Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Kisah Dua Sahabat Bin Yahya dan Al Habsyi

Posted: Selasa, 30 Agustus 2011 by Rusman Effendi in
0





HABIB ALWI BIN ABDULLAH (KAPTEN ARAB) dan 
HABIB MUHAMAD BIN ALI BIN YAHYA
(PANGERAN NOTO IGOMO)

Habib Muhammad bin Ali bin Hasan Bin Yahya (Pangeran Noto Igomo) mempunyai seorang sahabat dekat di Barabai. Namanya Habib Alwi bin Abdullah AlHabsyi. Keduanya mempunyai kedudukan terhormat di wilayahnya masing-masing. Habib Muhammad tinggal di Tenggarong selaku penasihat Sultan Kutai, sementara Habib Alwi adalah seorang Kapten Arab berkedudukan di Barabai. Mereka sudah saling mengenal sejak sama-sama tinggal di Hadramaut, Yaman.

Habib Alwi AlHabsyi, sejak di Hadramaut, mengakui keluasan pengetahuan dan kealiman Habib Muhammad Bin Yahya. Habib Muhammad kelahiran tahun 1844, sedangkan Habib Alwi beberapa tahun lebih muda. Tidak diketahui persis tahun kelahiran Habib Alwi.

"Tahun 1917-an, Habib Alwi di Banjar sudah mempunyai 3 anak," ujar Habib Agil bin Salim Bahsin, cucu Habib Alwi.

Jika Habib Muhammad Bin Yahya melalui perjalanan panjang melalui Palembang, Cirebon , Martapura dan akhirnya menetap di Kutai, maka Habib Alwi dari Hadramaut memilih Barabai sebagai tempat tinggal tetap setelah sempat bermukim beberapa tahun di Banjarmasin .

Habib Alwi menikah pertama kali di Banjarmasin dengan Syarifah Raguan binti Syekh AlHabsyi. Dengan istrinya Habib Alwi masih bersaudara dekat karena mereka sama-sama cucu dari Habib Alwi bin Syekh AlHabsyi.

Ketika tinggal di Banjarmasin , Habib Alwi adalah pejabat Kapten Arab pengganti Habib Hasan bin Iderus AlHabsyi (Habib Ujung Murung). Habib Alwi tinggal di kawasan Ujung Murung.

Habib Alwi pindah ke Barabai setelah menikah di sana dengan seorang perempuan asal Nagara-Banua Kupang bernama Hj Masrah. Belakangan Habib Alwi juga menikah dengan perempuan Kandangan bernama Masja.

Sejak melepaskan kedudukan sebagai Kapten Arab, Habib Alwi berdomisili di Barabai. Namun masyarakat tetap memperlakukannya sebagai orang istimewa karena latar belakang dan jasanya.

Jasa terbesar Habib Alwi bagi daerah Hulu Sungai adalah kepeloporan beliau dalam membangun perkebunan karet secara besar-besaran di Barabai. Habib Alwi memiliki kebun karet di Desa Manggasan, Hantakan, Barabai. Bibit karet diperoleh Habib Alwi dari Bogor melalui perantaraan pemerintah Belanda.

Walau tinggal di daerah berbeda dan dipisahkan jarak cukup jauh persahabatan Habib Alwi dan Habib Muhammad tetap terjalin mesra.

"Habib Muhammad yang menyumbang batu dan semen ketika Habib Alwi membangun Pasar Batu," ujar Ami Agil, panggilan sehari-hari Habib Agil bin Salim Bahsin.

Pasar Batu adalah bangunan beton pertama di Hulu Sungai yang merupakan tempat pasar gatah (karet) di paruh pertama abad lalu. Suatu masa kedua sahabat ini bertemu di Samarinda. Dalam pertemuan antara dua sahabat itu mereka tak lupa berfoto bersama dengan gaya masing-masing. Habib Muhammad mengenakan sarung dan baju koko berwarna putih, sementara Habib Alwi memakai busana baju safari dan celana panjang. Persamaan mereka adalah kopiah yang dikenakan serta masing-masing memakai tongkat.

Habib Muhammad masuk ke lingkungan Kesultanan Kutai berkat kelebihan dan kekuatan spiritualnya. Habib Muhammad Bin Yahya yang juga datuk dari aktor terkenal drg Fadly ini masuk ke istana setelah berhasil menyembuhkan penyakit seorang kerabat kesultanan.

Tak lama setelah kejadian itu, Habib Muhammad dinikahkan dengan Aji Raden Lesminingpuri, cucu Sultan AM Sulaiman yang juga anak Sultan AM Alimuddin.
Sedang, Habib Alwi sendiri juga menjadi tokoh kehormatan masyarakat Hulu Sungai terutama Barabai. Ketika Presiden Soekarno berkunjung wilayah Hulu Sunggai dan mampir ke Barabai tahun 1955, terjadi dialog singkat antara Habib Alwi dengan Sang Presiden.

Waktu berjabat tangan, disaksikan oleh tokoh-tokoh masyarakat lainnya mereka berbincang-bincang.
"Siapa nama Pak Haji?" ujar Bung Karno.
“Saya Sayyid Alwi," jawab Habib Alwi.
"Pak Sayyid orang Arab?"
"Ya, saya orang Arab, lahir di Hadramaut."
"Mengapa orang Arab mau membantu perjuangan orang Indonesia ?"
"Saya muslim, dia juga orang muslim. Jadi wajib membantu. Ikhwanul muslimin (persaudaraan sesama orang Islam)."

"Pergi ke Jakarta nanti," Bung Karno menawarkan undangan kepada Habib Alwi.
"Ya, Batavia ." (seorang wedana di Hulu Sungai kemudian membisiki Habib Alwi bahwa yang benar adalah Jakarta ).
"Yakarta," ujar Habib Alwi lagi mengoreksi ucapannya (Habib Alwi menyebut J dengan lafal Y).
Akhir cerita, Habib Alwi tak pernah ke Jakarta mendatangi undangan presiden pertama RI itu.

Habib Alwi AlHabsyi meninggal dunia tahun 1967 waktu berada di Banjarmasin dan dimakamkan di Turbah Sungai Jingah. Sahabatnya, Habib Muhammad Bin Yahya mendahuluinya 20 tahun sebelum itu dan bermakam di pekuburan Kelambu Kuning, Kutai Tenggarong. Ali

Posted by MLS at 3:17 PM
0 comments:
Post a Comment
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)......
mengambil cerita : obrolan ringan...untuk melengkapi kisah di gambar ini....

Sumber :
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=161682407180100&set=a.133969633284711.25809.100000150251566&type=3

Syekh Kholil

Posted: Senin, 29 Agustus 2011 by Rusman Effendi in
0





Mengenal Syekh Kholil
Guru Pendiri NU

Sungguh benarlah kiranya pernyataan dan keputusan Kyai Sholeh (Pengasuh Pondok Pesanteren Bunga, Gresik, Jawa Timur). Kholil, si bocah Madura itu, bukanlah anak sembarangan. Beberapa puluh tahun kemudian Kholil menjadi seorang syekh yang sangat dihormati. Banyak muridnya yang menjadi ulama besar di Madura dan Jawa. Usia Syekh Kholil lebih dari 100 tahun. Subhananlloh, murid-muridnya pun banyak yang berusia di atas 100 tahun.

Sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini, antara lain KH Hasyim Asy’ari, pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di seluruh dunia. KH Hasyim Asy’ari juga tercatat sebagai Pahlawan Nasional. Cucu KH Hasyim Asy’ari, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah mantan Ketua PB NU dan Presiden RI ke-3.

KH R As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo), juga murid Syekh Kholil. Begitu juga KH Wahab Hasbullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), yang juga pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971). Muridnya yang lain adalah KH Bisri Syamsuri (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH Maksum (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah), KH. Bisri Mustofa (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang/Dikenal sebagai mufassir Al Quran).
Di Madura sendiri, yang menjadi murid Syekh Kholil adalah KH Hasbullah Abubakar Tebul (Kwayar Bangkalan, Madura/Makam Kramat Pantai Kedung Cowek Surabaya), KH Muhammad Thohir Jamaluddin (Sumber Gayam, Madura). Dan masih banyak lagi ulama-ulama besar yang menjadi murid Syekh Kholil yang dikenal luas hingga saat ini.
Untuk mencapai martabat setinggi itu, Syekh Kholil melaluinya dengan perjuangan berliku. Ia berguru di beberapa pondok pesanteren di Indonesia, dengan melalui kehidupan yang memprihatinkan.
Ada cerita menarik ketika Kholil belajar di Pesantren Banyuwangi, yang mempunyai kebun kalapa yang sangat luas. Kholil santri menjadi buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat tiga sen. Semua hasil memetik kelapa disimpan di dalam peti, lalu di persembahkan pada Kyai.
Untuk biaya makan sehari-hari, Kholil santri menjalani kehidupan prihatin. Terkadang mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan piring. Kholil santri sering menjadi juru masak kebutuhan teman-temannya. Dari kehidupan prihatin itu Kholil santri mendapat makan cuma-cuma.
Sesudah cukup di pesantren itu, gurunya menganjurkan Kholil untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu dihaturkan kepada kyai diserahkan kembali pada Kholil sebagai bekal belajar di Makkah.
Suatu hari, Kholil pulang menemui Nyai Maryam (kakaknya). Kholil berkata: “Kak, saya mau pamit berangkat ke Makkah.”

“Mau berangkat kapan, Lil?” tanya Nyai Maryam.
“Sore ini, kak,” jawab Syekh Kholil.
“Kalau begitu tunggu aku masak nasi dulu, ya, Lil. Kamu makan dulu sebelum berangkat.”

Setelah makanan siap, Syekh Kholil pun makan dan kemudian pamit berangkat ke Makkah. Kholil berjalan ke arah Barat dan Nyai Maryam menatap kepergiannya sampai tak terlihat.
Selama dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari membaca Al-Qur’an dan shalawat, malam hari wirid dan taqarub kepada Allah.
Setibanya di Makkah, Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari Jawa. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi. Kebiasaan hidup sederhana dan prihatin tetap dijalankan seperti waktu di pesantren Jawa. Kholil sering makan kulit semangka. Sedangkan minumannya dari air zamzam.
Begitu dilakukannya terus menerus selama empat tahun di Makkah. Hal ini mengherankan teman-teman seangkatannya, seperti Nawawi dari Banten, Akhmad Khatib dari Minang Kabau, dan Ahmad Yasin dari Padang.
Dalam mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu dhohir (eksoterik), seperti tafsir, hadits, fikih dan ilmu nahwu, juga mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru spiritual. Kholil mencatat pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai kertas tulis. Setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci, kemudian dipakai lagi.
Tercatat guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah.
Syek Ali Ar-Rahbini adalah salah satu guru terdekat Syekh Kholil di Makkah. Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini punya putra bernama Syekh Muhammad bin Ali, lahir pada tahun 1286 H (1871) dan wafat tahun 1351 H (1934). Syekh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syekh Kholil.
Sepulang dari Makkah, Kholil tinggal bersama Nyai Maryam (kakaknya), di Keramat. Kholil bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan sebagai penjaga dan kebagian jaga malam.
Kanjeng Adipati kemudian mengganti tugas Kholil menjadi pengajar keluarga Adipati, dan akhirnya dihormati dan dicintai sebagai ulama. Kerabat Adipati menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek (30 Rajab 1278 H/1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di Desa Jangkibuan. Beliau pun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil mengajar di Keraton Adipati.
Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat. Nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat. Banyak teman mondok beliau seaktu Jawa tidak percaya bahwa Kholil sebagai ulama besar.
Karena penasaran, ada temannya yang sengaja datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, “Mana rumah Syekh Kholil?” Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil. Temannya itu ternyata melihat banyak binatang buas di itu.
“Tapi tempat itu bukan rumah, kok, Pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya,” kata orang yang berkunjung itu.
“Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.”

Begitu tiba di tempat itu, temannya melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas. Bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang itu itu pun langsung mencium tangan Syekh Kholil.
Meskipun sudah terkenal, hubungan Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini berlangsung sampai pada cucu gurunya, yaitu Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.
Cerita kedatangan Syekh Ali ke Indonesia (Madura) cukup menarik sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil. Syekh Ali datang ke Indonesia pada tahun 1921. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun dan berguru kepada Syekh Kholil.
Pada suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan berkata: “Sebentar lagi ada tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.” Padahal, waktu itu belum ada telepon.
Setelah Syekh Ali datang, Syekh Kholil menyuruh santri untuk mengambil tiga gelas di atas nampan. Gelas yang pertama diisi air putih. Gelas kedua diisi susu. Gelas ketiga diisi kopi.
Syekh Kholil kemudian berkata pada santri-santri: “Apabila Syekh Ali minum susu, Insyaallah beliau tidak lama di Indonesia. Apabila Syekh Ali minum air putih, Insyaallah beliau akan tinggal lama di Indonesia dan akan pulang ke Makkah. Apabila Syekh Ali minum kopi, Insyaallah beliau terus tinggal di Indonesia.”
Para santri pun menunggu saatnya Syekh Ali memilih di antara tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih dan meminum kopi. Kontan saja para santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja, karena tidak mengerti apa yang terjadi.
Kisah lainnya adalah Syekh Ali pun menikahkan salah satu cucunya dengan seorang cucu Syekh Kholil. Ketika lahir anak pertama dari pasangan sang Kyai cucu Syekh Kholil dan sang Nyai cucu Syekh Ali, maka Syekh Ali memberi nama bayi itu Kholi”.
Syekh Kholil awalnya keberatan, karena sudah banyak yang bernama “Kholil” di keluarga beliau. Syekh Ali berkata: “Biarpun sudah ada seribu ‘Kholil’, tetap harus diberi nama ‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’ seribu barokah!” Anak itu pun diberi nama “Kholil”.
Begitulah kisahnya, yang dianggap hanya sebagai Bocah dari Madura itu ternyata menjadi Syekh yang sangat luar biasa. Kyai As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo), menuturkan bahwa pada saat Kyai Kholil berzikir di ruangan majelis dzikir, apabila lampu dimatikan sering terlihat sinar biru yang sangat terang memenuhi ruangan tersebut.

-oOo-
 

Syekh Abdusshamad Al Palimbani

Posted: Sabtu, 27 Agustus 2011 by Rusman Effendi in
0

Ini Makam Syekh Abdusshamad Al Palimbani Bin Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad Al-Mahdani di Thailand Selatan tepatnya di daerah Pattani

Beliau Sahabat Datuk kalampayan dan sesama murid Syekh Samman Al Madani yg dikenal dengan 4 Serangkai dari Tanah Jawi bersama Syekh Abdul Wahab Bugis(Menantu datuk kalampayan suami Syarifah) dan Syekh Abdurrahman Al Masri (kakeknya Habib utsman Betawe Pengarang Kitab sifat 20) yang hidup antara 1700-1800 M.

