Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Empu Jatmika

Posted: Minggu, 26 Agustus 2012 by Rusman Effendi in
0

Cerita ini berasal dari negeri Keling. Di sana hidup seorang pedagang yang kaya raya bernama saudagar Mangkubumi. Istrinya bernama Siti Rara. Anaknya bernama Empu Jatmika. Setelah Empu Jatmika besar kemudian dia kawin dengan Sari Manguntur. Dari perkawinannya ini Empu Jatmika mendapat dua orang putra, bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat.

Saudagar Mangkubumi jatuh sakit ketika kedua cucunya masih remaja. Semua anggota keluarga dititahkan untuk berjaga selama 40 hari, siang dan malam. Saudagar Mangkubumi meminta supaya anak dan cucunya datang menghadap ketika beliau hampir meninggal dunia. Kemudian dia berpesan kepada anaknya Empu Jatmika supaya menjaga seluruh keluarga dengan sebaik-baiknya. Selain itu beliau berpesan agar jangan kikir dan bersikap adil terhadap setiap orang. Hendaklah anaknya menerima dan mendengar setiap permohonan orang yang datang menghadap dengan segera. Itulah kata-kata terakhir dari saudagar Mangkubumi.

Sebelumnya juga beliau berpesan supaya anaknya pergi merantau ke luar negeri Keling karena di negeri Keling ini terdapat banyak orang yang suka iri hati dan dengki. Anaknya Empu Jatmika harus mencari negeri yang bertanah panas dan berbau harum. Untuk mengetahui hal itu hendaklah dia menggali tanah yang didatanginya, kira-kira pada tengah malam dan mengambilnya sekepal. Jika telah berhasil menjumpai daerah yang tanahnya memenuhi syarat-syarat itu, hendaklah dia menetap di sana. Karena di tempat itulah dia mendapat rahmat dan kebahagiaan. Tanaman-tanaman akan tumbuh subur. Saudagar-saudagar akan berdagang, dan negara akan terhindar dari gangguan musuh. Jika tanah itu harum tetapi dingin, maka kebahagiaan dan kemakmuran hanyalah sekadar saja. Baik dan buruk ada di dalam keadaan seimbang. Jika tanah itu berbau busuk dan lagi dingin, maka niscaya negara itu senantiasa ditimpa bahaya. Menderita kesukaran yang tidak putus-putusnya.

Setelah berpesan demikian, saudagar Mangkubumi menutup mata untuk selama-lamanya. Semua keluarga berduka cita, dan meratapi dengan tangis kesedihan. Untuk mengikuti kebiasaan pada zaman dahulu kala, upacara pemakaman berlangsung dengan disertai pembagian beribu-ribu lembar kain dan berpuluh-puluh ribu uang yang ditaburkan.

Mengingat akan pesan ayahnya, Empu Jatmika setuju sekali untuk meninggalkan negerinya. Dia memerintahkan hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa untuk datang menghadap. Juga Wiramartas yang merupakan seorang ahli bahasa. Wiramartas fasih dalam berbahasa Arab, Persi, Melayu, Tionghoa, dan lain-lain. Kemudian Wiramartas ditunjuk sebagai kepala dari rencana perjalanan ini.

Tidak lama kemudian, bertolaklah dari negeri Keling, armada yang berlayar dengan dipelopori oleh kapal Si Prabayaksa. Empu Jatmika terdapat dalam kapal pelopor ini. Tidak lama kemudian, armada berlabuh di sebuah pulau. Tetapi ternyata pulau itu tidaklah bertanah panas dan harum. Dengan sedikit kecewa pelayaran diteruskan. Armada kemudian berlabuh di pulau Hujung Tanah. Sementara berlabuh Empu Jatmika tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia serasa berjumpa dengan almarhum ayahanda, yang berpesan supaya mendarat di pulau Hujung Tanah. Di situlah dia akan menjumpai apa yang dicari.

Pagi-pagi benar pergilah Empu Jatmika dengan empat orang pengiringnya menuju pulau Hujung Tanah. Dia mengambil tanah di sana, dan benarlah di sini hawanya panas laksana api, harum bagai daun pudak. Dengan batu-batu yang dibawa dari negeri Keling, dimulailah membangun sebuah candi. Kemudian didirikan pula sebuah istana lengkap dengan balairung, pendopo dan perbendaharaan. Dengan suatu upacara di dalam balairung, Empu Jatmika memberikan nama kepada negara baru itu Nagara Dipa. Dia sendiri menjadi raja di negara ini dengan gelar Maharaja di Candi.

