Legenda Balahindang
Posted: Kamis, 23 Agustus 2012 by Rusman Effendi in
0
Suatu
ketika pada jaman dahulu kala tersebutlah dua orang suami istri beserta anaknya
yang pekerjaan mereka sehari-hari adalah bertani. mereka hidup berasal dari
bertani dan mengerjakan lahan mereka dengan tekun dan rajin. sehingga mereka
selalu berkecukupan. mereka tinggal di daerah yang disebut di Paulinan (Linuh)
yang sekarang terkenal dengan bendungannya, sebuah perkampungan di kecamatan
Bungur, Kabupaten Tapin.
Pada
suatu hari, kedua petani tersebut mencari ikan di batang (sungai) sebagai lauk
untuk makan pada hari itu. Peralatan yang digunakan untuk mencari atau menagkap
ikan tersebut adalah tangguk (alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipotong
kecil-kecil dan disusun sedemikian rupa. Setelah sekian lama mencari ikan di
batang tersebut, tidak ada satu ekor ikan pun yang masuk ke dalam tangguk
mereka.
Mereka
hampir putus asa dengan keadaan tersebut. Tetapi kemudian sang suami
mendapatkan sebiji telur besar, dengan senangnya dia bergegas menghampiri
istrinya dan sambil memperlihatkan telur yang diperoleh kepada istrinya. Namun,
ternyata sang istri justru menyarankan agar telur tersebut dibuang, walau
dengan berat hati dan perasasaan kecewa, tapi demi sang istri telur tersebut
akhirnya dibuang oleh sang suami ke arah hulu sungai.
Petani
tersebut kembali melanjutkan mencari ikan dengan tangguknya dan berharap segera
mendapatkan ikan untuk dimakan pada hari ini. Namun ternyata usaha mereka
sia-sia belaka. Tapi anehnya telur yang tadinya dibuang kembali lagi masuk ke
dalam tangguk mereka. Karena hari sudah mulai siang dan ikan tidak juga
didapat, maka akhirnya mereka memutuskan membawa telur tesebut ke rumah untuk
dimakan sebagai pengganti ikan.
Dalam
perjalanan pulang, sambil berbincang-bincang sang suami menjelaskan kepada sang
istri kalau dia tak perlu risau tidak mendapatkan ikan, karena mereka sudah
mendapatkan telur sebagai pengganti ikan dan inilah rejeki mereka pada hari ini.
Setelah sampai di rumah telur pun dimasak oleh sang istri untuk menjadi lauk
saat makan nanti.
Pada
waktu makan bersama, sang istri dan anaknya tidak mau memakan telur yang
tadinya dimasak karena takut dengan keadaan telur yang berbeda dari telur
biasanya, telur ini berukuran besar sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman
dari sang istri. Daripada tidak ada yang mau memakan telur yang tadinya
dimasak, maka sang suami itu sendiri yang memakannya. Usai memakan telur
tesebut tiba-tiba timbul rasa gatal-gatal disekujur tubuhnya dan dari kulit
sang suami itu muncul sisik-sisik yang
menyerupai seperti sisik naga.
Lama-kelamaan
berubah menjadi seekor naga yang berwarna Putih dan semakin hari sang naga
semakin bertambah besar.
Akibat
perubahan tersebut, keluarga petani merasa tidak nyaman dengan keadaan itu.
Kemudian naga tersebut diturunkan ke tanah melalui tangga dari dua buah batang pinang
muda yang dibuatkan oleh keluarganya dan sampai kesebuah parit kecil. Sang naga
kemudian melakukan perjalanan ke hilir. Dalam perjalanannya, ia terus
menggerakkan tubuhnya yang besar.
Akibat
dari itu, parit yang tadinya kecil berubah menjadi sebuah sungai yang lebar dan
panjang. Konon ceritanya, itulah legenda terjadinya sungai yang membelah kota Rantau dan kemudian
di sebut sungai Tapin.
Perjalanan
yang dilakukan oleh sang naga cukup jauh dari hulu (Paulaian-Linuh) ke hilir
dan sampai ke Muara Tabirai. Ternyata di Muara tabirai ini ada terdapat liang (lubang besar) dan kerena
kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang, maka sang naga memutuskan untuk
beristirahat dan tertidur di dalam liang yang baru ditemukannya. Padahal, liang
yang ditempati oleh sang naga Putih tersebut adalah tempat tinggal dari seekor
naga yang berwarna Habang (merah ) yang tadinya pergi mencari makan. Ketika
naga Habang kembali, dia terkejut karena di dalam liangnya sudah terdapat
seekor naga yang berwarna Putih, sehingga naga Habang menjadi marah. Kedatangan
naga Habang ke dalam liangnya, membuat naga Putih terkejut sehingga terbangun
dari tidurnya.
Naga
Habang tidak terima karena liangnya ditempati oleh naga Putih sehingga terjadi
perkelahian yang sangat hebat. Namun perkelahian ini tidak seimbang karena naga
Putih tidak mempunyai taring seperti naga Habang, sehingga perkelahian ini
dimenangkan oleh naga Habang. Kekalahan ini membuat naga Putih harus
meninggalkan liang yang baru didapatnya. Naga Putih kembali ke hulu menemui
istrinya dan mengadukan perihal kekalahannya dalam perkelahian melawan naga
Habang di liang yang baru ditemukannya. Untuk merebut kembali liang yang ditemukan
oleh naga Putih tersebut, dia disarankan oleh sang istri agar memasang pisau yang tajam dikiri dan kanan mulutnya
agar menyerupai sepasang taring milik naga Habang.
Saran
ini disetujui oleh naga Putih dan meminta kepada istrinya untuk membantu
memasangkan pisau tersebut ke kiri dan kanan mulutnya sebagaimana yang
disarankan oleh sang istri.
Setelah
pisau terpasang, naga Putih kembali menuju ke liang untuk menuntut balas atas
kekalahannya kepada naga Habang. Mereka kembali melakukan perkelahian, pada
perkelahian ini naga Habang mengalami luka disekujur tubuhnya akibat taring (pisau)
yang dimiliki oleh naga Putih, sehingga naga Habang dapat dikalahkan oleh naga
Putih. karena banyaknya luka yang dialami oleh naga Habang, sehingga dia tewas
di tangan naga Putih. akibat banyaknya darah yang dikeluarkan oleh naga Habang
pada saat perkelahian, seketika itu pula air sungai berubah menjadi merah
berkilauan dan memantulkan cahaya beraneka ragam warna yang indah merona di
langit senja.
Setelah
pertarungan usai, di bergegas kembali menuju ke hulu untuk memberikan kabar
gembira kepada sang istri bahwa dia telah dapat
mengalahkan naga Habang bahkan membuat naga Habang tewas. Sang istri
juga ikut merasa bahagia atas kemenangan yang didapat oleh sang suami (naga
Putih).
kebahagiaan
itu tidak berlangsung lama, karena sang suami menyadari kalau mereka tidak
mungkin bersatu dan hidup bersama lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan wujud diantara mereka. Derai air mata dan isak tangis diantara mereka
tidak bisa dibendung lagi. Sebagai tanda kecintaan dan kesetiaan naga Putih
terhadap anak dan istrinya, ia meninggalkan pesan terlebih dahulu kepada
keduanya. Pesan tersebut adalah “apabila merasa rindu
dan ingin bertemu kepadaku (naga Putih), maka akan turunlah hujan, panas
kemudian rintik dan pada akhirnya muncul pelangi. selagi masih ada pelangi diangkasa,
itu tandanya aku masih hidup dan cinta suciku selalu untuk kalian. Dan mulai
saat ini, panggillah aku(naga Putih) dengan sebutan “Balahindang”.
Balahindang kemudian kembali ke liangnya di Muara Tabirai dan bersemayam
disana.
Diilhami
oleh legenda si Balahindang yang membentuk sungai Tapin tersebut, pada masa
selanjutnya di jaman dahulu, ada seorang setengah baya bernama Gudabam, membuat
dua buah patung naga. Patung tersebut di beri nama Si Rintik (berwarna Putih)
dan si Ribut (berwarna merah) yang konon ceritanya sebagai menghormati kedua
naga yang menghuni dan bersemayam di Muara Tabirai tersebut (sungai Tapin).
Ketika
ada perkawinan dan dilakukan acara beantaran pengantin dari Gadung ke daerah
Balimau yang melewati sungai Tapin, maka digunakanlah perahu untuk mengantar pengantin dan didepan perahu
tersebut diletakkan patung kepala naga si Rintik dan si Ribut. Dalam perjalanan
melewati Muara Tabirai, terjadi keanehan yaitu kepala si Ribut menunduk-nunduk
seolah-olah ingin masuk ke dalam sungai.
Berdasarkan
legenda balahindang di awal, kepala naga seolah-olah ingin masuk ke sungai yang
diperkirakan disana terdapat liang yang dalam sebagai tempat mereka tinggal.
Melihat
kejadian ini pawing yang membuat patung naga tersebut mengambil sebilah parang
dan ditimpasakan (ditebaskan) kekepala naga si Ribut. Kepala patung tersebut kemudian
mengeluarkan darah dan kembali tegak seperti semula. Selanjutnya kepala dari
parung si Ribut di simpan di Museum Lambung Mangkurat.
Sedangkan
patung naga si Rintik masih ada di Tapin, yaitu tepatnya di Parigi dan disimpan
oleh penduduk disana. Menurut mereka, si rintik sulit dipisahkan dari mereka.
Pernah terjadi masalah ketika patung naga ini dibawa ke tempat lain, kulit mereka
berubah seperti bersisik. Sehingga kemudian mereka tidak menghendaki patung si
Rintik keluar dari tempat mereka.
Demikianlah
kisah tentang kedua petani yang pada akhirnya terpisah karena keadaan mereka.
Tentang istri petani dan anaknya kurang diketahui penulis kelanjutannya, tapi
ada yang berpendapat bahwa mereka berdualah yang merintis pedesaan sehingga
menjadi desa Linuh sekarang. Walaupun cerita ini berbau mistis, tapi kejadian
kisah ini diyakini oleh masyarakat kabupaten Tapin, khususnya orang-orang tua yang
berada di daerah hilir alirang sungai tapin tersebut, baik itu di Serawi,
Parigi, Margasari, Gadung dan terlebih di daerah Muara Tabirai itu sendiri.
Itu
adalah sebahagian cerita dari masyarakat yang begitu dipercayai sebagai sebuah
kejadian yang nyata. Sulit memang untuk menjadikan sebuah dongeng ke dalam
suatu peristiwa yang dianggap nyata. Namun, dalam hal ini yang menjadikan dasar
untuk mempercayai hal semacam itu adalah keyakinan seseorang dalam mengiyakan
bahwa carita samacam itu benar-benar ada serta berkembang dan beredar di
kalangan masyarakat.
Paling
tidak, itu menambah suasana cerita rakyat yang sekarang mulai pudar dengan
bermunculannya dunia perfilman di tengah-tengah masyarakat Indonesia .
Bagaimanapun, itu adalah sebagian cerita lokal untuk memperkaya dan mempertahankan
cerita rakyat di daerah kita sendiri ketika bersaing dengan dunia tekhnologi
yang sekarang sudah merebak dan menghambur. Bukankah itu sesuatu hal yang mungkin,
seandainya kita coba?
-oOo-