Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Datu Kartamina

Posted: Kamis, 29 April 2010 by Rusman Effendi in
5


Pada abad ke-14 di Kecamatan Kalua, Kabupaten Tabalong hidup seorang Datu yang bernama Kartamina. Menurut sahibul hikayat beliau berasal dari keturunan Raja Gagalang Kelua. Beliau mempunyai watak pemberani dan agak liar. Kebiasaan beliau adalah suka merendam kaki ke air.

Datu Kartamina mempunyak kesaktian bisa menciptakan buaya dengan merubah batang korek api menjadi buaya. Korek api itu beliau ambil sebatang dan diletakkan di telapak tangan kanan sambil mulut komat-kamit membaca mantra :
Oh, Gusti di alam hening
Hamba bermohon dengan bening
Ubahlah bilah ini menjadi buaya kuning
Bernyawa
Berenang-renang
Menjaga keamanan

Selanjutnya beliau pejamkan mata beberapa lama sementara mulut terus berkomat-kamit, maka batang korek api itupun berubah menjadi buaya, mula-mula kecil seperti cecak kemudian akan menjadi besar apabila dimasukan ke dalam sungai

Selain itu Datu Kartamina bisa mengubah diri menjadi buaya kuning. Kalau sudah menjadi buaya, beliau berdiam didasar sungai dan sesekali timbul ke permukaan sungai. Kalau buaya itu timbul di permukaan sungai orang-orang yang melihatnya akan merasa ketakutan karena bentuknya tidak seperti buaya kebanyakan, bentuk buaya kuning ini besar seperti pohon aren (enau) sangat menyeramkan. Jika beliau ingin kembali menjadi manusia, kelihatanlah air sungai beriak-beriak dan berbuih tebal, kemudian muncul buaya kuning dipermukaan sungai dan terus naik ke darat kemudian buaya kuning itu lambat laun berubah kembali menjadi manusia seperti sedia kala.

Datu Kartamina bersahabat dengan Raja dari Kerajaan Negara Dipa, Amuntai. Karena saking akrabnya mereka sering bertemu dan bercengkrama, terkadang Datu Kartamina datang ke Amuntai untuk bertemu dan terkadang Raja Negara Dipa yang datang ke Kalua.

Suatu hari sang raja datang berkunjung ke Kelua untuk melepas rindu pada sahabatnya Datu Kartamina karena lebih kurang dua bulan tidak bertemu, setelah tiba dirumah Datu Kartamina, sang raja mengetuk pintu rumahnya, namun stelah diketuk beberapa kali tetap tidak ada jawaban maka sang raja bertanya kepada tetangga disebelah rumah Datu Kartamina. Oleh tetangga di sebelah rumah beliau berkata bahwa tadi beliau sedang berada di sungai.

Sang Raja berjalan menuju ke sungai sebagaimana yang telah dikatakan oleh tetangga Datu Kartamina namun tidak menemukannya. Lalu sang raja berteriak-teriak memanggil sahabatnya tersebut dari pinggir sungai. “Kartamina …! Kartamina … ! dimana kau ? aku sahabatmu ingin bertemu” kata sang raja.

Setelah beberapa kali berteriak memanggil, tak lama kemudian air disungai dihadapan sang raja menjadi beriak-riak dan berbuih tebal, kemudian muncullah buaya kuning yang menyeramkan sebesar pohon enau. Melihat pemandangan yang ada di hadapannya sang raja terkejut dan takut yang luar biasa.

Sebelumnya Datu Kartamina tidak bercerita kepada sahabatnya bahwa beliau pandai menjelma menjadi Buaya Kuning, belum lagi hilang rasa terkejut dan rasa takut, sang raja dikejutkan lagi dengan terdengarnya suara dari buaya terbut yang menyebut namanya.

“Jangan takut sahabatku, akulah Kartamina yang kau cari” kata buaya itu. Setelah naik ke darat berubahlah buaya kuning itu menjadi Datu Kartamina yang asli. Sejak kejadian itu sang raja semakin senang bersahabat dan bergaul dengan Datu Kartamina sang raja pun sangat menghormati Datu Kartamina

Kenapa di Kalua disambat Padang Buaya
Menurut kepercayaan orang bahari dan sampai wahini pun bahwa di kalua ada kerajaan besar para buhaya mahluk halus yang dipimpin oleh Raja Datu Abi atau Raju Datu Banyu yang ada dialam sana alam sebelah kita, yang kada kawa kita lihat dengan mata telanjang biasa, mungkin hanya orang hawas yang memiliki ilmu gaib haja nang kawa malihat dan mengetahuinya keberadaannya, memang sebagian  orang di kalua datu nini bahari bagaduhan buhaya jadi-jadian, tapi bukan berarti sabarataan orang dikalua nang bagaduhan nya. Menurut dadangaran kisah, apabila sang ampunnya ada acara besar atau hajatan besar seperti kawinan dll, maka buaya tadi harus di barimakani (diberi sesajen) dengan melabuh saurang kasungai, yang penulis tahu salah satu sesajennya hintalo dan lakatan masak, misalnya kada ingat mambarimakani, maka ujar orang gaduhan buaya ngintu tadi bisa mamingit anak cucu yang manggaduhnya.

