan dan 3 hari kemudian sampai di Awang Bangkal dan baru tanggal 28 Januari 1862 tiba di Martapura. Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati di Martapura. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat. Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada jam 10.30 pagi. Pihak Belanda terdiri dari :
1. Letkol Residen G.M. Verspyck
2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
3. Lettu J.J.W.E. Verstege, Controleur afdeeling Kuin
4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent Martapura
6. Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura
7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam Kanan
8. Haji Isa
9. Tumenggung Jaya Leksana

Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri dari 23 orang diantaranya adalah :
1. Pangeran Hidayatullah
2. Kiai Demang Lehman
3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran Hidayat
4. Pangeran Sahel, anak Pangeran Hidayat
5. Pangeran Abdul Rahman, anak.
6. Pangeran Kasuma Indra, menantu
7. Gusti Ali Basah, menantu
8. Raden Jaya Kasuma, ipar
9. Gusti Muhammad Tarip

Surat Pemberitahuan Pangeran Hidayat 31 Januari 1862
Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat (Martapura).
Tujuan menghalalkan cara itulah yang dilakukan Belanda. Dalam situasi yang terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya.
Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862. Surat Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi :
  1. Surat ini tidak berisikan perintah, karena saya telah meletakkan dengan sukarela hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
  2. Karena mendengarkan nasihat yang salah, saudara-saudara memberontak terhadap pemerintah Belanda, saudara menempuh jalan yang salah.
  3. Saudara telah melihat bahwa Pemerintah Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia tidak hanya mementingkan kemakmuran rakyat yang baik, tapi juga bersikap lembut dan satria terhadap musuh-musuhnya.
  4. Kepada rakyat Banjar saya mohon supaya menghentikan segala permusuhan, saudara-saudara yang masih melawan kembalilah ke rumah saudara-saudara dan carilah mata pencaharian yang damai dan jujur, sehingga drama pembunuhan dan permusuhan dapat dihentikan.
  5. Letakkan senjata saudara, mohonkan ampun dengan sungguh-sungguh dan saya yakin bahwa Pemerintah Belanda akan memberinya dengan jiwa besar.
  6. Jangan sekali-kali mendengarkan perintah pemimpin-pemimpin yang terus berkeras meneruskan peperangan, baik perintah dari Pangeran Antasari, Pangeran Aminullah dan orang jahat lainnya.
  7. Saya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti kepentingan saudara-saudara, dan kepentingan mereka sendiri dan saudara-saudara untuk keselamatan saudara-saudara sendiri dan demi kecintaan kepada saya, berkewajiban untuk menangkapi dan menyerahkan pemimpin rakyat yang jahat itu kepada Gubernurmen.
  8. Saya sendiri memberi saudara contoh penyerahan diri itu, saudara-saudara melihat bagaimana yang saya dapatkan.
  9. Saya sudah mencoba supaya mereka yang masih melawan mau menyerah.
  10. Semakin cepat bekas-bekas perang yang mencelakakan ini dapat dihilangkan, semakin cepat saudara-saudara mendapatkan pengampunan dari Allah Yang Maha Tinggi untuk bencana yang selama lebih dua tahun melanda penduduk Banjar.
  11. Allah Yang Maha Tinggi dan arwah-arwah nenek moyang (raja-raja) dan kuburnya akan mengutuk kalian, terutama pemimpin-pemimpin rakyat yang masih melawan, apabila permintaan saya yang terakhir ini tidak dipenuhi.