Pada waktu itu terdapat kepercayaan kepada peribahasa: “Siapa yang tidak berdarah bangsawan, tetapi oleh karena kekayaan dapat menjadi raja, dia akan ditimpa oleh bencana. Demikian pula bencana itu akan menimpa mereka yang mengakui orang itu sebagai raja”! Oleh karena itu, Empu Jatmika membuat patung dari kayu cendana. Patung inilah yang seolah-olah dijadikan raja dan kepadanya seolah-olah diletakkan kekuasaan yang tertinggi. Ahli-ahli tatah ukir membuat dua buah patung, yang berwujud seorang laki-laki dan seorang perempuan. Patung-patung itu dihiasi dengan seindah-indahnya dan diukup dengan dupa serta wangi-wangian kemudian diletakkan dalam candi. Setiap hari Jumat datanglah raja mengunjungi patung-patung itu.

Pada suatu ketika raja menitahkan supaya Hulubalang Arya Megatsari membawa tentara 1000 orang untuk menaklukkan daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, dan Batang Pitap. Dengan kekuasaan tentara yang sama pula, berangkatlah Tumenggung Tatah Jiwa ke daerah Batang Alai, Batang Hamandit, dan Labuan Emas. Kedua ekspedisi ini berhasil. Semua pemimpin-pemimpin rakyat di daerah yang ditaklukkan itu dibawa menghadap raja. Mereka semua diwajibkan untuk tunduk kepada perintah kedua hulubalang. Setiap musim panen mereka haruslah menyerahkan upeti yang jumlahnya telah ditetapkan. Setelah dijamu secara mewah, semua pemimpin itu diperkenankan kembali ke daerah masing-masing, dengan perjanjian tidak akan lagi bermusuhan antarsesama mereka.

Sesudah pemimpin-pemimpin itu kembali ke daerah masing-masing, raja mencurahkan perhatiannya kepada keadaan istana. Segala peraturan, susunan pegawai, upacara istana disesuaikan dengan tatakrama Majapahit. Ketika semua peraturan telah tersusun dengan baik, Empu Jatmika mengirimkan armada ke negeri Keling. Di bawah pimpinan nakhoda Lampung, mereka menjemput keluarga dan harta benda yang berharga yang masih ketinggalan.

Di dalam perjalanan pulang armada ini dilanda angin taufan. Kapal-kapal terserak ke sana ke mari, sebagian hanyut ke Laut Kidul. Akibatnya banyak anak buah kapal yang tewas. Sisa dari armada itu tiba kembali ke Nagaradipa dengan selamat. Para nakhoda mendapat hadiah. Di antaranya sebuah pedang yang indah permai.

Pada suatu upacara yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu, raja memberitahukan kepada Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa, keinginannya untuk mengganti patung-patung kayu yang lambat-laun telah menjadi lapuk dengan patung dari gangsa. Ketika itu raja mengetahui bahwa bangsa Tiongkok adalah bangsa yang pandai dan ahli dalam pembuatan patung gangsa. Maka beliau memutuskan untuk mengutus Wiramartas menghadap Raja Tiongkok dengan membawa bingkisan yang berharga, diantaranya terdapat 10 ekor kera jenis orang hutan.

Dengan tidak banyak mendapat kesukaran, utusan di bawah pimpinan Wiramartas itu tiba di Tiongkok. Di dalam suatu sidang resmi, Wiramartas mempersembahkan surat dari raja Negara Dipa. Seorang pandita Raja Tiongkok membacakan surat tersebut. Kemudian Raja Tiongkok menitahkan supaya memenuhi permintaan Raja Negaradipa. Kemudian Raja Tiongkok masuk ke dalam istana. Setelah musim baik tiba, berlayar pulanglah Wiramartas. Empat puluh orang ahli patung milik Raja Tiongkok ikut serta. Selain itu, dikirim pula berbagai aneka macam hadiah, seperti tikar permadani, kain sutera dan barang-barang porselen. Wiramartas sendiri mendapat hadiah pakaian yang indah dan sebilah pedang Jepang.