Sedikit kisah penulis ceritakan waktu penulis masih halus dahulu sekitar tahun 1990an. waktu itu ada pengantinan di sebuah kampung kecil yang terletak di kota Kelua. pada waktu malam acara pengantenan nya (malam minggu) ,awalnya acara persiapan pengantenannya berjalan lancar aja. tidak beberapa lama kemudian suasana menjadi ribut, gaduh dan orang banyak bukahan kaluaran rumah dari rumah pangantin bibini nya, penulis pun jadi  panasaran ae kanapa maka orang bukahan kaluar, ngaran kakanakan dahulu, tingkat panasarannya masih tinggi, lalu bawani masuki kadalam rumah pangantin babiniannya, tarnyata pangantin babiniannya kasurupan buhaya, pangantinnya tadi bakakat dilantai nang kaya buhaya tupang lagi dah.

Limbah malihat ngintu kadanya takutan malah handak manjanaki pangantinnya kasurupan, jaka kada orang orang tuha disitu manyariki  manyuruh kaluar, kada kaluar tupang balantak disitu malihat. telusur demi telusur ternyata pihak nang kaluarga yang bepangantinan tdi ada bagaduhan buhaya halus ngintu, dan mungkin kada ingat membari makani. kada tahu pasti jua pang kanapa maka kajadian ngintu sampai bisa terjadi.

Manurut kisah apabila sudah begaduhan maka akan diturunkan tarus manarus manggaduhnya ka anak lalakian selanjutnya turun temurun. Jadi ngintu tupang paninggalan orang Kelua bahari, nang sampai wahini masih ada keberadaannya di tengah masyarakat Kelua, dan nang maulah kalua manjadi disambat orang lawan banua buhaya.Keberadaan alam sebelah kada kawa dipungkiri adanya, dan kita wajib mempercayainya, karena itu sudah ditulis dalam Kitab Suci Al-Qur'an bahwa Tuhan menciptakan mahluknya dalam bermacam-macam jenis dan golongan, sekarang tinggal kita haja menyikapinya secara bijak.


-oOo-

Sumber : Cerita Datu-Datu tekenal Kalimantan Selatan

Nisan Berlumur Darah

Posted: Rabu, 28 April 2010 by Rusman Effendi in
0

Cerita Rakyat Martapura Mastor dan Fatimah

Mastor adalah pemuda yang bertempat tinggal di desa yang sekarang sekitar Pekauman dan Teluk Selong. Mastor berasal dari keluarga yang miskin, tetapi mempunyai pendidikan yang tinggi dan budi akhlaknya tinggi. Dia mempunyai keahlian membaca Al-Quran yang sangat indah didengar. Mastor sebagai orang yang tidak mampu ikut bekerja di rumah Fatimah sebagai pembantu. Fatimah merupakan gadis dari keluarga sangat kaya.

Mereka tinggal disebarang desa Mastor, mungkin sekarang daerah Kampung Melayu. Orang tuanya merupakan pedagang yang mempunyai hubungan dagang keluar daerah. Terutama daerah Singapura. Mastor sebagai pembantu mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukannya seperti menimba air, memotong kayu, dan lain-lain. Hari demi hari, bulan demi bulan itu saja yang dilakukannya untuk membiayai hidup dan orang tuanya. Selama beberapa tahun Mastor bekerja dirumah kaya itu membuat Fatimah secara tidak sadar jatuh cinta kepadanya begitu juga sebaliknya. Tetapi karena adat yang menjaga ketat pertemuan antara perawan dengan bujangan membuat hubungan mereka tidak diketahui oleh keluarga. Mastor sadar percintaan mereka pasti akan ditentang oleh keluarga Fatimah yang memegang adat keluarga. Mereka hanya akan menikahkan anak gadisnya hanya dengan orang yang sederajat dan mempunyai hubungan keluarga bangsawan dan pasti tentu harus pilihan keluarga. Tetapi Cinta di hati tidak bisa menolaknya. Tidak lama kemudian hubungan mereka mulai diketahui orang tua Fatimah. Betapa marahnya orang tua Fatimah mengetahui hal demikian. Mereka memutuskan untuk menjauhkan Mastor dari Fatimah dengan menugaskan Mastor menjaga kebun karet dan ladang keluarga Fatimah di seberang sungai. Kebun karet ini berada jauh dari rumah Fatimah, menujunya hanya bisa dengan perahu “jukung” karena melewati sungai yang kecil. Mastor diberikan pondok kecil untuk berteduh dan melakukan kegiatan sehari-hari. Setiap hari dia bekerja merawat kebun karet tersebut. Setiap hasil karet hanya orang suruhan keluarga Fatimah saja yang mengambilnya.

Dia tidak diberikan kesempatan untuk ke rumah sang Majikan. Fatimah mengetahui kabar Mastor hanya dengan meminta keterangan acil ijah, pembantu yang sering mengatarkan beras buat Mastor. Suatu hari ada orang kaya bernama Muhdar yang masih ada hubungan keluarga dengan Fatimah badatang (melamar) kerumah Fatimah dengan menggunakan satu buah kapal yang sangat besar sesuai dengan derajat kekayaan orang tersebut. Niat Muhdar disambut baik oleh keluarga Fatimah, mereka sepakat untuk mengadakan perkawinan besar-besaran. Hal ini tidak menjadi beban bagi Muhdar karena kakayaannya. Fatimah sangat menentang niat orang tuanya yang menjodohkannya dengan Muhdar. Dia kenal betul perangai Muhdar. Walaupun kaya tetapi dia tidak mempunyai budi pekerti dan ilmu agama sebaik Mastor. Tetapi dia harus menjalankan dua pilihan yang sangat berat. Di satu sisi dia mempunyai pilihan dan cinta yang diyakininya membawa kebahagian di dunia dan di akhirat yaitu hidup bersama Mastor. Di satu sisi dia harus mengikuti perintah orang tuanya, dia sadar menyakiti hati orang tua adalah perbuatan yang durhaka. Akhirnya Fatimah pasrah terhadap perjodohan ini.

Perjodohan yang dilandasi oleh harta, hubungan keluarga bukan oleh Cinta. Mastor yang berada jauh tidak mengetahui perjodohan ini. Semuanya yang datang ke gubuk Mastor bekerja selalu menutupinya. Mereka tidak ingin dipecat majikan jika menceritakan hal tersebut. Akhirnya acara pernikahan dimulai, Muhdar dating dengan beberapa kapal besar yang membawa mas kawin atau jujuran. Ada kapal yang membawa isi kamar lengkap, ada kapal yang membawa perhiasan emas dan batu permata, ada kapal yang membawa pakaian wanita yang sangat indah-indah. Bagi mereka semua itu hal biasa, karena bisnis dagang keluarga ini ke Singapura berupa batu permata dan kain. Mereka mempunyai banyak pelanggan di Singapura. Pada jaman tersebut sungai Martapura digunakan sebagai jalur perdagangan. Kapal-kapal besar pedagang Martapura sering berangkat membawa barang dagangan ke Pulau Jawa dan Sumatera hingga Singapura dan Malaysia. Sesuai dengan jalur perdagangan dunia antara Malaysia dan pulau Sumatera. Pada malam harinya ketika semua kelelahan. Muhdar dan Fatimah tidur di kamar penganten. Belum sempat malam pertama itu terjadi ternyata rumah Fatimah terbakar akibat api dapur lupa dimatikan. Muhdar lari keluar dengan segera tanpa memperdulikan Fatimah. Api semakin membesar Fatimah terjebak di dalamnya. Mastor yang belum tidur melihat dari kejauhan warna merah di langit yang menadakan kebakaran. Dia yakin kebakaran itu berada di rumah Fatimah. Tanpa peduli aturan majikannya yang tidak memperbolehkannya mendekati rumah dia langsung berlari mengambil jukung. Setelah sampai di rumah Fatimah dia diberitahu bahwa Fatimah terjebak di dalamnya.

Dengan kekuatan Cintanya dia terobos api dan menemukan Fatimah pingsan karena terlalu banyak menghirup asap. Dia angkat Fatimah melewati api yang besar. Dengan badannya dia melindungi Fatimah dari api dan kayu rumah yang berjatuhan. Setelah dia bawa keluar Mastor disambut Muhdar dengan merebut Fatimah daripangkuan Mastor. Dengan demikian Mastor akhirnya mengetahui perkawinan tersebut. Belum sempat diamendapatkan penjelasan, Mastor pingsan karena terlalu banyak luka baker yang dialaminya. Keluarga Fatimah memerintahkan agar Mastor dirawat kembali di gubuknya tempatnya bekerja. Dan menginginkanagar peristiwa heroic ini jangan sampai diketahui Fatimah. Subuh harinya Mastor tidak bisa bertahan. Diameninggal karena luka yang terlalu parah. Setelah sholat dzuhur dia dimakamkan di daerah perkebunan karettersebut. Atau tepatnya sekarang berada di desa Tungkaran. Makam Mastor sederhana dengan nisan ulin. Untuk mencegah babi hutan kuburannya juga dipagar bambu. Semuanya berada di pemakaman, baik teman-teman Mastor maupun keluarga Fatiamah. Tetapi Fatimah tidak mengetahui kematian ini. Dia masih lemah di kamar rumah Muhdar. Dia masih bertanya di dalam hati bagaimana dia bisa selamat, suaminya sendirimeninggalkannya saat kebakaran itu terjadi. Sewaktu malam hari pertanyaan itu dikeluarkannya pada Acil Ijah yang sejak kecil merawatnya. Acil Ijah tahu betul perasaan Fatimah kepada Mastor. Karena tidak dapat mendustai tuannya yang sejak kecil dia pelihara tersebut akhirnya dia ceritakan peristiwa kebakaran itu. Fatimah yang sangat rindu Mastor akhirnya menanyakan keberadaan Mastor. Dengan sangat hati-hati Acil Ijah menceritakan kematian Mastor dan memberitahukan letak kuburannya. Dia berjanji menemani Fatimah besok untuk ziarah ke kuburan Mastor. Fatimah Sangat terpukul hatinya mengetahui pemuda yang melindungidan dicintainya telah tiada. Menangislah Fatimah sejadinya. Setelah semua orang terlelap tidur, jam 3 subuh tanpa sepengetahuan yang lain Fatimah keluar rumah. Dia tidak dapat menyimpan perasaan rindu dan dukanya. Tanpa menunggu siang dia bertekad harus menemukan ke kuburan Mastor. Dia tidak yakin kekasihnya sudah meninggal jika tidak menemukan kuburannya langsung. Dia seberangi sungai Martapura danberjalan menyisir jalan setapak. Dia masih ingat letak kebun karet keluarganya ketika ayahnya pernah mengajak sewaktu kecil. Malam itu hari hujan dengan deras tetapi tidak menyurutkan hati Fatimah, di dalam hatinya hanya ada satu nama Mastor. Dipikirannya hanya ada satu wajah Mastor, pemuda yang sangat mengerti dirinya. Setelah tiba di kebun karet keluarganya, Fatimah tanpa sadar dan mungkin karena ilusi yang muncul karena obsesinya bertemu Mastor, dia melihat Mastor berdiri tersenyum kepadanya di tengah rintikan hujan.Tanpa berpikir panjang Fatimah berlari ingin memeluk tubuh kekasihnya melepaskan segala kerinduannya.Fatimah menabrak tubuh lelaki itu hingga terjatuh tanpa disadari pagar yang terbuat dari bambu yangmelindungi kuburan Mastor menusuk tubuh Fatimah tepat di dadanya. Darah mengucur dan menetes di atas kubur Mastor dan melumuri nisannya. Fatimah meninggal dengan senyum dia yakin menemukan cintanya.

-oOo-

Hikayat Panglima Burung (Bulan Jihad)

Posted: Senin, 26 April 2010 by Rusman Effendi in
2


Hikayat Panglima Burung justru menjadi  sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan etnis tahun 2001 di Kalimantan Tengah.  Saat itu Panglima Burung sebagai tokok gaib Dayak benar-benar dijadikan sandaran dalam menghadapi serangan etnis tertentu dari seberang. Apa boleh  buat, sesuatu  yang  telah dilupakan menjadi bangun  ke alam nyata. Lalu siapa Panglima Burung dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami  DAS Barito.
Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari  2001 di Sampit memaksa Panglima Burung hadir  “dan membantu warga  suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad, seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali, Ketua Pondok  Pesantren Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung (adalah) seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar hajjah”)

Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga menurunkan beberapa  tokoh  legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima sakti   lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu  terdapat dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima Api.
Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita berparas  cantik  namun  berwatak  bengis.  Panglima  Burung  sudah  ada  jauh sebelum Indonesia terbentuk”.  Namun begitu, yang mengejut­kan dari penuturan Kiyai Juhran ini adalah karena sosok  Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan menyandang titel seorang hajjah.

Dibawah judul: “Bulan Jihad itu Panglima Burung?”Anggraeni Antemas mengabarkan: “Pada 52 tahun yang lalu, tepatnya dalam bulan Januari 1949″, dalam kapasitas sebagai wartawan dan kolomnis Harian “WARTA BERITA” Medan, beliau pernah menulis. Isi tulisan menuturkan tentang “seorang pejuang wanita suku Dayak di udik (sungai) Barito yang  sakti  mandraguna. Konon, dia mengagumkan bukan saja karena keberaniannya menghadapi serdadu Belanda pada awal abad ke-19 tetapi juga  wajah dan sosok puteri Dayak tersebut adalah cantik namun beringas”. Kata Anggraeni, “Saya bersama Arsyad  Manan, wartawan Mingguan “WAKTU” memang telah bersepakat untuk menulis tentang kepatriotan pejuang wanita Dayak tersebut. Saya menulis untuk WARTA BERITA dan Arsyad Manan untuk WAKTU. Sumber utama kami  adalah   dua  orang  tokoh Dayak Kuala Kapuas yaitu Willem Anton Samat dan Adonis Samat (ayah dan  anak), yang   sama-sama senasib dengan kami sebagai orang politik “Republikein” yang tertawan masuk “Interneerings camp” Belanda pada clash II tahun 1948 di Banjarmasin. WA Samat dan Adonis Samat  bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti (Ratu) Zaleha dalam Perang Barito.  “Amuk Barito itu  terjadi  pada tahun  1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun,  Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan  bersatu  bahu  membahu  menghadapi serangan Belanda.  Nama-nama  pahlawan  Banjar seperti  Pangeran Antasari Gusti Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan  (para pahlawan Dayak  seperti) Temanggung Surapati,   Antung,  Kuing,  Temanggung  Mangkusari   dan  lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.

Dalam rentang perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”. Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha   kawan seperjuangannya.

Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah, Waja Sampai ka  Puting”. Dan karena ceritera kepahlawanan ini tetap diragukan orang maka Anggraeni Antemas dalam kesempatan berjumpa dengan Bapak Tjilik  Riwut (Gubernur pertama Kalteng) di Istana Merdeka Jakarta tahun 1950 menanyakan kebenaran kisah ini. Tjilik Riwut membenarkan  keberadaan srikandi Dayak  itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan  asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948)  sejalan dengan ceritera Pak Tjilik  Riwut (1950).

Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905, lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa keputusan  Bulan  Jihad dan sisa prajurit lainnya?  Ternyata Bulan Jihad tetap bertekad meneruskan perjuangan dan terus mengembara. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan. Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dia dibawa ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.

Sejak perpisahan itu, tidak  banyak orang  yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya  Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan  rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah muslimah Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi  perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.

Dari bukti sejarah yang ditunjukkan pendahulu kita menyatakan fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.  Kata Kiyai Juhran Erpan Ali,  “(Sejak) masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan  pun juga”.

-oOo-

Download Musik Panting dan Lagu Banjar

Posted: Minggu, 25 April 2010 by Rusman Effendi in
9



Pada awalnya musik Panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gambus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik Panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik Panting yang terkenal alat musiknya dan yang sangat berperan adalah Panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik Panting adalah A. Sarbaini. Dan sampai sekarang ini musik Panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Silahkan Download :
Japin Rantauan
Batambang Liring
Baras Kuning
Pagat Larangan



Lagu-Lagu Banjar
Pucuk Pisang 
Karindangan
Baras Kuning
Pangeran Suriansyah
Ampat Lima



Sumber Photo : Group Musik Panting "DENDANG BANUA" KM HSS Jogyakarta

Naga Dalam Tradisi Kalimantan

Posted: Sabtu, 24 April 2010 by Rusman Effendi in
6



Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Lambung Mangkurat dan Raden Suryanata atau Raden Putra pernah 'berurusan' dengan naga. Perahu layar mereka dililit dua ekor naga putih hingga tidak bisa bergerak. Konon, dua ekor naga putih itu adalah hamba dari Putri Junjung Buih, calon istri Raden Putra. Semua hewan air takluk kepada Putri Junjung Buih.

Latar belakang cerita tersebut dapat dilacak ke kosmologi orang yang mempercayai, di balik riak dan arus air sungai terdapat Alam Bawah Air yang dikuasai dewata perempuan bernama Jata. Di sana ada permukiman. Penghuninya sesekali menampakkan diri ke atas air dalam bentuk buaya. Bisa juga berbentuk Gajah Mina, yaitu makhluk mitologis seperti kuda nil namun memiliki belalai seperti gajah. Selain itu di Alam Bawah Air terdapat naga yang disebut Tambun.

Menurut sejarahwan Banjar Idwar Saleh (1983/4), Putri Junjung Buih, nenek moyang Urang Banjar itu, adalah manifestasi dari Jata, sang penguasa Alam Bawah Air. Karena itu ia mempunyai kuasa atas segala makhluk yang berada di dalam air, termasuk sepasang naga putih yang melilit perahu layar Lambu Mangkurat dan Raden Putra. Keturunanannya pun dianggap mempunyai asosiasi dengan Alam Bawah Air, yang tampak pada tradisi eksklusif badudus dari sekelompok babuhan.

Jata dalam konsepsi penduduk pribumi Kalimantan, bukan sekadar dewata perempuan. Dalam lukisan imam Dayak, ia digambarkan sebagai naga maha raksasa yang menyangga bumi. Tugasnya maha penting dan maha berat yaitu mengapungkan kepingan tanah, tempat tinggal manusia agar tidak tenggelam ke kedalaman air asali (primeval water) yang maha dalam. Ketika ia bergerak, air dan tanah juga bergerak. Gerakan itu yang disebut gempa bumi. Ketika hujan panas pada sore hari, pantulan sinar sisiknya yang terdiri atas emas tampak dalam bentuk bianglala.

Jadi, Jata adalah naga utama yang maha besar dan makhluk raksasa primordial yang sejak mula ada. Naga lain adalah pengikutnya. Dalam khazanah lokal Urang Banjar, ada dituturkan tentang leluhur yang menjelma menjadi naga. Beberapa kelompok bubuhan percaya, pasangan nenek moyang mereka dahulu tidak mati tetapi menjelma menjadi naga dan sampai sekarang masih hidup sebagai makhluk bawah air. Mereka terus memperhatikan dan menjaga anak cucunya, juga dapat menghukum kalau lalai memperhatikan adat bubuhan.
Cerita tentang leluhur yang menjelma menjadi naga juga terdapat di kalangan orang Dayak Ngaju di Kalteng. Di Tumbang Jakolok, Sungai Katingan, terdapat cerita tentang Naga Andoh. Konon, seseorang yang bernama Andoh berubah menjadi naga setelah memakan sepotong kayu yang jatuh dari pohon beringin. (Schärer 1963).

Di jalur Sungai Kahayan dikenal pula ceritra seorang bernama Tambing yang berubah menjadi Naga. Tapi sayang, riwayat Naga Nusa Tambing berakhir tragis. Ia meninggal dunia karena tanpa sengaja menyambar ekornya sendiri. Ia mengira ekornya sendiri itu adalah musuh yang sedang ditunggu. Bangkai naga yang membunuh dirinya sendiri ini kemudian mengapung di tengah Sungai Kahayan. Lama-kelamaan ditumbuhi semak dan pepohonan dan akhirnya menjadi pulau bernama Pulau Nusa Tambing. Bila bepergian ke Palangka Raya, setelah Desa Pilang akan melewati Tumbang Nusa. Di desa itulah terdapat Pulau Nusa Tambing dan Terusan Nusa.

Narasi lokal-tradisional di atas, sedikit banyak memberi beberapa informasi. Pertama, info bahwa dalam khazanah lokal Kalimantan, naga adalah simbol penguasa Alam Bawah Air. Simbol itu kemudian dimanifestasi dalam diri Putri Junjung Buih dan keturunannya. Dengan demikian, naga menjadi simbol kekuasaan politik. Hanya tutus naga yang boleh menduduki tahta. Kedua, naga ada kait-annya dengan leluhur yang gaib. Mereka tidak jauh dari anak cucunya, bisa mendatangkan rezeki dan berkat, juga bala-bencana.

Dalam bidang mitos, mengatakan, mitos bukan sekadar cerita khayal, ilusi atau dongeng yang hanya berlaku pada zaman kuno. Mitos dari zaman bahari itu masih hidup dan mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam masyarakat modern sekarang ini.

Simbol naga yang dipakai dan terpakai itu bisa dilihat sebagai proyeksi pengalaman sosial masyarakat tentang kekuatan, keunggulan dan keperkasaan di wilayah berair. Selain itu, bisa dilihat sebagai proyeksi pengalaman religius-kultural masyarakat, bahwa kehidupan yang dijalani masa kini tidak lepas dari penyertaan dan perlindungan leluhur yang hidup di masa lalu. Namun, di sisi lain simbol naga bisa juga menjadi semacam citra diri yang mengacu pada putra-putri naga yang legitim untuk hidup dan berkuasa di wilayah perairan ini.

Proyeksi dan citra diri itu penting untuk menemukan dan mengukuhkan eksistensi diri. Untuk itu diperlukan ritualisasi. Proses itu dilakukan dengan pementasan ulang mitos primordial atau pengalaman leluhur pada masa lampau. Festival, arak-arakan, pertunjukkan, pesta atau perlombaan adalah momen kudus untuk pementasan ulang itu. Namun ritualisasi itu umumnya tidak tampil tunggal tetapi bercampur dengan seni, hi-buran pertunjukkan dan keramaian. Memang agak mengaburkan proses ritualisasi itu. Namun adanya simbolisasi makhluk mitologis merupakan petunjuk, telah terjadi proses reproduksi atau penciptaan dunia kembali, kosmogoni. Menunggu NagaPada 24-25 September, naga imajiner akan meluncur anggun membelah perairan Sungai Martapura dalam rangka merayakan hari jadi Kota Banjarmasin. Dapat dikatakan, inilah cara modern untuk melakukan rekos-mogoni. Masa lalu dan simbolnya diapung-kan kembali dalam pentas kekinian. Seperti dipaparkan di atas, kehadiran sim-bol reftil raksasa itu mempunyai asal-usul. Tentunya juga, pemakaian simbol itu tidak berlangsung dalam ruang yang steril nilai dan makna. Adastruktur, habitus dan logika pikir tertentu yang melatarbelakangi simbol itu dipakai dan terpakai.
Namun bagi penghuni bantaran Sungai Martapura, ada sesuatu yang mau dikatakan dan terkatakan dengan dipakainya atau ter-pakainya simbol naga. Entah pemakaian simbol itu datang dari masa arkhaik atau dari perjumpaan dengan komunitas Cina, naga adalah gaung pesan dari masa lampau bahwa kita adalah orang-orang sungai dan seharus-nya memiliki budaya sungai.

Datanglah wahai naga perkasa. Bawakan kami ceritra pusaka, legenda purba tentang asal-usul semesta. Ingatkan kami pada petuah tetuha tentang hidup bijaksana di alam raya.

-oOo-

Kerajaan Banjar Adalah Majapahit Baru di Kalimantan

Posted: Kamis, 22 April 2010 by Rusman Effendi in
0

Dari penelitian arkeologi, ada sejumlah indikasi yang disamarkan dalam Tutur Candi dan Hikayat Banjar, yaitu:
  1. Pendiri Negeri Negara Dipa dan Candi (Agung) bernama Ampu Jatmika yang berasal dari Majapahit.
  2. Ampu Jatmika menyuruh menjemput keluarga dan hartanya ke Negeri Keling di Majapahit.
  3. Ampu Jatmika menaklukkan daerah-daerah lain di sekitar Negara Dipa, dipimpin oleh seorang Puteri bernama Junjung Buih yang bersuamikan pangeran dari Majapahit bernama Suryanata (Cakranegara).
  4. Pangeran Suryanata menaklukkan negeri-negeri di Kalimantan yang sebagian sudah disebutkan dalam Kitab Negarakrtagama.
  5. Data dari kitab-kitab tersebut memungkinkan kisah Negara Dipa adalah sebuah NEGARA VASAL dari Majapahit sejak sebelum tahun 1365 M
Kehancuran dan kekalahan Kerajaan Nan Sarunai serta leburnya rakyat Nan Sarunai kebawah kekuasaan Negara Dipa membuat rakyat Nan Sarunai harus terpaksa menerima perdamaian dibawah pemerintahan orang lain. Seperti diketahui Negara Dipa didirikan diatas puing Negara Nan Sarunai oleh Ampu Jatmika dari Majapahit. Negara Dipa inilah cikal bakal Kesultanan Banjarmasin. Dan dengan bubarnya Negara Nan Sarunai (abad XIV) sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan Bangsa Dayak (Ma’anyan?) sebagai akibat didirikannya Negara Dipa diatas puing-puingnya, kembali membuat sebagian penduduk yang tidak terima melakukan eksodus guna mencari pemukiman baru ke pedalaman. Akhirnya terjadi lagi perpisahan dan perpecahan, sehingga muncul pula pemukiman-pemukiman baru yang terpisah-pisah jauh. Puncaknya menyebarlah pemukiman-pemukiman baru itu dari sekitar Gunung Rumung, Katuping Balah, Waman Sabuku, Candi Agung, Candi Laras, Patukangan, Labuhan Amas, Bakumpai Lawas, Ulak Banyu Tanggang, Maniungku, Abun Alas, Muara Binsau, Danau Salak, Dangka Nangkai, Kupang Sunnung, Danaukien, Tuntang Alu dan terakhir pemukiman Baras Ruku.

Lambung Mangkurat anak Mpu Jatmika terkenal sebagai pembina utama kerajaan ini. Keturunannyalah kemudian yang menurunkan raja-raja Banjar-Martapura sejak tahun 1600 hingga berakhir pada zaman Belanda tahun 1860. Konon kabarnya Candi Agung sebagai peninggalan zaman Hindu di Amuntai itu masih utuh sampai zaman Islam permulaan tahun 1600, dan kemudian dihancurkan Belanda ketika mereka dapat menduduki Amuntai akhir 1800. Kerajaan Banjar masuk Islam secara resmi dengan bantuan Kerajaan Demak pada tahun 1600.

Ketika Kerajaan Hindu-Majapahit diperintah oleh Raja Brawijaya putera Angka Wijaya, saat itulah kerajaan mengalami keruntuhan. Raja yang merobohkan Kerajaan Majapahit ialah Raden Patah dengan delapan orang menterinya, yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Ngundung dan Sunan Demak. Mulai saat itulah agama Islam tersebar di seluruh Indonesia.

Dengan runtuhnya kerajaan Majapahit maka berkembanglah Kerajaan Islam Banjarmasin tahun 1540, Kerajaan Islam Kotawaringin tahun 1620, Kerajaan Pasir (Tanah Grogot) tahun 1600, Kerajaan Kutai tahun 1600, Berau dan Bulungan tahun 1700, Pontianak tahun 1450, Matan tahun 1743 dan Mempawah tahun 1750.

Pada mulanya kerajaan Hindu berperang dengan kerajaan-kerajaan Islam, terutama Kerajaan Hindu Candi Laras, Candi Agung, Tanjung Pura dan lain-lain. Tetapi karena rakyat semakin banyak memeluk agama Islam termasuk sebagian rakyat Dayak di pantai-pantai yang dengan kesadaran sendiri masuk Islam, akhirnya Kerajaan Hindu menyerah. Rakyat Dayak yang telah masuk Islam sering disebut sebagai Dayak Melayu dan kebanyakan berdomisili di Kuala Kapuas, Tumpung Laung (Barito) dan dibeberapa Kampung Melayu lainnya. Sebenarnya mereka tetap saja suku Dayak, hanya saja sudah beragama Islam.

-oOo-

Puteri Junjung Buih

Posted: Rabu, 21 April 2010 by Rusman Effendi in
1

Puteri Junjung Buih adalah seorang Raja Puteri dari Kerajaan Negara Dipa menurut Hikayat Banjar. Puteri ini berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan. Puteri Junjung Buih merupakan anak dari Lambung Mangkurat yang diperolehnya ketika "balampah" (bahasa Banjar : bertapa) yang muncul dari dalam buih di sungai. Raja puteri ini kemudian menikah dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Salah seorang anak mereka yaitu Pangeran Aria Dewangga menikah dengan Putri Kabuwaringin, puteri dari Lambung Mangkurat (unsur pendiri negeri), kemudian mereka berdualah yang menurunkan raja-raja dari Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha hingga Kesultanan Banjar dan Kesultanan Kotawaringin.

Menurut pesisir Kalimantan seorang raja haruslah keturunan raja puteri ini sehingga raja-raja mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Beberapa juga mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Putri Junjung Buih merupakan isteri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti Kutai Kartanegara ke-1.

Photo Puteri Mayang Sari
Puteri Junjung Buih adalah sama dengan Kameloh Putak Janjulen Karangan yang dikenal dalam masyarakat Dayak yang berasal dari Jawa (tahun 1524), adalah permaisuri Sultan Bolkiah dari menurut legenda suku Kedayan dipercaya berasal dari buih lautan (mirip cerita Putri Junjung Buih yang keluar dari buih di sungai).

Dalam hikayat Raja-Raja Banjar yang ditulis berdasarkan foklore yang berkembang di kalangan masyarakat urang Banjar disebutkan, bahwa cikal-bakal dari penguasa-penguasa yang pernah memimpin urang Banjar pada masa lampau adalah Puteri Junjung Buih yang kawin dengan Pangeran Surianata. Dinamai dengan Puteri Junjung Buih karena puteri tersebut ditemukan hanyut di air sungai.
Dalam Hikayat Raja-Raja Banjar menyebutkan bahwa sungai dimana puteri hanyut adalah sungai Tabalong. Tetapi ada foklore lain yang menyebutkan, bahwa bukan di sungai Tabalong, tetapi di aliran sungai Tapin.

Foklore yang menceriterakan Puteri Junjung Buih hanyut di sungai Tabalong banyak diyakini oleh masyarakat Dayak Dusun Deyah yang banyak bermukim di hulu aliran sungai Tabalong. Mereka sangat yakin bahwa Puteri Junjung Buih adalah wanita yang berasal dari suku Dusun Deyah. Artinya Puteri Junjung Buih adalah seorang puteri Dayak Dusun Deyah.

Terlepas dari asal sungai dimana Puteri Junjung Buih hanyut, apakah di aliran sungai Tabalong atau sungai Tapin, yang jelas di daerah hulu kedua sungai tersebut sama-sama-sama dihuni oleh suku Dayak. Hulu aliran sungai Tapin dihuni oleh suku Dayak Bukit.Apabila foklore yang berkembang di kalangan masyarakat ini benar, maka jelaslah bahwa Puteri Junjung Buih adalah asli puteri suku Dayak, yang barangkali anak dari tokoh masyarakat suku Dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan.

Alkisah dari Hikayat Banjar
Pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi. Dalam mimpinya seolah mendengar suara almarhum ayahandanya. Beliau menganjurkan supaya Lambung Mangkurat membuat rakit-rakit dari 14 batang pohon pisang saba dengan berlangit-langit kain putih. Di empat sudut digantungkan mayang mengurai. Lambu Mangkurat harus pula membakar dupa, dan berhanyut ke hilir sungai dengan tidak merasa gentar, bila seandainya bertemu buaya, ikan, dan ular besar. Jika dia dan rakitnya sampai di Lubuk Bargaja, maka rakit itu akan berputar di pusaran air. Kalau pusaran air ini tenang kembali, dia akan melihat sebuah buih raksasa. Dari dalam buih ini akan terdengar suara perempuan yang berbicara kepadanya. Perempuan inilah yang akan menjadi raja putri Negara Dipa.

Besok harinya Lambung Mangkurat melaksanakan petunjuk yang terdapat dalam mimpinya. Dengan rakit yang memenuhi syarat seperti yang dikehendaki, diapun berhanyut ke hilir. Dengan tidak merasa takut, walaupun sepanjang jalan bertemu dengan buaya, ikan, dan ular-ular besar.

Akhirnya dia melihat buih yang bercahaya-cahaya timbul ke permukaan air. Suatu suara yang lemah Lambungt dan merdu bertanya: “Lambung Mangkurat, apakah yang engkau perbuat di sini?” Lambung Mangkuratpun menjawab: “Hamba mencari seorang raja untuk memerintah di Negara Dipa!” Suara itu kedengaran lagi. “Lambung Mangkurat, aku adalah raja putri, Putri Tunjung Buih yang engkau cari!”. Lambung Mangkurat terus berjanji mempersembahkan candi sebagai istana. Tetapi Putri Tunjung Buih menolak tinggal di sana. Karena di situ pernah di letakkan patung-patung yang dijadikan berhala. Dia meminta supaya membangun sebuah mahligai. Sebagai tiangnya haruslah diambil 4 pohon batung batulis dari gunung Batu Piring. Mahligai itu haruslah selesai dikerjakan di dalam satu hari. Selanjutnya empat puluh orang gadis harus menyelesaikan selembar kain kuning yang panjangnya 7 meter dan lebarnya 2 meter. Kain itu akan digunakan oleh putri sebagai selendang jika dia bepergian.

Setelah mengetahui hal ini semua, Lambung Mangkurat pun segera memberitahukan peristiwa ini kepada Empu Mandastana. Rakyat dilarang melayari sungai tersebut sebelum putri naik ke mahligai. Empat orang patih mendapat perintah untuk mengambil 4 pohon batung batulis. Benarlah, pada hari itu permintaan Putri Tunjung Buih selesai, seperti mahligai. Sedangkan keempat puluh orang gadis dapat pula memenuhi kewajiban yang dipikulkan kepada mereka untuk membuat selembar kain langgundi.

Dengan suatu upacara kebesaran, berangkatlah Lambung Mangkurat menjemput sang Putri Tunjung Buih dengan diiringi oleh 40 orang gadis yang berpakaian kuning. Dengan khidmat kain kuningpun dipersembahkan kepada Putri Tunjung Buih. Bercahaya-cahaya, gilang-gemilang keluarlah putri dari dalam buih, berpakaian rapi dan berselendang kain kuning yang dibuat oleh para gadis. Dengan diiringi oleh rakyat, berangkatlah Putri Junjung Buih menuju mahligainya. Hanya 40 orang gadis pengiring yang diperkenankan tinggal bersama Putri.

Kini Putri Junjung Buih pun menjadi raja di Negara Dipa. Di dalam wujudnya, pemerintahan diserahkan kepada kebijaksanaan Lambung Mangkurat, walaupun dia adalah adik dari Empu Mandastana. Dan ia pulalah yang memberikan keputusan-keputusan yang penting di dalam soal yang bertalian dengan urusan negara.

Pada suatu hari Lambung Mangkurat menghadap Putri Junjung Buih, dengan maksud menanyakan apakah dia tidak akan memilih suami. Dengan tegas Putri Junjung Buih itu menjawab: “bahwa dia hanya akan kawin dengan seorang laki-laki yang diperoleh dengan bertapa”. Jawaban ini menimbulkan kesukaran yang tidak mudah dipecahkan. Dengan agak malu Lambung Mangkurat memohon diri pulang.

Baca juga Pangeran Suryanata

-oOo-

Harap menampilkan link asal setiap mengcopas posting dan photo ini, karena posting ini telah dicopas pihak wikipedia pada tanggal 4 Agustus 2011 di http://id.wikipedia.org/wiki/Puteri_Junjung_Buih

Aplikasi Belajar Membaca Al-Qur'an

Posted: Minggu, 18 April 2010 by Rusman Effendi in
0


Aplikasi ini cuma sekedar mempermudah untuk kita memberi Pelajaran membaca Al-Qur'an pada anak-anak kita, Aplikasi ini juga memperkenalkan Huruf Hijaiyyah dan sifatnya, serta cara membacanya....
Namun semuanya kembali kepada kita, alangkan baiknya lagi kalau kita sendiri yang mengajarkan kepada anak kita atau pada guru yang memahami Pembacaan Al-Qur'an.

Silahkan Download Aplikasi

Asalnya Urang Banjar

Posted: Sabtu, 10 April 2010 by Rusman Effendi in
0


Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maayan dan Bukit sebagai inti.Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan.Dalam amalgamasi baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maayan,Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. Dengan demikian lambat laun kelompok ini dibagi dalam 3 golongan besar kerana tempat diamnya dan persatuan etnik sebagai inti pembentukannya. Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan-etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok, iaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang Sungai Tabalong dari muaranya di Sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan - etnik Ngaju, kelompok Batang Banyu berasal dari kesatuan - etnik Maayan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan - etnik Bukit. Ketiganya ini adalah intinya.Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, iaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya. Di pertengahan abad ke-19, Belanda membentuk golongan ini sebagai antagonis orang Banjar dengan sebutan orang Dayak (Saleh, Idwar)

Asal suku Banjar berintikan suku yang berasal dari Sumatera yang melakukan migrasi dan berbaur dengan suku bangsa Dayak di Kalimantan serta suku-suku pendatang.Hasil percampuran ini, suku Banjar terbagi 3 subetnis berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfeketif kultural dan genetis yang menggambarkan masuknya penduduk pendatang ke wilayah penduduk asli Dayak:

  1. Banjar Pahuluan adalah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok) 
  2. Banjar Batangbanyu adalah campuran Melayu, Maanyan, Lawangan, Bukit dan
  3. Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok) Banjar Kuala adalah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok) Bahasa Banjar merupakan percampuran Bahasa Melayu, Dayak dan Jawa.


Sumber :
Saleh, Idwar., Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Dengan Akhir Abad-19.