Pangeran Hidayat dibantu Demang Lehman Batal ke Batavia
Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan Residen G.M. Verspyck yang bertindak sebagai Wakil Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang memberi pengampunan dan melupakan apa yang terjadi pada masa lampau dengan syarat bahwa Pangeran Hidayat harus berangkas ke Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran diperkenankan membawa keluarga yang disukainya dan sebelum berangkat harus menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang sudah dibubuhi cap dan tanda tangan Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan keberatan atas kepergian ke pulau Jawa tersebut, Residen menjawab bahwa bagi Pangeran perlu menikmati istirahat.
Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat kecewa terhadap sikap Belanda untuk memberangkatkan Pangeran Hidayat ke pulau Jawa. Demang Lehman berusaha mengajak Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon kepada Residen agar keputusan pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan. Demang Lehman berusaha untuk menggagalkan keberangkatan ini dan ketika rombongan Pangeran berangkat pada pagi hari tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman telah siap dengan pasukannya untuk menggagalkannya. Perahu yang membawa Pangeran dibelokkan ke rakit batang pohon pada rumah yang dulu pernah dijadikan tempat tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Pangeran terus dilarikan. Belanda tidak dapat bertindak apa-apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke luar kampung Pasayangan, Residen mengerahkan kekuatannya untuk menangkap Pangeran.
"Seluruh kampung Pasayangan sampai kampung Kertak Baru dibakar Belanda. Masjid Martapura yang indah yang dibangun lebih dari 140 tahun yang lalu digempur dan dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari 1862 merupakan saksi kebengisan dan kebrutalan penjajah Belanda terhadap rakyat Banjar yang tidak berdosa."

Penipuan Keji 2 Maret 1862
Penipuan itu dimulai dengan ditangkapnya Ratu Siti , Ibunda Sultan Hidayatullah, kemudian Pihak Belanda menulis surat atas nama Ratu Siti kepada Sultan, agar mengunjungi beliau sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti…, padahal semua itu hanya rekayasa & tipuan tanpa pernah Ratu Siti membuat surat tersebut. Ketika bertemu dengan Ibunda Ratu Siti ditangkaplah Sultan Hidayatullah dan diasingkan ke Cianjur. Penangkapannya dilukiskan pihak belanda :
“ Pada tanggal 3 Maret 1862 diberangkatkan ke Pulau Jawa dengan kapal perang ‘Sri Baginda Maharaja Bali’ seorang Raja dalam keadaan sial yang dirasakannya menghujat dalam, menusuk kalbu karena terjerat tipu daya. Seorang Raja yang pantas dikasihani daripada dibenci dan dibalas dendam, karena dia telah terperosok menjadi korban fitnah dan kelicikan yang keji setelah selama tiga tahun menentang kekuasaan kita (Hindia Belanda) dengan perang yang berkat kewibawaanya berlangsung gigih, tegar dan dahsyat mengerikan. Dialah Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin yang oleh rakyat dalam keadaan huru-hara dinobatkan menjadi Raja Kesultanan yang sekarang telah dihapuskan (oleh kerajaan Hindia Belanda), bahkan dia sendiri dinyatakan sebagai seorang buronan dengan harga f 10.000,- diatas kepalanya.
Hanya karena keberanian, keuletan angkatan darat dan laut (Hindia Belanda) dia berhasil dipojokan dan terpaksa tunduk.
Itulah dia yang namanya :
Pangeran Hidajat Oellah
Anak resmi Sultan muda Abdul Rachman dst, dst, dst….. “.
( Buku Expedities tegen de versteking van Pangeran Antasarie, gelegen aan de Montallatrivier. Karya J.M.C.E. Le Rutte halaman 10).
Baru tanggal 3 Maret 1862 Pangeran Hidayat setelah kembali tertipu kemudian diangkut dengan kapal Van OS berangkat dari Martapura keesokan harinya dan terus merapat ke kapal Bali untuk selanjutnya diangkut ke Batavia. Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur disertai sejumlah keluarga besar kerajaan yang terdiri dari : seorang permaisuri Ratu Mas Bandara, sejumlah anak kandung dari permaisuri, menantu-menantu, saudara-saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri dan anak buahnya, budak laki-laki dan perempuan, semua berjumlah 64 orang

Demang Lehman digantung
Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, Batulicin, Tanah Bumbu. Dia tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan Shalat subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian diangkut ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadap pejuang yang tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1862. Pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahannya menaiki tiang gantungan tanpa mata ditutup.Urat mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Tiada ada satu keluarganyapun yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga yang menyambut mayatnya. Setelah selesai digantung dan mati, kepalanya dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga dimakamkan tanpa kepala.
mayatnya dimakamkan tanpa kepala. Al-Fatihah buat sidin…..

Sumber : Facebook Pangeran Hidayatullah Al Watsiqubillah

Panglima Batur

Posted: Senin, 17 Oktober 2011 by Rusman Effendi in
0






Panglima Batur adalah salah seorang pejuang Perang Banjar (Bandjermasinsche Krijg), yakni perang antara dua bangsa dan pemerintahan yang berdaulat, yakni antara bangsa Banjar di Kesultanan Banjarmasin di satu pihak yang wilayah utamanya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang dengan pihak Belanda. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku yang ada dalam wilayah teritorial Kesultanan Banjar seperti suku Banjar, Bukit, dan Dayak (a.l. suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai) baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan adalah ”Bangsa Banjar”.

Panglima Batur berasal dari suku Dayak beragama Islam di daerah Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Sebagai panglima ia mengabdi kepada pemerintahan Pegustian yakni pemerintahan kelanjutan Kesultanan Banjar di hulu Sungai Barito. Setelah Perang Banjar meletus pada tahun 1859, maka kemudian perang ini meluas hingga ke hulu Barito. Pangeran Antasari sebagai pimpinan perang mampu menyatukan kalangan pejuang dari etnis Banjar dan Dayak untuk bersama-sama melawan Belanda. Selepas Antasari meninggal di tahun 1862 di Bayan Begok daerah Puruk cahu, pimpinan perlawanan diteruskan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman, dan ia dibantu oleh pengikut setianya yakni Panglima Batur. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan Panglima Batur pada hakikatnya adalah untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah Banjar dari penguasaan Belanda.

Panglima Batur bersama Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”.

Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Sepeninggal Sultan, Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya.

Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya.

Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.

Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ lama Banjarmasin di tepian Sungai Martapura, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar” Jalan Mesjid Jami Banjarmasin (Dikutip a.l. dari Buku Sejarah Banjar; foto Panglima Batur koleksi keluarga alm. H.M. Yakub Amin —lahir 1915, pensiunan TNI tahun 1950— diwarisi dari orang tua beliau, di Jalan Panglima Batur, Banjarmasin).

Sumber dari Bubuhan Banjar

Pangeran Antasari

Posted: Selasa, 11 Oktober 2011 by Rusman Effendi in
1

Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II, Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan. Pewaris Kerajaan Banjar.

Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin Pangeran Antasarie Gusti Inu Kartapati Masa kekuasaan 14 Maret 1862-11 Oktober 1862 Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809 meninggal di Bayan Begok, 11 Oktober 1862 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/ Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.

Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan :
Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!

Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi. Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Perlawanan terhadap Belanda Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

...dengan tegas kami terangkan kepada tuan : Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...

Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda :
- Pangeran Antasari dengan anak-anaknya 
- Demang Lehman 
- Amin Oellah 
- Soero Patty dengan anak-anaknya 
- Kiai Djaya Lalana 
- Goseti Kassan dengan anak-anaknya

Meninggal dunia Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. 

Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.[20] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/ Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan Pangeran Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000.

Mudah mudahan amal ibadah dan perjuangan beliau mendapatkan ganjaran dari Allah Subhana Wa Taala dan kita yang ditinggalkan beliau dapat meneruskan perjuangan khususnya untuk kemajuan pulau Kalimantan ini aamiin...

(Lukisan Pangeran Antasari menurut Perda Kalsel)

-oOo-

Sultan Adam Al-Watsiq Billah

Posted: Sabtu, 01 Oktober 2011 by Rusman Effendi in
0








Sultan Adam Al-Watsiq Billah adalah anak dari Sultan Sulaiman Rahmatullah bin Sultan Tahmidillah II . Dilahirkan pada tahun 1786 di Bumi Karang Anyar (sekarang masuk Kecamatan Karang Intan) Kabupaten Banjar.