Setelah Wiramartas sampai di pelabuhan Negara Dipa, utusan ini disambut secara meriah. Dalam sidang, Wiramartas menyampaikan laporan dari perjalanan dan membacakan surat dari Raja Tiongkok. Wiramartas dengan pengiring-pengiringnya diberi hadiah, yakni sebagai balas jasa atas menjalankan kewajibannya dengan sangat baik. Kepada Wargasari, bendahara raja, diserahkan bingkisan Raja Tiongkok. Sedangkan Arya Megatsari diperintahkan untuk menjaga ahli-ahli seni rupa bangsa Tionghoa itu.

Dalam waktu yang singkat, ahli-ahli bangsa Tiongkok itu selesai dengan tugas mereka. Dua patung gangsa yang berbentuk seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ukurannya sebesar anak kecil, diserahkan kepada raja. Raja sangat mengagumi pekerjaan para ahli itu. Kemudian raja menitahkan untuk melemparkan patung-patung dari kayu cendana ke dalam laut, dan menempatkan patung gangsa sebagai gantinya di dalam candi. Empat puluh pandita dititahkan untuk menjaga patung-patung itu. Di dalam waktu tertentu, mereka harus membersihkan dan menggosoknya dengan pasir halus, agar patung itu tidak berkarat. Kemudian diusap dengan narawastu dan diasapi dengan kemenyan. Setiap malam Sabtu, haruslah pandita-pandita itu menaburi patung-patung itu dengan bunga melati, cempaka, dan bunga pudak.

Di zaman itu, Negara Dipa termasyhur ke mana-mana. Pembentukan negara dan cara pemerintahan mengikuti adat dari kerajaan Majapahit. Pakaian dan kebiasaan harus meniru pula pakaian adat dan kebiasaan Jawa. Malah raja tidak lagi menghendaki rakyatnya berpakaian secara Keling atau Melayu. Karena Negara Dipa adalah negara yang berdiri sendiri dan haruslah mengambil bentuk yang selaras dan pantas. Selanjutnya raja memperingatkan rakyatnya, jangan menanam lada untuk perdagangan seperti di Sriwijaya. Sebab di tempat tumbuhnya lada, akan terdapat kekurangan bahan makanan. Tumbuh-tumbuhan tidak akan tumbuh subur oleh hawa panas lada. Negara akan menerima kesukaran dan pemerintahan akan runtuh. Jika orang ingin menanam juga lada, hendaknya jangan lebih dari empat sampai lima rumpun, yakni sekadar cukup untuk keperluan sendiri.

Beberapa lama kemudian Empu Jatmika jatuh sakit. Banyak tabib yang didatangkan, tapi tidak berhasil. Siang dan malam banyak rakyat yang berjaga-jaga di sekitar istana. Akhirnya raja menitahkan agar kedua putranya menghadap. Juga kedua hulubalang, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa. Dengan tegas raja memperingatkan agar kedua putranya jangan menerima kehormatan untuk menjadi raja. Sebab bencana dan malapetaka akan selalu menimpa setiap orang yang menjadi raja, jika dia bukan berasal dari kaum bangsawan. Beliau sendiri meletakkan kekuasaan pada patung-patung karena khawatir di timpa bencana. Jika beliau mangkat haruslah patung-patung itu dilemparkan ke laut. Sedangkan putra-putranya dititahkan mencari raja manusia dengan jalan Empu Mandastana haruslah bertapa di gunung, di dalam gua atau di pohon-pohon besar. Sedangkan Lambung Mangkurat haruslah bertapa di pusaran air yang dalam. Sesudah memberikan peringatan ini, rajapun mangkat. 

Pemakaman jenazah baginda dilakukan dengan upacara kebesaran. Kemudian oleh pandita-pandita dilakukan upacara membuang patung-patung ke dalam laut. Kemudian Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat pergi bertapa memenuhi anjuran ayahanda mereka, Empu Jatmika. Dua tahun lamanya mereka hidup mengasingkan diri, dengan mengurangi makan, minum, dan tidur. Akan tetapi, yang diharap-harap belum juga tiba, sehingga mereka telah berniat untuk pulang kembali.

-oOo-

Sumber : Hikayat Banjar
Diketik ulang : Rusman Effendi 

Harap mencantumkan link asal kalau Copy paste ....

0 komentar: