Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Gerakan Melestarikan Rumah Adat dengan Miniatur

Posted: Kamis, 13 Desember 2012 by Rusman Effendi in
0

Melestarikan Rumah Adat bukan saja dengan memelihara atau memugar Rumah Adat Banjar yang sudah ada, dengan memelihara agar tetap ada itu lebih baik tanpa menghilangkan keaslian rumah adat tersebut.
Ada beberapa type Rumah Adat Banjar yang sekarang sudah mulai langka ditemukan, yaitu Rumah Adat Bubungan Tinggi yang dijadikan Maskot Daerah Kalimantan Selatan dan telah dijadikan logo Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan.

Walaupun ada keadaannya sangat memprihatinkan terbengkalai dan dibiarkan lapuk dimakan zaman, Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi yang ditinggalkan memang hak Ahli Waris yang memiliki terserah mau diapakan, namun alangkah baiknya Instansi terkait ikut serta untuk melestarikannya karena Rumah Adat Bubungan Tinggi telah dijadikan Maskot Propinsi.
Ada beberapa rumah Adat Bubungan Tinggi di Martapura yang keadaannya sangat memprihatinkan.

Lokasi rumah di Desa Bincau Muara
inilah satu-satunya rumah Adat Bubungan Tinggi mulai Desa Bincau sampai Desa Tunggul Irang


Lokasi rumah di Kelurahan Keraton Martapura
Rumah Adat ini berlokasi dibelakang sebuah Musholla



Lokasi rumah di Desa Pandak Daun Karang Intan
Bagian lantai, tawing, atap dan anjungan telah hancur namun ornamen bagian dalam masih utuh



Untuk gerakan meminiaturkan rumah adat ini kami minta Like dan Share sebanyak-banyaknya di photo dibawah ini, klik diphoto maka anda akan masuk di Album Photo Gerakan Melestarikan Rumah Adat Banjar Miniatur setelah beri silahkan berikan jempol :

   

Ratu Zalecha

Posted: Rabu, 12 Desember 2012 by Rusman Effendi in
0

Ratu Zaleha adalah satu dari sedikit pejuang wanita di Nusantara yang gagah berani membela tanah airnya dari cengkeraman kuku penjajahan Belanda. Bersama sang suami, Gusti Muhammad Arsyad bin Gusti Muhammad Said, Ratu Zaleha adalah penerus perjuangan Pahlawan Nasional Perang Banjar Pangeran Antasari. 

Ratu Zaleha (Gusti Zaleha) dan Gusti Muhammad Arsyad memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat. Orangtua Ratu Zaleha: Sultan Muhamad Seman dan orangtua Gusti Muhammad Arsyad: Gusti Muhammad Said adalah anak Pangeran Antasari. Jadi antara Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad terhitung saudara sepupu sekali.

Pangeran Antasari bersama Pangeran Hidayatullah, Demang Leman, Penghulu Rasyid, Tumenggung Jalil, Tumenggung Surapati, Haji Buyasin dan pejuang-pejuang Banjar lainnya bahu-membahu mengobarkan perang melawan kolonialisme Belanda. Perang permusuhan terhadap Belanda tak berhenti setelah sejumlah tokoh gugur atau diasingkan keluar pulau. Perlawanan dilanjutkan oleh anak keturunannya meski harus menderita kelaparan kekurangan makanan, keluar masuk hutan rimba pedalaman Kalimantan dan setiap waktu diintai maut karena menolak tunduk kepada Belanda.

Salah satu pejuang yang pantang menyerah kepada Belanda adalah Ratu Zaleha. Ratu Zaleha akhirnya berjuang sendirian setelah suaminya Gusti Muhammad Arsyad ditangkap Belanda pada 4 Januari 1904 (kemudian diasingkan ke Bogor) dan ayahnya Sultan Muhammad Seman tewas dalam pertempuran di Bomban Kalang Barat, hulu Beras Kuning, Sungai Menawing, pedalaman Barito, 24 Januari 1905.
Setelah tertangkap dan gugurnya para tokoh pejuang ini, Ratu Zaleha pun menjadi target utama yang paling dicari Belanda. Walau menderita kelelahan fisik dan batin luar biasa karena menjadi buruan Belanda, Ratu Zaleha menolak menyerah. Ia terus melawan. Bahkan, senjata kelewang Ratu Zaleha pernah memotong leher serdadu Belanda dalam suatu pertempuran di Barito.

Anggaraini Antemas dalam artikelnya di Harian Utama edisi 26 September 1970 yang berjudul ‘Mengenang Kembali Perdjuangan Pahlawan Puteri Kalimantan Gusti Zaleha’, menyebutkan dalam suatu medan perang di lembah Barito Ratu Zaleha terkepung pasukan Belanda. Hutan di sekitarnya dibakar oleh pasukan Belanda hingga menjadi lautan api. Di bawah  desingan peluru dan kepungan api yang membakar, Gusti Zaleha keluar mempertahankan hidupnya yang terakhir.

“Rambutnya yang cukup panjang dan disanggul rapi telah putus dilanda peluru. Sedang lengannya yang kiri ditembus pula oleh peluru yang lain sehingga badannya bergelimang merah darah. Baju dan celana compang camping, darahnya mengalir membasahi tubuh, namun air matanya tak pernah jatuh setetespun menyesali perbuatannya itu. Wasiat almarhum ayah dan suaminya sebelum masuk perangkap Belanda tetap dipegang teguh,” tulis Anggraini. Untuk sementara Ratu Zaleha dapat meloloskan diri dari kepungan maut peluru dan api yang dahsyat.

Bujukan menyerah dari Belanda tak mampu meluluhkan hati Ratu Zaleha. Perlawanan Ratu Zaleha berakhir di awal tahun 1906. Menurut Gusti Hindun, keponakan Ratu Zaleha yang juga putri Gusti Muhammad Arsyad, pejuang wanita Banjar ini akhirnya tertangkap setelah pelarian seusai aksi bumi hangus Belanda.
Setelah terus diburu tanpa henti oleh tentara Belanda, Ratu Zaleha menyelamatkan diri di sebuah rumah penduduk.  Oleh tuan rumah ia ditawari untuk membersihkan badan dan pakaian yang kotor. Usai mandi, tanpa sempat beristirahat ia sudah siap dijemput pasukan tentara Belanda yang telah menunggunya di pekarangan rumah.

“Beliau masuk ke rumah penduduk dan setelah membersihkan badan, di luar halaman rumah sudah penuh tentara Belanda,” kata Gusti Hindun, 85 tahun kepada KabarBanjarmasin.com.

Menurut Anggaraini, peristiwa tertangkapnya Ratu Zaleha itu karena pengkhianatan penduduk. Dari Barito, Ratu Zaleha dibawa ke Banjarmasin dan selanjutnya diasingkan ke Bogor (di kawasan Keramat Empang Bogor) untuk berkumpul dengan suaminya Gusti Muhammad Arsyad.

Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad kemudian dipulangkan ke Banjarmasin oleh pemerintah Belanda pada tahun 1937. Sempat menikmati suasana Indonesia Merdeka, Ratu Zaleha akhirnya berpulang ke rahmatullah pada 24 September 1953 dalam usia lebih 70 tahun. Sementara Gusti Muhammad Arsyad telah mendahului meninggal dunia pada tahun 1941 dalam usia 73 tahun. Jenazah Ratu Zaleha dimakamkan di Komplek Makam Pahlawan Perang Banjar di Jalan Masjid Jami Banjarmasin

Sumber : http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/ratu-zaleha-pahlawan-wanita-dari-kalimantan.html

Miniatur Rumah Adat Banjar

Posted: Selasa, 04 Desember 2012 by Rusman Effendi in
8

Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang. Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596–1620. Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan. 

Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi. Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tampak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar. Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.

Adapun Jenis-jenis Rumah Adat Banjar adalah :
1. Bubungan Tinggi
2. Gajah Baliku
3. Gajah Manyusu
4. Palimbangan
5. Palimasan
6. Balai Bini
7. Balai Laki
8. Tadah Alas
9. Cacak Burung/Anjung Surung
10. Bangun Gudang

Dengan tujuan untuk melestarikan Rumah Adat Banjar, kami coba berkreasi dengan membuat Miniatur Rumah Adat Menggunakan Kayu

Lamun Urang Kreatif  Supan manciplak nang sudah kami ulah .... !!! 


Miniatur Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi
https://www.facebook.com/Rusman.eff

Miniatur Rumah Adat Banjar Gajah Baliku
https://www.facebook.com/Rusman.eff

Miniatur Rumah Adat Banjar Palimbangan
Miniatur Rumah Adat Banjar Gajah Manyusu
Miniatur Rumah Adat Banjar Palimasan

Miniatur Rumah Adat Banjar Balai Bini
Miniatur Rumah Adat Banjar Balai Laki


Miniatur Rumah Adat Banjar Cacak Burung (Anjung Surung)

Miniatur Rumah Adat Banjar Tadah Alas

Miniatur Rumah Anno 1925 yang pernah ada di Seberang Mesjid Sabilal Mutaddin Banjarmasin

Miniatur Rumah Adat Bubungan Tinggi Full Warna

Yang Berminat Silahkan Hubungi : an. Rusman Effendi



http://os.bikinaplikasi.com/download/rdsonline


 






Kontak Person : 0853 4855 4947
Email : suryanata.com@gmail.com

Alamat : Jalan A. Yani Km. 39 No. 23D Gang Wiryo Utomo 2 Martapura Kalimantan Selatan




 

Perang Banjar 2

Posted: Sabtu, 06 Oktober 2012 by Rusman Effendi in
0

Pangeran Antasari "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin"

S
setelah Pangeran Hidayatullah ditangkap, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh Pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris Kesultanan Banjar. Untuk mengkokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh.
“Adakah kabar penting Lehman ?” Khalifah membuka percakapan.
“Oo tidak … Tidak ada hal-hal yang terlalu luar biasa,” jawab Lehman. “Hanya saja kami semua mendengar bahwa Khalifah-sakit.”
“Seperti yang kamu lihat sendiri, Lehman …. penyakit orang-orang telah berumur. Tapi Insya Allah, aku akan sehat kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini kuserahkan kepada mereka bertiga ini ….,” jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh Kiai Demang Lehman.
Selanjutnya Kiai Demang Lehman menyampaikan pesan para panglima dari Hulu Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir pada saat pelantikan Khalifah serta permohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat sembuh. “Kami para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah berikrar dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur terus di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata’ala memberikan daya dan kemampuan kepada kami.”

“Alhamdulillah…,” ucap Khalifah. “Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari’at Islam. Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus berlangsung sepanjang usia umat manusia.

Pembicaraan dalam pertemuan ini beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah, dimana antara lain ia berucap: “Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita tidak dapat selalu bertempur bersama, bertemu dan apalagi memperbincangkan sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu persamaan cita-cita dan tujuan, yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang sabil.

“Inilah…,” tekannya. “Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai. Dan saya sendiri sudah kehilangan se¬orang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini. Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku..”

Kembali ia terdiam merenung, lanjutnya: “Perang adalah sungguh-sungguh kesengsaraan. Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad!” katanya bersemangat.

“Biar seribu kali Nieuwenhuyzen mengeluarkan maklumat proklamasinya yang menyebut-nyebut bahwa tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan kemakmuran rakyat, memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta menganggap kita binatang buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan menuduh kita menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan perang kita, semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni boleh membunuh kita, tetapi tidak semangat kita! Lalu menyerah.

Menyerah setelah sekian banyak korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan kesengsaraan selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya tentang menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang yang paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan.”

Kiai Demang Lehman mengangguk, menunduk sebentar kemudian mengangkat muka. “Mungkin sebagian kesalahan itu ada pada saya,” ia mulai dengan suatu pengakuan yang jujur. “Dan jika itu dinamakan kesalah¬an juga, maka kesetiaan itulah saya kira asal-mula sebabnya. Hanya, kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang pemuda tanggung bernama Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan dengan gelar Kiai Demang Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam senjata ini,” katanya sambil memperlihatkan senjata-senjatanya.

“Kesetiaan saya adalah kesetiaan seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang dicintainya dan sebaliknya menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang diharapkan membimbing rakyatnya keluar dari penindasan dan kesengsaraan. Dan di atas segala-galanya kesetiaan kepada manusia.”

Pembicaraannya terhenti. Kemudian ia lanjutkan: “Saya iba melihat Pangeran Hidayat dan keluarganya terlunta-lunta dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata dan penghidupan rakyat semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut, maka saya mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa penyerahannya akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar dugaan saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck tentang pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan senjata.”

“Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa Pengeran Hidayat tidak akan diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah menempuh suatu cara yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya haram untuk dipercayai!” Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan rasa geramnya atas pengkhianatan Belanda. 
“Tetapi ketika Kompeni membawa Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin, saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali menyerah untuk kedua kalinya,” katanya menyesal.
“Adapun saya sendiri, Insya Allah pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat kedua kalinya. Dan saya bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi dinamakan juga kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!” ujarnya dengan hati berkobar tapi penuh taqwa. “Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap Agama, kesetia¬an terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaan-kesetiaan lainnya”

Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai sngkat bicara: “Yah…, kesalahan semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit,” ujar khalifah lebih lanjut.

“Mayor Verspyck ini telah mengirim suratkepadaku dengan perantaraan orang kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara. Katanya, bahwa bilamana aku dan kawan-kawan seperjuangan ingin memperbaiki kesalahan dan berhajat minta ampun kepada Kompeni, maka Kiai itu berkuasa membawa kami ke Mentalat untuk mendapatkan pengampunan dari Kompeni! Begitu kira-kira bunyi suratnya, Surapati?” tanyanya kepada Tumenggung Surapati.

“Sungguh surat yang mentertawakan,” jawab Tumenggung Surapati. “Menyerah dan meminta ampun dengan perantaraan surat? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !”

Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. “Aku telah membalas surat itu, Lehman”, katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya! Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!”

“Semua orang-kulit putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderad dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun kutolak dengan tegas. Kami akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting, Lehman.”

“Kita tidak, akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi menyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan Hidayat, orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang yang terang-terangan menentangnya mati-matian.”

Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.

Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.

Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.

Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.

-oOo-

Sumber : PERANG SABIL versus PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda)
oleh ABDUL QADIR DJAELANI
Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH 
Jakarta 1420 H / 1999 M
 

Perang Banjar 1

Posted: by Rusman Effendi in
0

Campur Tangan Belanda dalam Kekuasaan Kesultanan Banjar

S
ultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.

Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidilah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.

Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.

Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.

Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.

Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi.

Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.

Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat sebagai Mangkumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April 1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari dengan Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Dialog yang terjadi di rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai berikut.
“Begini, Hidayat! Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-pejuang Banjar …”
“…Sebentar !” Pangeran Hidayat memutus. “Siapa yang Paman maksudkan, dengan rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?”

Pangeran Antasari dengan sabar menjawab: “Rakyat yang selama ini ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk mengakhiri penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !”.

“Dan Paman termasuk pula di antara pejuang-pejuang itu?” sela Pangeran Hidayat.

“Itu bukan suatu hal yang aib!” Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. “Dan kau pun akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau baktikan hidupmu ini sebaik-baiknya”.
“Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?” tanya Pangeran Hidayat.
“Kesediaanmu untuk berjuang bersama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua perjuangan ini nanti !” Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.
Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. “Tapi ini berarti pem¬berontakan besar-besaran, Paman !”
Pangeran Antasari menjawab: “Pemberontakan adalah bahasa yang diper¬gunakan oleh Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !”
“Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya telah melihat bahwa telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan harus segera kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai”.
“Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang merdu menggugah perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran mereka: me¬rabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan kepadaku, bagaimana caranya kita me¬nunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini ?”
Pangeran Hidayat nadanya melemah: “Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita.”
“Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah yang kau takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari perjuang¬an ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah!” ucap Pangeran Antasari bersemangat.
Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin. “Tidakkah ada jalan lain selain pertumpahan darah ini, Paman” tanyanya kemudian.
Ada!” Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. “Dan jalan satu sudah dan sedang kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja, sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!”
Pangeran Hidayat tersinggung. “Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan kata-kata: mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu,” bantahnya. “Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka “.
“Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini,” Pangeran Antasari balas menyanggah. “Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang-pejuang Banjar masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu.”
“Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh Kompeni sebagai Mangkubumi!”
“Belum lagi kering air mata di atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan penobatan Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan kepercayaanmu yang penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat mencegah mala¬petaka yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak menyerahkan pamanmu sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!”

“Kemudian baru-baru ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah me¬nyanggupi kepada Residen Belanda untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka yang melakukan perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang seadil-adilnya! Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?” Jawab Pengeran Antasari dengan getir.

“Ingatan paman sangat baik,” jawab Pangeran Hidayat. “Apa yang Paman katakan itu semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya malah menjerumuskannya!”

“Paman, saya tidak bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar hati saya, saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa sebagian besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah. Saya percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan tanpa kita harus saling membunuh.”

“Sungguh akan menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa Kompeni akan berbondong-bondong datang mendengarkan khotbah¬mu! Hidayat, apa kamu masih juga percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh Kompeni sekarang ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar umat manusia di muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran darah?”

Sejurus Pangeran Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita yang sudah banyak mengaji mengetocui benar,” lanjutnya, “bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya”.

“Saya tidak tahu lagi, Paman,” Pangeran Hidayat terdesak. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan.”
“Kamu boleh tidak tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus kau lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!” desak Pangeran Antasari.
“Mengapa Paman masih terus mengharapkan supaya saya memimpinnya?”
“Karena kau adalah ahli waris yang sah dari kerajaan ini.”
Pangeran Hidayat menyanggah : “Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris yang sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini,” katanya jujur.
“Saya tidak terlalu berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya mendapat kehormatan dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah merebutnya dari datu-datu Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang mengusir Kompeni. Sedangkan saya…,” ia menggeleng-geleng. “Tidak, Paman. Mengapa tidak Paman sendiri menerus¬kan memimpinnya.”
“Jangan kita seperti anak kecil, Hidayat,” keluh orang tua itu kesal. “Membangkit-bangkit kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka, tidak menghapuskan adanya per¬talian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak meng¬harapkan lebih daripada kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada wasiat kakekmu almarhum.”
“Tetapi wasiat itu telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai Mangkubumi sekarang ini…Namun demikian”, jawab Pangeran Antasari, “Bagi mereka kau tidsk saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya untukmu.”

Pangeran Hidayat berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya. “Siapa diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?” tanyanya.

“Aku telah menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin oleh orang kepercayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada kita.”
“Yang terakhir ini sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk menyatukan Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga menjadikannya besan.”

“Ini suratan jodoh semata-mata,” jawab Pangeran Antasari.
Setelah. itu keduanya terdiam merenung sejenak. “Jadi semuanya mereka telah satu mufakat ?” tanya Pangeran Hidayat.

“Kau jangan menyangsikan lagi”, sahut pengeran Antasari tegas.
“Apakah Paman yakin bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?”
“Kita harus yakin, bahwa kita akan memenangkan ke¬benaran dari peperangan ini,”

Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-¬matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.

Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.

Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.

Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, dan Belanda melakukan tipu muslihat untuk menangkap Pangeran Hidayatullah dengan menyurati beliau kalau Ibunda Pangeran Hidayatullah sakit dan menyuruh beliau agar kembali ke Istana dengan menggunakan tanda tangan atau Stempel Ratu. Dengan cara itulah Belanda bisa menangkap Pangeran Hidayatullah. ***

Setelah Pangeran Hidayat ditangkap, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.

*** Ada sebagian kalimat kami ganti yang menyatakan kalau Pangeran Hidayatullah Menyerah.

-oOo-

-->
sumber : PERANG SABIL versus PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda)
oleh ABDUL QADIR DJAELANI
Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH 
Jakarta 1420 H / 1999 M 

Kesultanan Kotawaringin

Posted: Jumat, 28 September 2012 by Rusman Effendi in
0

Kesultanan Kotawaringin, satu-satunya kerajaan yang pernah ada di Prop Kalteng, bahkan masih terpelihara dengan baik. Bahkan semasa penjajahan Belanda, daerah ini luput dari rencana pengkristenan Dayak Besar. Hingga kini kita dapat melihat dan menyaksikan situs beserta benda-benda peninggalannya. Ternyata pendiriannya bermaterai darah manusia, termasuk dalam Panti Darah Janji Samaya.
Menyusuri Sungai Arut sepanjang ratusan kilometer yang membelah Kota Pangkalan Bun, sampailah kita di Kecamatan Kotawaringin Lama dengan Astana Al Noorsari-nya yang masih berdiri kokoh. Astana Al Noorsari adalah cikal bakal Kesultanan Kotawaringin sebelum pusat kekuasaannya pindah ke Pangkalan Bun tahun 1679 M/1171 H.

Di daerah ini, kita juga masih akan menemukan catatan sejarah lainnya. Terdapat makam Sultan-sultan Kotawaringin yang bertulisan huruf Arab Melayu, makam Kyai Gede seorang tokoh penyebar agama Islam sekitar abad ke 16. Kita juga dapat menemukan bangunan Masjid Djami Kotawaringin yang masih terbilang kokoh, meski hampir seusia ketika Kyai Gede menyebarkan Islam di daerah ini.

Dan, menapak tilas satu-satunya kerajaan yang pernah ada di propinsi Kalteng ini, memerlukan waktu cukup panjang, satu setengah jam dari Kota Pangkalan Bun dengan transportasi speed boat. Tak cuma itu, karena membicarakan Kesultanan Kotawaringin yang masih memiliki benang merah dengan kerajaan Banjar, tidak boleh tidak harus merunut sejarah kerajaan Banjar hingga kekuasaan Belanda turut bercokol di daerah ini.

Seperti dituturkan Gusti Djendro Suseno yang masih keturunan Raja ke VII Gusti Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan, keturunan Raja Banjarlah yang mula pertama membangun Kesultanan Kotawaringin.

"Kesultanan Kotawaringin memiliki benang merah sejarah sangat kuat dengan Kerajaan Banjar, hal itu tak dapat dinafikan," ungkap Djendro Suseno yang juga anggota DPRD Tk II Kotawaringin Barat dari Fraksi Golkar. Namun dalam perjalanan selanjutnya, tak terelakkan terjadi asimilasi atau percampuran dengan masyarakat setempat yang notabene adalah Suku Dayak.

Jadi menurutnya, tak dapat dipungkiri, masyarakat yang kini bermukim memenuhi seantero Kab Kotawaringin Barat, sebagian besar adalah juga anak cucu keturunan Suku Dayak. "Untuk mempererat jalinan kerjasama dan memantapkan kekuasaan, kala itu anak-anak kepala suku atau demang diambil sebagai istri mendampingi sang raja walau posisinya bukan sebagai istri pertama," imbuhnya.

Pangeran Adipati Anta Kasuma
Adalah Sultan Musta'inubillah Raja Kerajaan Banjar yang berputra lima orang, diantaranya empat orang laki-laki yaitu Pangeran Adipati Tuha, Pangeran Adipati Anum, Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional), Pangeran Adipati Anta Kasuma dan Puteri Ratu Aju. Karena masing-masing Putra Mahkota berminat menjadi Sultan sebagai pemegang tertinggi tampuk kerajaan, membuat sang ayah harus berpikir bijaksana.

Akhirnya, merasa bukan putra tertua, Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memiliki keberanian dan semangat tinggi untuk menjadi seorang pemimpin, bertekat pergi mencari tempat dan mendirikan kerajaan baru. Dan memang, Pangeran Adipati Tuha lah sebagai putra tertua yang akhirnya memegang tampuk kekuasaan kerajaan Banjar.

Dengan restu kedua orang tua serta pejabat-pejabat Kerajaan Banjar, berangkatlah dia beserta pengawal dan beberapa perangkat peralatan kerajaan. Menggunakan perahu layar kerajaan, bertolaklah mereka menuju arah barat menyusuri pesisir pantai. Di sepanjang jalan yang mereka lalui, banyak tempat yang disinggahi antara lain Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit dan Kuala Pembuang.

Rombongan Pangeran Adipati meneruskan pelayaran ke arah barat, sampai akhirnya mendarat di sebuah daerah, dinamakan Kuala Pembuang. Daerah ini sudah ada penghuninya yang juga berkiblat di bawah kepemimpinan Kerajaan Banjar, sehingga kehadiran rombongan yang bermaksud mendirikan kerajaan baru ini ditolak oleh masyarakat setempat.

Panti Darah Janji Samaya
Tanpa mengenal putus asa, dengan semangat tinggi rombongan Pangeran Adipati kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, perjalanan tidak lagi menyusuri pantai tapi menuju hulu sungai hingga akhirnya sampai ke sebuah desa yang dinamakan Desa Pandau. Walau Desa Pandau telah dihuni masyarakat Suku Dayak yang dikenal dengan Suku Gambu, Arut, Anom dan lainnya sebanyak sembilan macam suku, di bawah kepemimpinan Demang Petinggi di Umpang menerima kehadiran rombongan Pangeran Adipati.

Seperti juga tertulis dalam catatan sejarah "Sekilas mengenang lahirnya Kerajaan Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat" yang diterbitkan Humas dan Penerangan Setwilda Kobar 2001, Demang Petinggi sebagai kepala Suku Dayak menyerukan pada rakyatnya agar menerima rombongan Pangeran Adipati. Seruan Demang Petinggi ini didasarkan keinginan untuk mengangkat Pangeran sebagai raja tapi dengan syarat raja harus memperlakukan mereka bukan sebagai hamba, tetapi sebagai pembantu utama dan kawan terdekat atau sebagai saudara yang baik. Rakyat tidak akan menyembah sujud kehadapan Pangeran Adipati.

"Usulan ini ditimbang dan diterima baik oleh Pangeran dan seluruh rombongan," ujar Djendro diiyakan Gusti Rasyidin yang juga anak keturunan kesultanan ini. Selepas persetujuan itu, dari pihak Suku Dayak Arut mengusulkan agar perjanjian ini bukan sekedar di bibir saja, melainkan harus bermaterai darah manusia yang diambil dari seorang dari Suku Dayak Arut dan seorang dari rombongan Pangeran Adipati Anta Kasuma.

"Perjanjian itu dinamakan Panti Darah Janji Samaya yang berarti perjanjian yang dikokohkan dengan tetesan darah yang bercampur jadi satu," ungkap Gusti Rasyidin yang ketika wawancara berlangsung ditemani Nurhadi dan Ahmad Yusuf di Astana Al Noorsari Kotawaringin Lama.

Dengan tersendat-sendat, coba dia paparkan bagaimana perjanjian bermaterai darah itu berlangsung. Menurutnya, memang agak sukar diterima oleh akal, hanya demi sebuah janji harus mengorbankan dua manusia. Namun demikianlah adat yang berlaku, maka masing-masing kedua belah pihak menarik salah seorang pengikutnya untuk dijadikan korban perjanjian.

Sebelum kedua calon korban berdiri siap untuk dikorbankan, mereka mengambil sebuah batu yang harus ditancapkan ke tanah. Batu ini sebagai bukti atau perlambang turun temurun saksi sepanjang masa telah terjadi ikatan persaudaraan antara Suku Dayak dengan rombongan Pangeran Adipati dari Kerajaan Banjar. Dengan melakukan upacara adat yang hikmat, kedua calon korban berdiri di samping batu saksi yang kini dikenal dengan "Batu Pertahanan". Calon korban dari Suku Dayak berdiri menghadap ke hulu asal datangnya dan calon korban dari rombongan Pangeran berdiri menghadap ke hilir menunjukkan asal kedatangannya.

Selesai upacara sumpah setia, Kepala Suku Dayak mencabut mandaunya dan ditusukkan menembus ke dada korbannya, darah pun memancur deras. Korban dari pihak Pangeran Adipati pun ditusuk sehingga kedua darah korban ini memancur bersilang dan menetes jatuh menjadi satu membasahi tanah.

"Percampuran darah yang disaksikan kedua pihak inilah yang dimaksudkan untuk mempersatukan segala rasa dan pikiran dalam mewujudkan rencana bersama, membangun kerajaan," imbuh Rasyidin.

Terbentuk Kerajaan
Meski telah disepakati perjanjian antara kedua belah pihak, namun Desa Pandau masih dianggap belum cocok untuk membangun kerajaan baru. Kedua rombongan yang telah terpadu dalam "Panti Janji Darah Samaya" milir mengikuti aliran Sungai Arut, kemudian mudik Sungai Lamandau, mencari daerah paling pas untuk membangun kerajaan. Akhirnya, sampailah mereka di daerah yang meyakinkan yaitu Tanjung Pangkalan Batu yang kemudian hari dikenal sebagai Kotawaringin Lama. Berhentilah rombongan dan untuk beristirahat mereka membuat rumah di atas air yang biasa disebut "lanting".

"Ketika Pangeran Adipati naik ke darat, bertemulah dia dengan Kyai Gede seorang ulama penyebar agama Islam yang sudah lebih dulu tinggal di daerah itu," papar Rasyidin. Dan menurutnya, atas usulan Kyai Gede jugalah masyarakat sekitar yang dipimpin kepala suku, tidak perlu lagi membayar upeti ke Kerajaan Banjar, tapi ke Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memimpin langsung Kerajaan Kotawaringin sebagai raja pertamanya.

Kerajaan Kotawaringin yang berbasis Islam dengan didukung Kyai Gede sebagai Mangkubumi kerajaan, sebagaimana dipaparkan Gusti Djendro Suseno melakukan pencampuran dengan masyarakat suku asli yang masih menganut agama nenek moyang dan ini berlangsung hingga raja-raja berikutnya. Tercatat raja-raja yang berkuasa setelah kepemimpinan Pangeran Adipati Anta Kasuma. Pangeran Mas Adipati putra Pangeran Anta Kasuma yang menggantikan ayahndanya setelah wafat, berkuasa dari 920-941 H. Kemudian Pangeran Panambahan Anum (942-975 H), Pangeran Prabu Anum (975-1005 H), Pangeran Adipati Anum (1005-1050 H), Pangeran Penghulu (1050-1069 H), Gusti Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan (1069-1116 H), Gusti Musaddam Gelar Pangeran Ratu Anum Kusuma (1116-1171 H).

Namun dalam perjalanan selanjutnya, ketika ibukota kerajaan pindah ke Pangkalan Bun di bawah kepemimpinan Pangeran Ratu Imanuddin, yang menurut Djendro Suseno, pemerintahannya sangat pro pada pihak Belanda. Sehingga hubungannya dengan orang-orang Kotawaringin Lama menjadi tidak harmonis, karena Kotawaringin lama sangat kontra dengan penjajah Belanda.

Setelah kepemimpinan Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin, menyusul bertahta Pangeran Ratu Achmad Hermansyah (1265-1281 H), Gusti Muhammad Sanusi Gelar Pra kasuma Yudha (1265-1281 H), Pangeran Pakusukma Negara (1281-1325 H), Pangeran Samudra Gelar Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (1325-1332 H) dan Pangeran Muhammad Gelar Pangeran Ratu Kasuma Anum Alamsyah (1332-1350 H).

"Pemindahan ibukota kerajaan ke Pangkalan Bun ini yang dijadikan sebagai titik tolak lahirnya Kabupaten Kotawaringin Barat, tahun 1679 M yang terbagi atas Kec Arut Selatan, Delang, Lamandau, Kotawaringin Lama, Arut Utara, dan Balai Lama," lanjutnya bernada miris karena sejarah yang sepertinya tidak berpihak pada pendahulunya.

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sebelum Tahun 1950

Peranan Di Bidang Pemerintahan
Kesultanan Kotawaringin berdiri lebih dari tiga abad dengan satu kali perpindahan ibu kota dari Kotawaringin Lama ke Sukabuni Indra Sakti yang kemudian dinamai Pangkalan Bu’un. Sultan pertama Kesultanan Kotawaringin adalah Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin. Beliau memerintah dari tahun 1615-1630 M dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede.
Di masa pemerintahan sultan pertama ini disusun undang-undang Kesultanan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntala, selain itu di bangun Istana Luhur sebagai keratin Kesultanan Kotawaringin. Sultan juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (rumah panglima Perang) Gadong Asam, selain itu untuk keperluan perang dibangun Pa’agungan sebagai tempat menyimpan senjata dan beliau juga membangun surau serta paseban. (Bappeda : 2004 : 9-10)

Selain pembangunan fisik sultan juga menentukan batas-batas wilayah Kesultanan Kotawaringin yaitu :
1)      Sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sarang Pruya (Kerajaan Sintang).
2)      Sebelah timur berbatasan dengan sengai Mendawai.
3)      Sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Simbar (Kerajaan Matan).
4)      Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa. (Bappeda : 2004 : 10)

Sultan kedua adalah Pangeran Mas Adipati yang memerintah dari tahun 1630-1655 M dengan Mangkubumi Kyai Gede yang kemudia digantikan oleh Dipati Gading. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Panembahan Anum yang memerintah dari tahun 1655-1682 M dengan Mangkubumi Dipati Gading. Sultan Kotawaringin yang keempat adalah Pangeran Prabu yang memerintah dari tahun 1682-1699 M dengan Mangkubumi Pangeran Dira. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Dipati Tuha yang memerintah dari tahun 1699-1711 M dengan Mangkubumi Pangeran Cakra. Sultan Kotawaringin yang keenam adalah Pangeran Penghulu yang memerintah tahun 1711-1727 M. Keseluruhan sultan dari yang kedua hingga yang keenam dimakamkan di Kotawaringin, penulis sendiri tidak menemui penjelasan yang banyak tentang sultan kedua hingga yang keenam. Menurut Lontaan dan Sanusi pada masa-masa itu kesultanan berjalan lancer, aman dan tentram tidak ada gangguan dari manapun.

Sultan Kotawaringin yang ketujuh adalah Pangeran Ratu Bengawan  yang memerintah dari tahun 1727-1761 M. Pada masa pemerintahan beliau Kesultanan Kotawaringin mengalami masa keemasan dengan melimpahruahnya hasil bumi dan lakunya hasil kerajinan dari Kotawaringin di pasar regional. Sistem pemerintahan telah menugaskan beberapa menteri yang mengepalai beberapa wilayah, seperti Menteri Kumai, Menteri Jelai dan lain sebagainya. (Bappeda : 2004 : 11) Namun pada masa pemerintahan belaiu inlah Kesultanan Kotawaringin diserahkan Kerajaan Banjar ke Hindia Belanda. Mulai saat itulah pertanggungjawaban pemerintahan harus dilakukan kepada Kontrolir Hindia Belanda.

Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha menggantikan Pangeran Ratu Bengawan sebagai sultan kedelapan, beliau memerintah dari tahun1761-1805 M dengan Mangkubumi Pangeran Tapa Sana. Pada masa beliau di bangun pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang) sebagai tempat mendidik putra-putri kesultanan.

Pada masa Sultan kesembilan Pangeran Ratu Imanudin ibu kota Kesultanan Kotawaringin dipindahkan ketepian sungai Arut yang diberi nama Sukabumi Indra Sakti yang kemudian dikenal sebagai Pangkalan Bu’un. (wawancara dengan Gusti Awwannur : selasa 20 November 2007) Beliau memerintah dari tahun 1805-1841 M dibantu oleh Mangkubumi Pangeran Adipati Mohamad Saleh. Pada masa pemerintahannya di bangun Benteng Batu Beturus di sungai Lamandau dan membangun pertahanan di teluk Kumai, serta parit pertahanan di Sukamara untuk mengatasi bajak laut. Beliau juga membangun Istana Kuning dan rumah Raden Ratna Wilis untuk permaisuri beliau.

Sultan Kotawaringin yang kesepuluh adalah Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah dengan Mangkubumi Pangeran Paku Syukma Negara yang memerintah dari tahun 1847-1862 M. Setelah Sultan kesepuluh wafat beliau digantikan dengan Pangeran Paku Syuma Negara dengan Mangkubumi Pangeran Prabunata yang memerintah dari tahun 1862-1867 M. Pangeran Ratu Anum Kesumayuda kemudian menggantikan kedudukan sultan kesepuluh menjadi sultan kesebelas dari tahun 1867-1904 M dengan dibantu Mangkubumi Pangeran Paku Sukma Negara yang kemudian digantikan oleh Pangeran Mangku Prabu Nata, pada masa beliau ini diselesaikan pembangunan mesjid Jami dan di bangun Rumah Mangkubumi.

Setelah beliau wafat terjadi perebutan tahta karena beliau tidak memiliki anak laki-laki, akhirnya pihak Hindia Belanda melalui Kontrolir Van Duve engambil keputusan yang berhak naik tahta adalah keturunan dari Pangeran Imanudin. Sehingga Pangeran Paku Sukma Negara naik tahta kembali yang memerintah dari tahun 1904-1913 M dengan dibantu Mangkubumi Adipati Mangku Negara. Pangeran Paku Sukma Negara kemudian mengangkat ketiga putranya Pangeran Bagawan menjadi Raja Muda, Pangeran Kelana Perabu Wijaya Menjadi Perpatih dan Perdipati Menteri Dalam serta Pangeran Mohamad Zen menjadi Penghulu.

Pangeran Ratu Sukma Alamsyah bin Pangeran Begawan diangkat menjadi sultan ketigabelas dengan Mangkubumi Pangeran Adipati Mangkunegara yang memerintah dari tahun 1913-1939 M. Pengganti beliau adalah Pangeran Ratu Sukma Alamsyah yang dibantu Mangkubumi Pangeran Adipati Mangku, beliau memerintah dari tahun 1939-1948. Pada masa pemerintahan beliau dilakukan perluasan wilayah kesultanan sebagai berikut :

a.       Di Kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka dikenallah tempat itu dengan sebutan Sungai Bulin.
b.      Di Kampung Raja, membuka lokasi baru untuk tempat pemukiman penduduk Kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan / ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un atau disebut juga Kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan  Baru.
c.       Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jawa, sekarang menjadi kelurahan Sidorejo. (Bappeda : 2004 : 18 )

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Kebudayaan
Di dalam bidang kebudayaan sejak Kesltanan Kotawaringin beribukota di Kotawaringin Lama hingga dipindahkan ke Pangkalan Bun para sultam-sultan yang memerintah membangun istana-istana dan bangunan yang indah seperti istana Alnursari, mesjid Jami Kotawaringin dan Istana Kuning atau Keraton Lawang Agung Bukit Indra Kencana yang bersifat terbuka tanpa dilindungi benteng seperti di Jawa yang memiliki arsitektur gabungan antara pengaruh jawa, banjar, melayu dan dayak.

Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda terdapat hiburan sepreti Kelompok Musik Raja dan Pernaman Abdul Mulik Sejenis Komedi Saudi Arabia. Dalam hasil wawancara penulis dengan Pangeran Muasdjidinsyah tanggal 1 Desember 2007 dapat diketahui bahwa sejak dahulu apabila ada peringatan hari-hari besar islam selalu diadakan pasar malam di Lapangan Tugu, pada saat pasar malam tersebutlah ditampilkan pertunjukan-pertunjukan kesenian khas daerah baik yang asli dari Kotawaringin maupun dari luar daerah seperti :Jepen, Tirik, Mamanda, Ludruk, Ketoprak, Ronggeng dan lain sebagainya. Mengenai orang-orang Tionghoa, pihak kesultanan sengaja mengelompokkan mereka menjadi sebuah Pecinan di seberang sungai Arut dan mereka tetap diberi kebebasan untuk mengembangkan budayanya sendiri.