Sultan Adam adalah putera tertua dari Sultan Sulaiman Rahmatullah (makam beliau ada di Desa Lihung Karang Intan) yang berjumlah 22 orang, saudara kandung sebanyak 5 orang dan saudara seayah 17 orang, dengan demikian anak Sultan Sulaiman Rahmatullah berjumlah 23 orang.

Saudara-saudara Sultan Adam :
I.        Saudara Sekandung
1.      Pangeran Husin Mangkubumi Nata
2.      Ratu Haji Musa
3.      Pangeran Perbata Sari
4.      Pangeran Hashir

II.      Saudara seayah
1.      Pangeran Berahim (Kesuma Wijaya)
2.      Pangeran Ahmid
3.      Pangeran Hamim
4.      Pangeran Singasari
5.      Pangeran Dipati
6.      Pangeran Ahmad
7.      Pangeran Wahid
8.      Pangeran Thosin
9.      Pangeran Tahmid
10.  Pangeran Muhammad
11.  Ratu Marta
12.  Pangeran Kusairi
13.  Pangeran Hasan
14.  Gusti Umi
15.  Raden Mashud
16.  Raden Karta Sari

Sejak awal Kerajaan Banjar pertama pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah. Pertama di Negara Dipa (Margasari) kemudian berpindah ke Kahuripan (Amuntai), Daha (Negara) dan Bandarmasih (Banjarmasin). Di Bandarmasih inilah Kerajaan Banjar pertama kali di pimpin oleh seorang Sultan. Kemudian berpindah lagi ke Pemakuan (Sungai Tabuk), Muara Tambangan, Batang Banyu dan terakhir di Kayu Tangi Martapura. Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Rahmatullah pusat pemeritahan berada di Karang Intan.

Pada tahun 1825 Sultan Adam dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Banjar mengganti Sultan Sulaiman Rahmatullah yang adalah Ayah beliau. Sultan Adam adalah raja Kerajaan Islam yang kedua belas. memangku Sultan Banjar selama 32 tahun. Pada Pemerintahan Sultan Adam pusat pemerintahan di Martapura dengan Istana yang terletak di Keraton, sasaran dan Pesayangan Jalan Demang Lehman.

Sultan Adam adalah seorang yang sangat rajin menuntut Ilmu Pengetahuan, banyak sekali beliau berguru kepada para putera dan cucu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, diantaranya adalah :
1.      Qadhi Haji Abu Na’im bin Syekh Muhammad Arsyad
2.      Khalifah Syahabuddin bin Syekh Muhammad Arsyad
3.      Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad
4.      Pangeran Ahmad Mufti bin Syekh Muhammad Arsyad
5.      Qadhi Haji Mahmud bin Asiah binti Syekh Muhammad Arsyad
6.      Mufti Haji Muhammad Arsyad Lamak (Pagatan) bin Mufti Haji Muhammad As’adalah bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad

Pada masa awal pemerintahannya keadaan sangat terkendali aman dan damai. Namun setelah kurang lebih sepuluh tahun memerintah, kehidupan politik, bernegara dan bermasyarakat serta beragama mulai bergejolak, karena penjajah Belanda mulai terang-terangan ingin menguasai Kerajaan Banjar, ditambah lagi dengan kedatangan misionaris Kristen yang dipimpin Pendeta Barntein.

Melihat keadaan yang sedemikian Sultan Adam yang arif lagi bijaksana dan rasa cintanya kepada Agama Islam, berusaha untuk menangkis dan menepis budaya asing serta situasi yang mengacam kesatuan dan keutuhan kerajaan maka Sultan Adam merasa perlu untuk membuat undang-undang dengan maksud mempertahankan dan memperkokoh kepercayaan rakyat dalam beragama Islam. Untuk itu dibentuklah satu tim untuk membuat undang-undang yang langsung dipimpin oleh Sultan sendiri. Tim tersebut terdiri dari para ahli antara lain Pangeran Arsyad Husein dan Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad. Dari tim tersebut tersusunlah Undang-undang yang dikenal dengan nama Undang-undang Sultan Adam.

Pada tahun 1825 ketika Sultan Adam dinobatkan, maka putera tertua Sultan Adam Pangeran Abdurrahman dilantik sebagai Raja Muda dan Pengeran ini lebih dikenal dengan gelar Pangeram Abdurrahman Muda. Raja Muda Pangeran Abdurrahman mempunyai putera yang tertua bernama Pangeran Tamjid dari Isteri yang bernama Nyai Aminah seorang Tionghoa. Dan seorang putera lagi yang bernama Pangeran Hidayatullah dari isteri yang bernama Ratu Sitti. Pada tahun 1852 Sultan Abdurrahman Muda mangkat, maka Sultan Adam menunjuk Pangeran Hidayatullah sebagai pengganti dan sebagai Mangkubumi diangkat Prabu Anom. Namun keputusan itu ditentang oleh Residen van Hengst. Residen van Hengst menghendaki Pangeran Tamjid sebagai Raja Muda. Karena peristiwa itulah terjadi perselisihan antara kerajaan dengan penjajah Belanda yang mulai mengembangkan sayapnya untuk menguasai Kerajaan Banjar. Dan dengan terjadinya peristiwa tersebut pecahlah perang Banjar pada 5 Oktober 1905.

Setelah kurang lebih 32 tahun memerintah Kerajaan Banjar dan disertai perjuangan menghadapi penjajah Belanda. Akhirnya jiwa tenang, namun raga terasa telah lemah pada 13 Rabiul Awwal 1274 H. Beliau berpulang ke Rahmatullah dan dimakamkan pada tanggal 14 Rabiul Awwal 1274 H atau 1 Nopember 1857 M di Pemakaman Kerajaan di Martapura.

Sepeninggal Sultan Adam yang arif bijaksana, Kerajaan Banjar dinaungi awan kelabu. Beberapa hari  setelah mangkatnya Sultan Adam, Prabo Anom ditangkap oleh Penjajah Belanda. Peristiwa itulah muara dari Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah, Mangkubumi, Pangeran Antasari dan Panglima Demang Lehman. Dengan ity bermunculanlah gerakan melawan Belanda di daerah lain, seperti Ki Saat Rata (Banjar), Haji Buyasin (Tala), Antaluddin dan Neneng Fatimah (Hulu Sungai Selatan), Datu Aling, Tagap Kandi dan Tagap Damun (Tapin), Abdul Jalil Dinding Raja (Hulu Sungai Tengah), Panglima Rasyid (Hulu Sungai Utara) Tumenggung Gamar (Tabalong) dan para pemimpin pejuang yang lain.

Belanda berusaha menangkap Pangeran Hidayatullah, namun dapat diselamatkan oleh Panglima Demang Lehman. Akibatnya Demang Lehman ditangkap Belanda dan dihukum gantung di Pohon Beringin Martapura. Kemudian Belanda membakar Mesjid Martapura dan Istana Kerajaan Banjar. Dengan segala tipu muslihat akhirnya Belanda berhasil menangkap Pangeran Hidayatullah dan mengasingkannya ke Cianjur hingga beliau wafat di sana. Namun perjuangan tidaklah berhenti dan diteruskan oleh Pangeran Antasari bersama dengan Gusti Madseman, Gusti Rasyad, Ratu Zalecha dan yang lainnya dengan semboyan Haram Manyarah. Perang Banjar berlangsung selama 48 tahun dan berakhir pada 5 Oktober 1905.

Peninggalan belau yang mungkin sampai sekarang bisa diketahuai adalah Undang-Undang Sultan Adam dan Surat Wasiat Sultan Adam.



-oOo-