Makam beliau di tengah hutan karena beliau dulu ikut serta dalam perjuangan melawan kerajaan Siam Budha Thailand yg ingin merebut tanah Melayu Pattani yg sekarang menjadi bagian negara Thailand.

As-Sheikh Abdul Samad Al-Palembangi mati syahid ketika berjuang bersama tentera Melayu Kedah melawan Tentara Kerajaan Siam Budha Thailand.

Beliau pengarang Kitab Hidayatussalikin (Bahasa Arab Melayu) dan kitab Siarus Salikin yang banyak diajarkan saat majlis2 pengajian di Kalimantan Selatan

Manakib Belliau:
Bila berbicara perjuangan atau penyebaran Islam di Nusantara, salah satu nama yang akan disebut dan dibahas yakni Syekh Abdul Samad. Seorang ulama besar pada masanya yang dilahirkan di Palembang pada 1116 Hijiriyah atau 1704 Masehi.

Masyarakat Palembang, termasuk pula keturunannya, menyebut namanya Syekh Abdul Samad Al-Falembani. Namun ada tiga nama lain yang menyebutkan ulama besar ini. Yakni berdasarkan Ensiklopedia Islam, namanya Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Lalu berdasarkan sumber sumber-sumber Melayu, seperti ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya 'Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994)', namanya Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani. Ketiga, masih menurut Azyumardi Azra, apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, namanya Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi.

Lalu, dari garis keturunan bangsa apa sebenarnya Syeikh Abdul Samad ini? Bila dilihat garis bapak, dia masih keturunan Arab. Nama bapaknya Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad Al-Mahdani. Bapaknya seorang ulama dari Yaman. Yang sebelum datang ke Palembang, sempat mampir dahulu di Kedah, Malaysia. Di sana, dia menikahi Wan Zainab, puteri Dato Sri Maharaja Dewa.

Sementara ibu Syekh Abdul Samad adalah Radin Ranti, seorang perempuan Palembang. Jadi jika dilihat garis keturunan ibu, Syeikh Abdul Samad keturunan Palembang. Seperti para ulama di masanya, Syekh Abdul Samad ini banyak melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu. Baik di Nusantara maupun di negeri yang jauh, seperti Arab.

Mencari Ilmu
Guru pertama Syekh Abdul Samad yakni bapaknya sendiri, Syekh Abdul Jalil. Selanjutnya dia disekolahkan ke pondok pesantren di negeri Patani (Thailand). Pada masa itu Patani adalah salah satu tempat menempa ilmu-ilmu ke-Islaman dengan sistem pondok.

Mungkin saja Syekh Abdul Samad bersama saudara-saudaranya seperti Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal saat itu, seperti Pondok Bendang Gucil di Kerisik, Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala.

Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syekh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf dari Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh.

Dari Patani, Syekh Abdul Samad belajar ke Mekah dan Madinah. Di sini dia banyak bergaul dengan para ulama asal Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun menetap di Mekah, Syekh Abdul Samad, menurut Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.

Gurunya di Mekah antara lai Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun'im Al-Damanhuri. Kemudian dia berguru dengan Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.

Ulama Kritis
Meskipun mendalami tasawuf, Syekh Abdul Samad dikenal kritis. Dia mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh.

Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palembani menulis semula intipati dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah abad pertengahan, yakni Imam Al-Ghazali yakni kitab 'Lubab Ihya' Ulumud Diin' (Intisari Ihya' Ulumud Diin), dan 'Bidayah Al-Hidayah' (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dapat membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.

Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syekh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran 'wahdatul wujud' Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu 'melihat' Allah SWT sebagai 'penguasa' mutlak.

Di Palembang, di masa Kesultanan Palembang, Syekh Abdul Samad sangat membenci Belanda. Apalagi Belanda memegang pengaruh besar di lingkungan Islam dan pemerintahan Palembang. Dia pun memutuskan meninggalkan Palembang. Guna melakukan perjalanan, dia bersama murid-muridnya menebang kayu di hutan untuk membuat perahu atau kapal kecil. Dia pergi ke Makkah.

Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu. Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.

Membela Patani
Setelah kembali ke Makkah, Syekh Abdul Samad al-Falimbani tetap ingin pulang ke Nusantara. Dia telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu peperangan melawan para penjajah di Nusantara. Namun setelah dipertimbangkan, dia lebih tertarik membantu umat Islam di Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam.

Dalam peperangan itu, dia memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan bersalawat setiap siang dan malam.

Misteri Kematiannya
Sulit sekali menemukan tahun pasti wafatnya Syeikh Abdul Samad. Menurut Dr M Chatib Quzwain dalam bukunya "Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasauf Sheikh Abdus Shamad al-Palimbani" pada tahun 1244 hijriyah atau 1828 masehi dikatakan umur Syekh Abdul Samad 124 tahun.

Sementara Dr Azyumardi Azra menulis, "Meskipun saya tidak dapat menentukan secara pasti angka-angka tahun di seputar kehidupannya, semua sumber bersatu kata bahwa rentang masa hidup Al-Palimbani adalah dari dasawarsa pertama hingga akhir abad kedelapan belas.

Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200 hijriyah atau 1785 Masehi. Tetapi kemungkinan besar dia meninggal setelah 1203 Hijriyah atau 1789 Masehi, setelah dia menulis karya terkenalnya 'Sayr Al-Salikin'. Saat itu usianya berkisar 85 tahun.

Berdasarkan sumber di Jedah, dia dikatakan terbunuh dalam perang melawan Thailand pada 1244 Hijriyah atau 1828 Masehi. Lalu di mana Syekh Abdul Samad dimakamkan? Dr M Chatib Quzwain menyebut bahwa makam Syekh Abdul Samad di Palembang, tapi di Palembang belum didapatkan informasi di mana makamnya di Palembang. Sedangkan Dr Azyumardi Azra menulis, "Ada kesan kuat dia meninggal di Arabia".

Tetapi, yang jelas, seperti ditulis penyair Malaysia yakni Muhammad Abdulloh bin Suradi dalam artikelnya "Syekh Abdul Samad Al-Falimbani, Ulama, Sufi dan Syuhada" masyarakat di Patani mengklaim telah menemukan makam Syeikh Abdul Samad di antara kampung Sekom dengan Cenak, di kawasan Tiba, Patani Utara, Thailand.

Daftar Karya Syekh Abdul Samad al-Falembani:
  1. Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
  2. Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
  3. Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
  4. Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil 'Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
  5. Al-'Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
  6. Ratib Sheikh 'Abdus Shamad al-Falimbani.
  7. Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi Sabilillah.
  8. Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
  9. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi'ah fi Jihadi fi Sabilillah
10. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil 'Alamin
11. 'Ilmut Tasawuf
12. Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah 'Alaihis Shalatu was Salam
13. Kitab Mi'raj, 1201 H/1786 M.
14. Anisul Muttaqin
15. Puisi Kemenangan Kedah

Pangeran Syarif Ali Al Aydrus dari Sabamban

Posted: Kamis, 11 Agustus 2011 by Rusman Effendi in
0







Pangeran Syarif Ali Al Aydrus adalah kepala pemerintahan landshap Sabamban yang sering disebut juga Kerajaan Sabamban (ke pangeranan Sebamban), salah satu daerah yang termasuk wilayah pemerintahan Hindia Belanda di Borneo Timur (sekarang termasuk wilayah provinsi Kalimantan Selatan)

1.      Kepala Pemerintahaan Sabamban bergelar Pangeran (bukan Sultan). Di wilayah Kalimantan Tenggara tersebut terdapat pula Kerajaan Pagatan, Kerajaan Kusan dan Kerajaan Pasir yang statusnya daerahnya setara tetapi sedikit lebih tinggi (kerajaan). Daerah-daerah di Kalimantan Tenggara tersebut pada 17 Agustus 1787 merupakan daerah yang diserahkan Sultan Tahmidullah II kepada VOC diwakili Residen Walbeck kemudian menjadi properti milik perusahaan VOC, selanjutkan menjadi milik Hindia Belanda yang menggantikan VOC. Pangeran Syarif Ali mengepalai daerah Sebamban dengan berpenduduk sekitar 250 jiwa, tidak termasuk para penambang, kebanyakan orang Banjar dan beberapa orang Bugis. Daerah Sebamban ini menghasilkan intan, emas, batubara, beras, dan kayu.
2.      Syarif Ali Alaydrus adalah cucu dari Raja (Tuan Besar) Kubu - Syarif Idrus Alaydrus, pada awalnya menetap di daerah Kubu, Kalimantan Barat (bersama keluarga bangsawan Kerajaan Kubu).
3.      Pada masa itu Beliau telah memiliki satu istri dan berputra dua orang yaitu : Syarif Abubakar Alaydrus dan Syarif Hasan Alaydrus. Karena ada suatu konflik kekeluargaan, akhirnya Syarif Ali Alaydrus memutuskan untuk hijrah ke Kalimantan Selatan dengan meninggalkan istri dan kedua putranya yang masih tinggal di Kerajaan Kubu, melalui sepanjang pesisir selatan Kalimantan hingga sampai di daerah Banjar.

Di daerah Banjar tersebut, beliau mendirikan Kerajaan Sabamban dan menjadi Raja yang Pertama, bergelar Pangeran Syarif Ali Al-Idrus. Pada saat beliau menjadi Raja Sabamban ini, beliau menikah lagi dengan 3 (tiga) wanita ; Yang pertama Putri dari Sultan Adam dari Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan, yang Kedua dari Bugis (Putri dari Sultan Bugis di Sulwesi Selatan), yang ketiga dari Bone (Putri dari Sultan Bone di Sulawesi Selatan). Pada saat beliau telah menjabat sebagai Sultan Sabamban inilah, kedua putra beliau dari Istri Pertama di Kubu, Kalimantan Barat yaitu Syarif Abubakar Alaydrus dan Syarif Hasan Alaydrus menyusul Beliau ke Angsana, Tanah Bumbu (Kesultanan Sabamban), dan menetap bersama Ayahandanya.

Keturunan
Dari Ketiga istri beliau di Banjar-Kalimantan Selatan serta satu Istri beliau di Kubu-Kalimantan Barat tersebut, Pangeran Syarif Ali memiliki 12 (dua belas) putra. Putra-putra beliau yaitu : Dari Istri Pertama (Kubu-Kalimantan Barat) :

Syarif Hasan bin Pangeran Syarif Ali Al-Idrus, putra beliau : Sultan Syarif Qasim Alaydrus, Raja II Sabamban menjabat sebagai Raja setelah sepeninggal Kakeknya yaitu Pangeran Syarif Ali bin Syarif Abdurrahman Al-Idrus, hingga akhirnya Kerajaan Sabamban ini hilang dari bumi Kalimantan Selatan.
Syarif Abubakar bin Pangeran Syarif Ali Al-Idrus

Dari Istri ke-dua, Putri Kesultanan Banjar, Istri ke-tiga (Putri Sultan Bugis) dan Istri ke-empat (Putri Sultan Bone), menurunkan putra-putra beliau :
Syarif Musthafa bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus,
Syarif Thaha bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus,
Syarif Hamid bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Ahmad bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Muhammad bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Umar bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Thohir bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Shalih bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Utsman bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus dan
Syarif Husein bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus.

Setelah wafatnya Sultan Syarif Ali Al-Idrus, Jabatan Sultan tidak diteruskan oleh putra-putra beliau, akan tetapi yang menjadi Sultan II Sabamban adalah justru cucu beliau yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Idrus, putra dari Syarif Hasan (Syarif Hasan adalah putra Sultan Syarif Ali Al-Idrus dari Istri Pertama/Kubu, waktu Syarif Ali masih menetap di Kubu-Kalimantan Barat).

Jadi sepanjang sejarahnya, Kesultanan Sabamban ini hanya dijabat oleh dua Sultan saja, yaitu pendirinya Sultan Syarif Ali Al-Idrus sebagai Sultan I dan cucu beliau sebagai Sultan II Sabamban yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Idrus.

Sementara itu, setelah tidak adanya lagi Kesultanan Sabamban tersebut, anak-cucu keluarga bangsawan dari keturunan Sultan Syarif Ali Al-Idrus ini, menyebar ke seluruh wilayah Kalimantan Selatan pada umumnya dan ada yang hijrah ke Malaysia, Filipina, pulau Jawa dan di belahan lain Nusantara hingga saat ini.

Sumber : http://aladamyarrantawie.blogspot.com/2012/05/pangeran-syarif-ali-al-aydrus-dari.html

Manakib Abah Guru Sekumpul (Syeikh Muhammad Zaini Abdul Ghani)

Posted: Rabu, 10 Agustus 2011 by Rusman Effendi in
0

Syaikhuna Al Alim Al Allamah Muhammad Zaini bin Al Arif Billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin Al Mufti Muhammad Khalid bin Al Alim Al Allamah Al Khalifah Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Alimul Allamah Asy Syeikh Muhammad Zaini Ghani yang selagi kecil dipanggil dengan nama Qusyairi adalah anak dari perkawinan Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf dengan Hj. Masliah binti H. Mulya. Muhammad Zaini Ghani merupakan anak pertama, sedangkan adiknya bernama Hj. Rahmah. Beliau dilahirkan di Tunggul Irang, Dalam Pagar, Martapura pada malam Rabu tanggal 27 Muharram 1361 H bertepatan tanggal 11 Februari 1942 M

Diceriterakan oleh Abu Daudi, Asy Syeikh Muhammad Ghani sejak kecil selalu berada di samping ayah dan neneknya yang bernama Salbiyah. Kedua orang ini yang memelihara Qusyairi kecil. Sejak kecil keduanya menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan. Keduanya juga menanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlak serta belajar membaca Al Quran. Karena itulah, Abu Daudi  meyakini, guru pertama dari Alimul Allamah Asy Syeikh Muhammad Zaini Ghani adalah ayah dan neneknya sendiri. Semenjak kecil beliau sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada para ulama. Guru Sekumpul sewaktu kecil sering menunggu Al Alim Al Fadhil Syaikh Zainal Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium tangannya.

Pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, beliau mengikuti pendidikan formal masuk ke Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Guru-guru beliau pada masa ini antara lain, Guru Abdul Muiz, Guru Sulaiman, Guru Muhammad Zein, Guru H. Abdul Hamid Husain, Guru H. Rafi’i, Guru Syahran, Guru Husin Dahlan, Guru H. Salman Yusuf. Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, beliau melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura. Pada masa ini beliau sudah belajar dengan guru-guru besar yang spesialis dalam bidang keilmuan seperti Al Alim Al Fadhil Sya’rani Arif, Al Alim Al Fadhil Husain Qadri, Al Alim Al Fadhil Salim Ma’ruf, Al Alim Al Allamah Syeikh Seman Mulya, Al Alim Syeikh Salman Jalil, Al Alim Al Fadhil Sya’rani Arif, Al Alim Al Fadhil Al Hafizh Syeikh Nashrun Thahir, dan K.H. Aini Kandangan. Tiga yang terakhir merupakan guru beliau yang secara khusus untuk pendalaman Ilmu Tajwid.

Kalau kita cermati deretan guru-guru beliau pada saat ini adalah tokoh-tokoh besar yang sudah tidak diragukan lagi tingkat keilmuannya. K.H. Husin Qadri lewat buku-buku beliau seperti Senjata Mukmin yang banyak diterbitkan di Kal-Sel. Syeikh Seman Mulya adalah pamanda beliau yang secara intensif mendidik beliau baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika mendidik Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung bidang-bidang keilmuan itu kepada beliau kecuali di sekolahan. Tapi Guru Seman langsung mengajak dan mengantarkan beliau mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal dengan spesialisasinya masing-masing baik di daerah Kal-Sel (Kalimantan) maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits dan Tafsir, guru Seman mengantarkan beliau kepada Al Alim Al Allamah Syeikh Anang Sya’rani yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir. Menurut Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Guru Seman Mulya adalah pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.

Sedangkan Al Alim Al Allamah Salman Jalil adalah pakar ilmu falak dan ilmu faraidh (pada masa itu, hanya ada dua orang pakar ilmu falak yang diakui ketinggian dan kedalamannya yaitu beliau dan almarhum K.H. Hanafiah Gobet). Selain itu, Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin. Beliau ini pada masa tuanya kembali berguru kepada Guru Sekumpul sendiri. Peristiwa ini yang beliau contohkan kepada kami agar jangan sombong, dan lihatlah betapa seorang guru yang alim besar tidak pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang sekarang sedang menyampaikannya adalah muridnya sendiri.

Selain itu, di antara guru-guru beliau lagi selanjutnya adalah Syeikh Syarwani Abdan (Bangil) dan Al Alim Al Allamah Asy Syeikh As Sayyid Muhammad Amin Quthbi. Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus beliau, atau meminjam perkataan beliau sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah Al Shufiyah). Dan beberapa guru beliau lagi adalah Kyai Falak (Bogor), Syeikh Yasin bin Isa Padang (Mekah), Syeikh Hasan Masyath, Syeikh Ismail Al Yamani, dan Syeikh Abdul Kadir Al Bar. Sedangkan guru pertama secara ruhani adalah Al Alim Al Allamah Ali Junaidi (Berau) bin Al Alim Al Fadhil Qadhi Muhammad Amin bin Al Alim Al Allamah Mufti Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari. (Guru beliau ada sekitar 179 orang spesialis bidang keilmuan Islam berasal dari wilayah Kalimantan sendiri, dari Jawa-Madura, dan dari Mekah).

Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamanda beliau semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil beliau sudah menunjukkan sifat mulia : penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahanda beliau sendiri. Seperti misalnya suatu ketika hujan turun deras sedangkan rumah beliau sekeluarga sudah sangat tua dan lapuk. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah. Pada waktu itu, ayah beliau menelungkupi beliau untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.

Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Syeikh Muhammad Ghani juga adalah seorang pemuda yang shalih dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem mengatur usaha dagang juga beliau sampaikan.

Sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayahanda beliau membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahanda beliau selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga. Adapun sistem mengatur usaha dagang, beliau sampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustazd pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegur beliau, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Beliau langsung berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.

Beberapa catatan lain berupa beberapa kelebihan dan keanehan :
1.      Beliau sudah hafal Al Quran semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulan beliau betul-betul dijaga. Kemanapun bepergian selalu ditemani sepupunya. Pernah suatu ketika beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamanda beliau Syeikh Seman Mulya di hadapan beliau dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syeikh, begitu juga sepupu yang menjadi penjaga beliau. Beliaupun langsung pulang ke rumah.

2.      Pada usia 9 tahun pas malam jum’at beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di daun pintu masuk kapal tertulis “Safinah Al Auliya”. Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jum’at ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syeikh. Ketika sudah masuk, beliau melihat masih banyak kursi yang kosong. Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut.

3.      Salah satu pesan beliau tentang karamah adalah agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugerah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah  itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi shalatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi “istidraj”.

4.      Selain sebagai ulama yang ramah dan kasih sayang kepada setiap orang, beliau juga orang yang tegas dan tidak segan-segan kepada penguasa apabila menyimpang. Karena itu, beliau menolak undangan Soeharto untuk mengikuti acara halal bil halal di Jakarta. Begitu juga dalam pengajian-pengajian, tidak kurang-kurangnya beliau menyampaikan kritikan dan teguran kepada penguasa baik Gubernur, Bupati atau jajaran lainnya dalam suatu masalah yang beliau anggap menyimpang atau tidak tepat.

Rabu 10 Agustus 2005 jam 05.10 pagi beliau telah berpulang ke rahmatullah pada usia 63 tahun. Dulu almarhum Guru Ayan (Rantau), salah seorang syeikh yang dikenal kasyaf pernah menyampaikan bahwa kehidupan Syeikh M. Zaini Abdul Ghani itu seperti Nabi. Bahkan usia beliau pun sama seperti usia Nabi. Salah seorang murid dekat Guru Ayan, pernah mencoba melihat-lihat ciri-ciri hissiyahnya. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah kepindahan Beliau dari Keraton Martapura ke wilayah Sekumpul seperti Rasulullah saw. hijrah.

Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani bin Al Arif Billah Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf bin M. Seman bin H. M. Sa’ad bin H. Abdullah bin Alimul allamah Mufti H. M. Khalid bin Alimul Allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad  : dilahirkan pada, malam Rabu 27 Muharram, 1361 H (11 Februari 1942 M).
Nama kecilnya adalah Qusyairi, sejak kecil beliau termasuk dari salah seorang yang “mahfuzh”, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang-orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT. Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat-sifat dan pembawaan yang lain daripada yang lainnya, diantaranya adalah bahwa beliau tidak pernah ihtilam.

Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani sejak kecil selalu berada disamping kedua orang tua dan nenek beliau yang bernama Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga dimasa kanak-kanak beliau sudah mulai ditanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlak oleh ayah dan nenek beliau. Beliau belajar membaca Al Quran dengan nenek beliau, dengan demikian guru pertama dalam bidang ilmu Tauhid dan Akhlak adalah ayah dan nenek beliau sendiri.
Meskipun kehidupan kedua orang tua beliau dalam keadaan ekonomi sangat lemah, namun mereka selalu memperhatikan untuk turut membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka membaca Al Quran, sehingga setiap malamnya beliau selalu membawa bekal botol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada Guru yang mengajar Al Quran. Dalam usia kurang lebih 7 tahun beliau sudah mulai belajar di madrasah Darussalam Martapura.

Guru-guru Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani :
1.      Muhammad Arsyad, mengenai masalah Nur Muhammad. Di tingkat Ibtida adalah : Guru Abdul Mu’az, Guru Sulaiman, Guru M. Zein, Guru H. Abdul Hamid Husin, Guru H. Mahalli, Guru H. Rafi’i, Guru Syahran, Guru H. Husin Dakhlan, Guru H. Salman Yusuf
2.      Di tingkat Tsanawiyah adalah : Alimul Fadhil H. Sya’rani Arif, Alimul Fadhil H. Husin Qadri, Alimul Fadhil H. Salim Ma’ruf, Alimul Fadhil H. Seman Mulya, Alimul Fadhil H. Salman Jalil.
3.      Guru dibidang Tajwid adalah : Alimul Fadhil H. Sya’rani Arif, Alimul Fadhil Al Hafizh H. Nashrun Thahir, Al Alim H. Aini Kandangan.
4.      Guru Khusus adalah : Alimul Allamah H. Muhammad Syarwani Abdan, Alimul Allamah Asy Syeikh As Sayyid M. Amin Quthbi. Sanad sanad dalam berbagai bidang ilmu dan Thariqat diterima dari: Kyai Falak (Bogor),  Alimul Allamah Asy Syeikh M. Yasin Padang (Mekah), Alimul Allamah Asy Syeikh Hasan Masysyath, Alimul Allamah Asy Syeikh Isma’il Yamani dan Alimul Allamah Asy Syeikh Abdul Qadir Al Bar.
5.      Guru pertama secara Ruhani adalah : Alimul Allamah Ali Junaidi (Berau) bin Alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin Alimul Allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad, dan Alimul Allamah H. Muhammad Syarwani Abdan. Kemudian Alimul Allamah H. Muhammad Syarwani Abdan menyerahkan kepada Kyai Falak dan seterusnya Kyai Falak menyerahkan kepada Alimul Allamah Asy Syeikh As Sayyid M. Amin Quthbi, kemudian beliau menyerahkan kepada Syeikh Muhammad Arsyad yang selanjutnya langsung dipimpin oleh Rasulullah saw. Atas petunjuk Alimul allamah Ali Junaidi, beliau dianjurkan untuk belajar kepada Alimul Fadhil H. Muhammad (Gadung) bin Alimul Fadhil H. Salman Farlisi bin Alimul Allamah Qadhi H. Mahmud bin Asiah binti Syeikh

Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiah dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada didalam atau yang terdinding. Dan dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar supaya ditobatkan. Mendengar hal yang demikian beliau lalu masuk serta memberitahukan masalah orang tersebut kepada ayah dan keluarga, di dalam rumah, sepeninggal beliau masuk kedalam ternyata tamu tersebut tertidur. Setelah dia terjaga dari tidurnya maka dia lalu diberi makan dan sementara tamu itu makan, beliau menemui ayah beliau dan menerangkan maksud dan tujuan kedatangan tamu tersebut. Maka kata ayah beliau tanyakan kepadanya apa saja ilmu yang dikajinya. Setelah selesai makan lalu beliau menanyakan kepada tamu tersebut sebagaimana yang dimaksud oleh ayah beliau dan jawabannva langsung beliau sampaikan kepada ayah beliau. Kemudian kata ayah beliau tanyakan apa lagi, maka jawabannyapun disampaikan beliau pula. Dan kata ayah beliau apa lagi, maka setelah berulang kali di tanyakan apa lagi ilmu yang ia miiki maka pada akhirnya ketika beliau hendak menyampaikan kepada tamu tersebut, maka tamu tersebut tatkala melihat beliau mendekat kepadanya langsung gemetar badannya dan menangis seraya minta tolong ditobatkan dengan harapan Tuhan mengampuni dosa-dosanya.

Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dan segalanya, begitu pula batu-batuan dan besi. Namun kesemuanya itu tidaklah beliau perhatikan dan hal hal yang demikian itu beliau anggap hanya merupakan ujian dan cobaan semata dari Allah SWT. Dalam usia 14 tahun, atau tepatnya masih duduk di Kelas Satu Tsanawiyah, beliau telah dibukakan oleh Allah swt atau futuh, tatkala membaca Tafsir : Wakanallahu syamiiul bashiir.

Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H.M. Zaini Abdul Ghani, yang sejak kecilnya hidup ditengah keluarga yang shalih, maka sifat-sifat sabar, ridha, kitmanul mashaib, kasih sayang, pemurah dan tidak pemarah sudah tertanam dan tumbuh subur dijiwa beliau ; sehingga apapun yang terjadi terhadap diri beliau tidak pernah mengeluh dan mengadu kepada orang tua, sekalipun beliau pernah dipukuli oleh orang-orang yang hasud dan dengki kepadanya.

Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang-orang yang shalih, hal ini tampak ketika beliau masih kecil, beliau selalu menunggu tempat tempat yang biasanya Alimul Fadhil H. Zainal Ilmi lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke Banjarmasin semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan tuan Guru H. Zainal Ilmi.

Di masa remaja Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. M Zaini Abdul Ghani pernah bertemu dengan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husin yang keduanya masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dan lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal Abidin. Setelah dewasa, maka tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau dalam berbagai hal dan banyak pula orang yang belajar. Para Habaib yang tua-tua, para ulama dan guru-guru yang pernah mengajari beliau, karena mereka mengetahui keadaan beliau yang sebenarnya dan sangat sayang serta hormat kepada beliau.

Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara wasiat, thariqat dari haqiqat, dan beliau seorang yang Hafazh Al Quran beserta hafazh Tafsirnya, yaitu Tafsir Al Quran Al Azhim Lil Imamain Al Jalalain. Beliau seorang ulama yang masih termasuk keturunan Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari yang menghidupkan kembali ilmu dan amalan-amalan serta Thariqat yang diamalkan oleh Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Karena itu majelis pengajian beliau, baik majelis ta’lim maupun majelis amaliyahnya adalah seperti majelis Syeikh Abdul Qadir al-Jilani.

Sifat lemah lembut, kasih sayang, ramah tamah, sabar dan pemurah sangatlah tampak pada diri beliau, sehingga beliau dikasihi dan disayangi oleh segenap lapisan masyarakat, sahabat dan anak murid. Kalau ada orang yang tidak senang melihat akan keadaan beliau dan menyerang dengan berbagai kritikan dan hasutan maka beliaupun tidak pernah membalasnya. Beliau hanya diam dan tidak ada reaksi apapun, karena beliau anggap mereka itu belum mengerti, bahkan tidak mengetahui serta tidak mau bertanya.

Tamu-tamu yang datang kerumah beliau, pada umumnya selalu beliau berikan jamuan makan, apalagi pada hari-hari pengajian, seluruh murid-murid yang mengikuti pengajian yang tidak kurang dari 3000-an, kesemuanya diberikan jamuan makan. Sedangkan pada hari-hari lainnya diberikan jamuan minuman dan roti.

Beliau adalah orang yang mempunyai prinsip dalam berjihad yang benar dan mencerminkan yang terkandung dalam Al Quran, misalnya beliau akan menghadiri suatu majelis yang sifatnya da’wah Islamiyah, atau membesarkan dan memuliakan syi’ar agama Islam. Sebelum beliau pergi ketempat tersebut lebih dulu beliau turut menyumbangkan harta beliau untuk pelaksanaannya, kemudian baru beliau datang. Jadi benar-benar beliau berjihad dengan harta lebih dahulu, kemudian dengan anggota badan. Dengan demikian beliau benar-benar mengamalkan kandungan Al Quran yang berbunyi : Wajaahiduu bi’amwaalikum waanfusikum fii syabilillah.

Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani, adalah satu-satunya Ulama di Kalimantan, bahkan di Indonesia yang mendapat izin untuk mengijazahkan (bai’at) Thariqat Sammaniyah, karena itu banyaklah yang datang kepada beliau untuk mengambil bai’at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan, bahkan dari pulau Jawa dan daerah lainnya.

Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani dalam mengajar dan membimbing umat baik laki-laki maupun perempuan tidak mengenal lelah dan sakit. Meskipun dalam keadaan kurang sehat beliau masih tetap mengajar. Dalam membina kesehatan para peserta pengajian dalam waktu-waktu tertentu beliau datangkan dokter spesialis untuk memberikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai. Seperti dokter spesialls jantung, paru paru, THT, mata, ginjal, penyakit dalam, serta dokter ahli penyakit menular dan lainnya. Dengan demikian beliau sangatlah memperhatikan kesehatan para peserta pengajian dari kesehatan lingkungan tempat pengajian.

Diantara karomah-karomah beliau :
1.      Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton, biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang-orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat di ambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya ; dengan tidak disadari dan diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangannya ke belakang dan ternyata ditangan beliau terdapat sebuah buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.
2.      Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguhi jamuan oleh shahibulbait maka tampak ketika itu, makanan tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, ternyata, makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak dimakan oleh beliau.
3.      Pada suatu musim kemarau yang panjang, dimana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa secara turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada didekat rumah beliau itu, maka beliau goyang-goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujan pun turun dengan derasnya.
4.      Ketika pelaksanaan Haul Syeikh Muhammad Arsyad yang ke-189 di Dalam Pagar Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh Alimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut, hal ini sempat mencemaskan panitia pelaksanaan haul tersebut, dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari.
5.      Banyak orang orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta meninggal dalam kandungan ibunya, semuanya ini menurut keterangan dokter harus dioperasi. Namun keluarga mereka pergi minta do’a dan pertolongan. Allimul Allamah Al Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa dioperasi.

Demikianlah diantara karamah dan kekuasaan Tuhan yang ditunjukkan kepada diri seorang hamba yang dikasihiNya. ***(Abu Daudi)
Karya tulis beliau adalah :
-         Risalah Mubarakah.
-         Manaqib Asy Syeikh As Sayyid Muhammad bin Abdul Karim Al Qadiri Al Hasani As Samman AlMadani.
-         Ar Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.
-         Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil A’zham Muhammad bin Ali Ba Alwy.

Wasiat Syeikh M. Zaini Abdul Ghoni :
1.      Menghormati ulama dan orang tua,
2.      Baik sangka terhadap muslimin,
3.      Murah hati,
4.      Murah harta,
5.      Manis muka,
6.      Jangan menyakiti orang lain,
7.      Mengampunkan kesalahan orang lain,
8.      Jangan bermusuh-musuhan,
9.      Jangan tamak / serakah,
10.  Berpegang kepada Allah, pada Qobul segala hajat,
11.  Yakin keselamatan itu pada kebenaran,
12.  Jangan merasa lebih baik daripada orang lain,
13.  Tiap-tiap orang yang iri, dengki, dan dosa jangan dilayani, serahkan saja kepada Allah semata.


~oOo~

Syekh Ahmad Khatib Sambas r.a (Sufi Agung asal Sambas, Kalimantan Barat)

Posted: Senin, 08 Agustus 2011 by Rusman Effendi in
0

Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau (nomaden) memang masih menjadi bagian cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.

Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.
Guru-gurunya :
1. H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.
2. Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari
3. Syeh Daud Bin Abdullah Al Fatani (ulama asal Patani Thailand Selatan yang bermukim di Mekkah)
4. Syeh Abdusshomad Al Palimbani (ulama asal Palembang yang bermukim di Mekkah)
5. Syeikh Abdul hafidzz al-Ajami
6. Syeh Ahmad al-Marzuqi
7. Syeh Syamsudin, mursyid tarekat Qadiriyah yang tinggal dan mengajar di Jabal Qubays Mekkah.

Ketika kemudian Ahmad Khatib telah menjadi seorang ulama, ia pun memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah pernah kembali lagi ke tanah air.

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syeikh Sambas, demikian para ulama menyebutnya kemudian, melalui ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari Makkah. Syeikh Sambas merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, termasuk Syeikh Nawawi al-Bantani adalah salah seorang di antara murid-murid Beliau yang berhasil menjadi ulama termasyhur.

Salah satunya adalah Syeikh Abdul Karim Banten yang terkenal sebagai Sulthanus Syeikh. Ulama ini terkenal keras dalam imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan mengobarkan pemberontakan yang terkenal sebagai pemberontakan Petani Banten. Namun sayang, perjuangan fisiknya ini gagal, kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas.

Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan para Syeikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di Makkah.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam asti intelektual), yan g juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara.

Hal ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam. 

Peranan dan Karyanya
Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.

Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karyanya berupa kitab FATHUL ARIFIN nang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tanggal tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah.

Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.

Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun Beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.

Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Disember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281 H. oleh Haji Ahmad bin Penggawa Nashir.

Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.

Murid-Muridnya antara lain :
1. Syeh Nawawi Al Bantani
2. Syeh Muhammad Kholil Bangkalan Madura
3. Syeh Abdul Karim Banten
4. Syeh Tolhah Cirebon

Syeh Nawawi Al Bantani dan Syeh Muhammad Kholil selain berguru kepada Syeh Ahmad Khatib Sambas juga berguru kepada Syeh Ahmad Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafii di Masjidil Haram Mekkah.
Sepeninggal Syeh Ahmad Khatib Sambas, Imam Nawawi Al Bantani ditunjuk meneruskan mengajar di Madrasah beliau di Mekkah tapi tidak diberi hak membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Sedangkan Syeh Muhammad Kholil, Syeh Abdul Karim dan Syeh Tolhah diperintahkan pulang ke tanah Jawa dan ditunjuk sebagai Khalifah yang berhak menyebarkan dan membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Murid murid Syeh Ahmad Khatib Sambas diatas adalah guru para Ulama-Ulama Nusantara generasi berikutnya yang dikemudian hari menjadi ulama yang mendirikan pondok pesantren dan biasa dipanggil dan digelari sebagai KYAI, Tuan Guru, Ajengan, dsb.

COPAS : http://biacksambas.blogspot.com/2011/04/syeh-ahmad-khatib-sambas-1803-1875-guru.html
Di publikasi : di Halaman Kisah Para Datu dan Ulama Kalimantan

KH. Abdurrahman Kopi Barabai

Posted: by Rusman Effendi in
5

KH.Abdurrahman Kopi sebutan beliau,beliau dilahirkan di Kampung Qadhi Barabai, putra dari KH.Muhammad Sa'ad,ibundanya adalah Hj.Sarimas binti KH.Muhammad Yusuf bin KH.Muhammad Thoyyib bin al-Alimul al-Allamah KH Muhammad Amin bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Datu Kalampayan.
ketika beliau kecil namanya adalah Asnawi,namun karena pada waktu itu beliau diludahi di mulut oleh Datu Sapat Syeikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari Mufti Kerajaan Indragiri Riau,adan sejak itu beliau selalu teringat dengan Datu Sapat maka untuk tafaulan dan mengambil berkat Datu Sapat yang semoga ia menjadi alim seperti Datu sapat maka dirubahlah namanya menjadi Abdurrahman.tanggal dan tahun kelahiran beliau tidak tercatat,beliau adalah seorang ulama yang sangat santun yang menjadi contoh tauladan dan panutan semua orang khususnya santri santrinya dan masyarakat Barabai Hulu sungai tengah,lemah lembut perkataannya,sama sekali tidak pernah mengeluarkan kata kata kotor,jika yang datang kepadanya lebih muda maka ia memanggilnya dengan sebutan anak atau cucu,begitu pula bila yang datang mengaji kepadanya orang yang lebih tua,maka ia menghormatinya layaknya kepada yang lebih tua,sering yang datang kepadanya orang orang ahli maksiat,beliaupun tetap menerimanya dengan suara lembut memberikan apa yang bisa beliau berikan hingga orang orang tersebut menjadi insyaf dan meninggalkan segala perbuatan yang dimurkai Allah seperti berjudi,zinah dan perbuatan buruk lainnya.
beliau dipanggil orang dengan sebutan Haji Abdurrahman Kopi karena beliau tinggal dikampung kopi kampung Arab Barabai (jadi bukan karna beliau yang pertama membawa kopi ke kalimantan).
diceritakan oleh beberapa murid beliau,semasa hidupnya beliau tidak pernah membeli ikan dipasar,tapi bila beliau mengiginkan beliau akan mencari sendiri dengan cara memancing atau malunta (menangkap ikan dengan jala),tampaknya ia tidak pernah sulit mencari ikan,ikan apa saja yang beliau inginkan pasti dapat,tapi beliau cuma membawa ikan kerumah cukup untuk sekali dua kali makan saja.
beliau adalah seorang ulama yang menjunjung tinggi martabat kaum wanita,hal ini terbukti dalam kehidupannya dengan istri tercinta dirumah,bila ia dirumah setiap istrinya selesai mandi dan berpakaian beliau selalu membantu dari memasang hingga membetulkan kancing bajunya,begitu juga pada saat istri beliau memasak kalau ada waktu beliau juga turut membantu istrinya memasak...subhanallah..
di antara kata kata beliau yang terekam dalam ingatan para murid muridnya,ketika datang seorang muridnya dan meminta nasehat padanya untuk menghadapi masyarakat,beliau berkata " Kita hidup di dunia ini seperti musafir yang berjalan dijalan yang penuh rintangan,usahakan agar kita jangan sampai melanggar orang dan kita jangan sampai dilanggar orang karena kedua masalah ini akan membuat kita berurusan" demikianlah sebagian nasehat beliau.
beliau mengajar masyarakat sejak akhir tahun 60 an a baik kalangan wanita maupun kalangan pria ,setelah kurang lebih 30 tahun beliau memberikan pengajaran kepada masyarakat,akhirnya ALLAH SWT memanggil rohnya yang suci kembali ke alam yang kekal dan abadi,semoga Allah memberikan tempat yang tinggi didalam sorganya,dan semoga rahmat Allah selalu tercurah buat keluarga dan murid muridnya beserta seluruh orang orang yang mencintainya amiiiinn Ya Robbal alaminn.
jasadnya yang mulia di makamkan di depan rumahnya di kampung Kopi Barabai Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan,ketika wafatnya beliau ber umur 70 tahun. wallahu a'lam
mudah mudahan dengan membaca sekelumit riwayat dari seorang waliyullah taala dari bumi kalimantan ini kita bisa mendapatkan faedah dan keberkatan berkat kita mencintai mereka,akhirul kalam salah khilaf mohon di maafkan  wabillahi taufik wal hidayah assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh.

Sumber : Ulama berpengaruh Kalimantan Selatan
               Halaman Kisah Para Datu dan Ulama Kalimantan

Datu Patih Ampat

Posted: by Rusman Effendi in
0

Mereka diberi gelar Datu Patih Empat karena kemana saja menjalankan tugas selalu pergi berempat ketika mengabdi kepada kerajaan Negara Dipa maupun kerajaan Daha, berangkat yang satu yang lainnya pasti ikut,susah senang selalu bersama, mereka adalah
1. Datu Panimba Sagara suka memakai pakaian kuning mempunyai kesaktian kuat menyelam didalam air
2. Datu Pambalah Batung suka berpakaian hijau mempunyai kesaktian kuat seperti raksasa (kajian gancang)
3. Datu garuntung Manau senang memakai pakaian hitam mempunyai kesaktian mampu berlari secepat angin
4. Datu Garuntung Waluh mempunyai kesukaan berpakaian merah mempunyai keahlian dalam ilmu
    pengobatan dan dapat melihat jauh (tembus pandang)

Karena mereka memiliki sifat dan watak yang berbeda senjata mereka pun berbeda
- Datu Panimba sagara orangnya necis suka bersolek senjata andalannya Keris Naga Runting
- Datu Pambalah Batung pintar bicara dan pintar bersilat lidah senjata andalannya adalah
   Keris Sampana  Carita
- Datu Garuntung Manau mempunyai sifat pendiam dan jujur senjatanya adalah Balitung, sedangkan
- Datu Garuntung Waluh yang mempunyai sifat pendiam, keras hati, keras kemauan tapi sederhana dalam
   penampilan mempunyai senjata andalan yaitu Keris Tilam Upih

Senjata senjata yang mereka miliki ini semuanya bisa terbang melayang di udara atau mengahadang musuh,ini terbukti ketika senjata Cundrung Campur dari kerajaan di tanah Jawa datang mau memporak porandakan tanah Banjar,tampillah senjata senjata para Datu ini menghadang senjata Cundrung Campur diudara,dengan disaksikan Datu Patih Empat, bunga api pun berpijaran di angkasa, pecahan pecahan besi berkilauan menyilaukan mata.Keris sampana cerita bertugas menyerang,Keris Naga Runting menghadang diatas air, Belitung membantu Keris sampana Cerita dan keris Tilam Upih mengahadang lawan didarat, menurut cerita saking serunya pertempuran ini sampai berlangsung selama 3 hari 3 malam baru berakhir setelah hancurnya Cundrung Campur berkeping keping.

Keempat Datu ini sama saktinya,sulit dikalahkan,tetapi sayang mereka takut di khitan oleh Khatib Dayan, mereka lari kepegunungan meratus dan mendewata (gaib) disana sampai sekarang. Menurut kepercayaan masyarakat. Datu Patih Empat meskipun sudah gaib, mereka bisa dipanggil melalui balampah atau bertapa , kalau ingin mempunyai kekuatan tubuh bisa bersahabat dengan Datu Pambalah Batung, kalau ingin digjaya diatas dan didalam air bersahabat dengan Datu Panimba Sagara, kalau ingin berlari secepat angin bersahabat dengan Datu Garuntung Manau begitu juga kalau ingin mendapatakan ilmu pengobatan dan ilmu tembus pandang bersahabat dengan Datu Garuntung Waluh... Wallahu a'lam...riwayat ini dibuat untuk sekedar kita lebih mengenal orag orang tua jaman dulu,terlepas dari kesaktian kesaktian mereka yang diluar akal manusia, itu terserah saudaraku semua mau percaya apa tidak,mudah mudahan catatan kecil ini bisa bermanfaat bagi kita semua...Salam Dari Alfaqir...

Sumber  : Kisah Datu Datu terkenal Kalimantan Selatan
               Halaman Kisah Para Datu dan Ulama Kalimantan