Pada masa Pendudukan Jepang kesenian daerah mulai di gali kembali. Untuk itu mereka mendirikan Keimin Bunka Syidosyo (Badan Pusat Kebudayaan) yang bertugas menggalakkan hidupnya kesenian rakyat. Hal ini didukung oleh pihak kesultanan dan para keturunan sultan sendiri sehingga menumbuhkan kelompok-kelompok kesenian yang baru. Misalnya saja, dalam waktu singkat bermunculan kelompok-kelompok sandiwara untuk mementaskan sandiwara di desa-desa sekelilingnya. Dari segi lain dapat diambil kesimpulan bahwa niat Pemerintah Pendudukan Jepang menumbuhkan kembali kesenian tradisional adalah untuk menghibur tentara Jepang agar dapat mengobati kerinduan kepada keluarga mereka di negaranya.

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Ekonomi
Pada masa Pangerana Ratu Bengawan (1727-1761 M ) Kesultanan kotawaringin mengalami masa keemasan, pada masa ini hasil pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di eksfor keluar daerah. Perdagangan hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat laku di pasaran regional. Krena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin.

Kerajaan Kotawaringin yang di bangun di awal abad ke 17 telah memacu pertumbuhan permukiman di sepanjang sungai di daerah Kotawaringin Barat. Permukiman yang ada dipacu oleh domain ekonomi bukan oleh domain politik yang membentuk kota-kota agrasi seperti di Jawa. Permukiman ini menggunakan sungai sebagai alat transfortasi dan elemen primer kota sehingga Pangkalan Bun sebagai ibukota Kesultanan Kotawaringin berkembang menjadi kota perdagangan yang menggunakan sungai sebagai sarana utama.

Pada waktu sultan ke 13 bertahta sekitar tahun 1930-an, hubungan antar wilayah di muara sungai atau tepi pantai ke daerah pedalaman sudah dapat di tempuh dalam waktu lebih singkat. Ini karena adanya kapal-kapal dagang orang-orang Tionghoa yang diperbolehkan oleh pihak kesultanan untuk mengangkut barang dagangan dan penumpang.

Pada masa Pendudukan Jepang di buat pabrik-pabrik yang melibatkan kerabat istana seperti : pabrik kapal di Sukamara dan pabrik pengolahan kulit bakau di Kumai. Pembangunan bangunan-bangunan untuk kepentingan Jepang juga dilakukan, serta pembukaan kembali Lapangan Terbang yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda.

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan pendidikan terutama untuk kerbat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).

Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan, Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.

Menjelang kedatangan Jepang, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta  yaitu yayasan Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.

Ketika Jepang masuk, mereka menemukan sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih semua sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pelajaran bahasa Jepang dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut Taiso. (Bappeda : 2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara Jepang yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepang juga semakin luas seperti tari-tarian ala Jepang dan sekolah-sekolah Rakyat juga diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada hari-hari besar bangsa Jepang. (Bappeda : 2005 : 38).

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sesudah Tahun 1950-1960

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang   Pemerintahan
Setelah daerah Swapraja Kotawaringin resmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950, daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.

Dengan berakhirnya kekuasan kesultanan, maka para bangsawan dan keturunan sultan tidak lagi memiliki jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Hanya beberapa keturunan Sultan dan bangsawaan yang sebelumnya sudah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, tetap dipekerjakan sebagai pegawai seperti gusti Hamidan, Gusti Majdhan, Gusti M. Taib dan lain-lain. Para bangsawan lainnya seperti Pangeran Aria Ningrat yang dulunya bekerja sebagai kepala distrik kembali kemasyarakat. (hasil wawancara dengan H. Tengku A. Zailani : Senin 22 November 2007)
Menurut Mastoer bin Atjil (wawancara, Jumat, 16 Nopember 2007), pada masa perubahan kekuasaan tersebut perekrutan pegawai negeri saat itu banyak yang diambil dari para bangsawan dan keturunan sultan. Contohnya adalah Pangeran Perdana yang merupakan anak sultan diangkat langsung menjadi pegawai negeri, dan ketika itu mayoritas penduduk kedarahan raja yang kebanyakan dari kaum bangsawan, dan keturunanya bekerja sebagai pegawai di pemerintahan.

Daerah Swapraja Kotawaringin sebagai bagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka pada waktu itu terpilih : M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi, Ahmad Said dari BPRI, Dahlan Abas dari partai Masyumi, M. Sahloel dari PNI, Gusti M. Sanusi dari PNI, Djainuri dari SKI, I. Ismail dari Parkindo. (Lontaan dan Sanusi: 1976 : 91) Dalam susunan wakil rakyat yang terpilih tersebut terlihat hanya Gusti M. Sanusi yang merupakan kerabat kesultanan yang terpilih dalam DPRDS.

Namun ketika Swapraja Kotawaringin menjadi Kabupaten sendiri yang disahkan dengan undang-undang No : 27 tahun 1959 tentang pembagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dapat terlihat banyak diantara kerabat sultan yang menduduki jabatan sebagai anggota DPRDGR, seperti : P. Arianingrat, Gst. Abdul Gani, Gst. Kiting, Gst. Hermansyah, Mas Karim DW, dan H. A. MAS Alipandi. Masuknya beberapa nama ini dalam DPRDGR menandakan mereka juga mulai  berkecimpung didalam bidang politik.

-oOo-