Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Legenda Balahindang

Posted: Kamis, 23 Agustus 2012 by Rusman Effendi in
0

Suatu ketika pada jaman dahulu kala tersebutlah dua orang suami istri beserta anaknya yang pekerjaan mereka sehari-hari adalah bertani. mereka hidup berasal dari bertani dan mengerjakan lahan mereka dengan tekun dan rajin. sehingga mereka selalu berkecukupan. mereka tinggal di daerah yang disebut di Paulinan (Linuh) yang sekarang terkenal dengan bendungannya, sebuah perkampungan di kecamatan Bungur, Kabupaten Tapin.

Pada suatu hari, kedua petani tersebut mencari ikan di batang (sungai) sebagai lauk untuk makan pada hari itu. Peralatan yang digunakan untuk mencari atau menagkap ikan tersebut adalah tangguk (alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipotong kecil-kecil dan disusun sedemikian rupa. Setelah sekian lama mencari ikan di batang tersebut, tidak ada satu ekor ikan pun yang masuk ke dalam tangguk mereka.

Mereka hampir putus asa dengan keadaan tersebut. Tetapi kemudian sang suami mendapatkan sebiji telur besar, dengan senangnya dia bergegas menghampiri istrinya dan sambil memperlihatkan telur yang diperoleh kepada istrinya. Namun, ternyata sang istri justru menyarankan agar telur tersebut dibuang, walau dengan berat hati dan perasasaan kecewa, tapi demi sang istri telur tersebut akhirnya dibuang oleh sang suami ke arah hulu sungai.

Petani tersebut kembali melanjutkan mencari ikan dengan tangguknya dan berharap segera mendapatkan ikan untuk dimakan pada hari ini. Namun ternyata usaha mereka sia-sia belaka. Tapi anehnya telur yang tadinya dibuang kembali lagi masuk ke dalam tangguk mereka. Karena hari sudah mulai siang dan ikan tidak juga didapat, maka akhirnya mereka memutuskan membawa telur tesebut ke rumah untuk dimakan sebagai pengganti ikan.

Dalam perjalanan pulang, sambil berbincang-bincang sang suami menjelaskan kepada sang istri kalau dia tak perlu risau tidak mendapatkan ikan, karena mereka sudah mendapatkan telur sebagai pengganti ikan dan inilah rejeki mereka pada hari ini. Setelah sampai di rumah telur pun dimasak oleh sang istri untuk menjadi lauk saat makan nanti.

Pada waktu makan bersama, sang istri dan anaknya tidak mau memakan telur yang tadinya dimasak karena takut dengan keadaan telur yang berbeda dari telur biasanya, telur ini berukuran besar sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dari sang istri. Daripada tidak ada yang mau memakan telur yang tadinya dimasak, maka sang suami itu sendiri yang memakannya. Usai memakan telur tesebut tiba-tiba timbul rasa gatal-gatal disekujur tubuhnya dan dari kulit sang suami itu muncul sisik-sisik  yang menyerupai seperti sisik naga.

Lama-kelamaan berubah menjadi seekor naga yang berwarna Putih dan semakin hari sang naga semakin bertambah besar.
Akibat perubahan tersebut, keluarga petani merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Kemudian naga tersebut diturunkan ke tanah melalui tangga dari dua buah batang pinang muda yang dibuatkan oleh keluarganya dan sampai kesebuah parit kecil. Sang naga kemudian melakukan perjalanan ke hilir. Dalam perjalanannya, ia terus menggerakkan tubuhnya yang besar.

Akibat dari itu, parit yang tadinya kecil berubah menjadi sebuah sungai yang lebar dan panjang. Konon ceritanya, itulah legenda terjadinya sungai yang membelah kota Rantau dan kemudian di sebut sungai Tapin.

Perjalanan yang dilakukan oleh sang naga cukup jauh dari hulu (Paulaian-Linuh) ke hilir dan sampai ke Muara Tabirai. Ternyata di Muara tabirai ini ada  terdapat liang (lubang besar) dan kerena kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang, maka sang naga memutuskan untuk beristirahat dan tertidur di dalam liang yang baru ditemukannya. Padahal, liang yang ditempati oleh sang naga Putih tersebut adalah tempat tinggal dari seekor naga yang berwarna Habang (merah ) yang tadinya pergi mencari makan. Ketika naga Habang kembali, dia terkejut karena di dalam liangnya sudah terdapat seekor naga yang berwarna Putih, sehingga naga Habang menjadi marah. Kedatangan naga Habang ke dalam liangnya, membuat naga Putih terkejut sehingga terbangun dari tidurnya.

Naga Habang tidak terima karena liangnya ditempati oleh naga Putih sehingga terjadi perkelahian yang sangat hebat. Namun perkelahian ini tidak seimbang karena naga Putih tidak mempunyai taring seperti naga Habang, sehingga perkelahian ini dimenangkan oleh naga Habang. Kekalahan ini membuat naga Putih harus meninggalkan liang yang baru didapatnya. Naga Putih kembali ke hulu menemui istrinya dan mengadukan perihal kekalahannya dalam perkelahian melawan naga Habang di liang yang baru ditemukannya. Untuk merebut kembali liang yang ditemukan oleh naga Putih tersebut, dia disarankan oleh sang istri agar memasang  pisau yang tajam dikiri dan kanan mulutnya agar menyerupai sepasang taring milik naga Habang.

Saran ini disetujui oleh naga Putih dan meminta kepada istrinya untuk membantu memasangkan pisau tersebut ke kiri dan kanan mulutnya sebagaimana yang disarankan oleh sang istri.

Setelah pisau terpasang, naga Putih kembali menuju ke liang untuk menuntut balas atas kekalahannya kepada naga Habang. Mereka kembali melakukan perkelahian, pada perkelahian ini naga Habang mengalami luka disekujur tubuhnya akibat taring (pisau) yang dimiliki oleh naga Putih, sehingga naga Habang dapat dikalahkan oleh naga Putih. karena banyaknya luka yang dialami oleh naga Habang, sehingga dia tewas di tangan naga Putih. akibat banyaknya darah yang dikeluarkan oleh naga Habang pada saat perkelahian, seketika itu pula air sungai berubah menjadi merah berkilauan dan memantulkan cahaya beraneka ragam warna yang indah merona di langit senja.

Setelah pertarungan usai, di bergegas kembali menuju ke hulu untuk memberikan kabar gembira kepada sang istri bahwa dia telah dapat  mengalahkan naga Habang bahkan membuat naga Habang tewas. Sang istri juga ikut merasa bahagia atas kemenangan yang didapat oleh sang suami (naga Putih).

kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami menyadari kalau mereka tidak mungkin bersatu dan hidup bersama lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan wujud diantara mereka. Derai air mata dan isak tangis diantara mereka tidak bisa dibendung lagi. Sebagai tanda kecintaan dan kesetiaan naga Putih terhadap anak dan istrinya, ia meninggalkan pesan terlebih dahulu kepada keduanya. Pesan tersebut adalah apabila merasa rindu dan ingin bertemu kepadaku (naga Putih), maka akan turunlah hujan, panas kemudian rintik dan pada akhirnya muncul pelangi. selagi masih ada pelangi diangkasa, itu tandanya aku masih hidup dan cinta suciku selalu untuk kalian. Dan mulai saat ini, panggillah aku(naga Putih) dengan sebutan Balahindang. Balahindang kemudian kembali ke liangnya di Muara Tabirai dan bersemayam disana.

Diilhami oleh legenda si Balahindang yang membentuk sungai Tapin tersebut, pada masa selanjutnya di jaman dahulu, ada seorang setengah baya bernama Gudabam, membuat dua buah patung naga. Patung tersebut di beri nama Si Rintik (berwarna Putih) dan si Ribut (berwarna merah) yang konon ceritanya sebagai menghormati kedua naga yang menghuni dan bersemayam di Muara Tabirai tersebut (sungai Tapin).

Ketika ada perkawinan dan dilakukan acara beantaran pengantin dari Gadung ke daerah Balimau yang melewati sungai Tapin, maka digunakanlah perahu  untuk mengantar pengantin dan didepan perahu tersebut diletakkan patung kepala naga si Rintik dan si Ribut. Dalam perjalanan melewati Muara Tabirai, terjadi keanehan yaitu kepala si Ribut menunduk-nunduk seolah-olah ingin masuk ke dalam sungai.

Berdasarkan legenda balahindang di awal, kepala naga seolah-olah ingin masuk ke sungai yang diperkirakan disana terdapat liang yang dalam sebagai tempat mereka tinggal.

Melihat kejadian ini pawing yang membuat patung naga tersebut mengambil sebilah parang dan ditimpasakan (ditebaskan) kekepala naga si Ribut. Kepala patung tersebut kemudian mengeluarkan darah dan kembali tegak seperti semula. Selanjutnya kepala dari parung si Ribut di simpan di Museum Lambung Mangkurat.

Sedangkan patung naga si Rintik masih ada di Tapin, yaitu tepatnya di Parigi dan disimpan oleh penduduk disana. Menurut mereka, si rintik sulit dipisahkan dari mereka. Pernah terjadi masalah ketika patung naga ini dibawa ke tempat lain, kulit mereka berubah seperti bersisik. Sehingga kemudian mereka tidak menghendaki patung si Rintik keluar dari tempat mereka.

Demikianlah kisah tentang kedua petani yang pada akhirnya terpisah karena keadaan mereka. Tentang istri petani dan anaknya kurang diketahui penulis kelanjutannya, tapi ada yang berpendapat bahwa mereka berdualah yang merintis pedesaan sehingga menjadi desa Linuh sekarang. Walaupun cerita ini berbau mistis, tapi kejadian kisah ini diyakini oleh masyarakat kabupaten Tapin, khususnya orang-orang tua yang berada di daerah hilir alirang sungai tapin tersebut, baik itu di Serawi, Parigi, Margasari, Gadung dan terlebih di daerah Muara Tabirai itu sendiri.

Itu adalah sebahagian cerita dari masyarakat yang begitu dipercayai sebagai sebuah kejadian yang nyata. Sulit memang untuk menjadikan sebuah dongeng ke dalam suatu peristiwa yang dianggap nyata. Namun, dalam hal ini yang menjadikan dasar untuk mempercayai hal semacam itu adalah keyakinan seseorang dalam mengiyakan bahwa carita samacam itu benar-benar ada serta berkembang dan beredar di kalangan masyarakat.

Paling tidak, itu menambah suasana cerita rakyat yang sekarang mulai pudar dengan bermunculannya dunia perfilman di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Bagaimanapun, itu adalah sebagian cerita lokal untuk memperkaya dan mempertahankan cerita rakyat di daerah kita sendiri ketika bersaing dengan dunia tekhnologi yang sekarang sudah merebak dan menghambur. Bukankah itu sesuatu hal yang mungkin, seandainya kita coba?

-oOo-

0 komentar: