Asal Usul Nama Kota Amuntai
Posted: Rabu, 13 Mei 2015 by Rusman Effendi in
0
Cerita
atau riwayat tentang kota
“Amuntai” ini tidak begitu jelas, karena kurangnya bahan-bahan tertulis.
Hanya
ada kabar yang tertua yang tertulis dalam kitab “Negara Kertagama” (1365 M)
hasil karya Empu Prapanca di zaman kerajaan Majapahit. Pada kitab tersebut
menyebutkan nama Barito, Sawuku dan Tabalong. Justru yang dimaksud Prapanca
tersebut adalah didaerah Kalimantan Selatan ini.
Ketika
Empu Jatmika dengan ekspedisinya berkapal “Prabayaksa”, awal memasuki daerah
“Kahuripan” yang disini sudah ada penguasanya berkedudukan di “Palimbang Sari”
(sekarang Desa Palimbangan), maka Empu Jatmika membangun percandian “Candi
Agung”. Empu Jatmika memproklamasikan dirinya sebagai “Raja Sementara di
Candi”, dan ia sekallgus memberikan nama daerah itu “Negara Dipa”. Nama Negara
Dipa berasall dari bahasa Sansekerta, yang berarti “Negeri bercahaya terang
benderang”.
Pusat
kerajaan Negara Dipa dengan percandian "Candi Agung” yang beraliran Hindu
terletak tidak jauh dari tepian kali Tabalong, yaitu dekat pertigaan sungai
Tabalong, sungai Balangan dan sungai Negara. Tepatnya sekarang di bantaran
sungai kecil Pamintangan, disinilah areal Candi Agung. hal tersebut terjadi
pada abad XIV Masehi (14 M).
Kemudian,
sejak kapan munculnya nama “Amuntai” atau “Hamuntai”..???, ceritanya bersimpang
siur. Menurut penuturan para orang tua disekitar Candi Agung, bahwa nama
“Amuntai” berasal dari penemuan banyaknya buah-buah “Muntai” di tepian sungai
sekitarnya, sehingga ia diberikan nama untuk nama kota ini. Akan tetapi, sampai sekarang ini,
orang belum dapat mengetahui bagaimana wujud dari buah tersebut. Dan para
Arkeolog berkemungkinan bahwa buah tersebut telah punah.
Sementara
itu, jika mengacu pada Surat Keputusan Sultan Adam al-Wasyikbillah, tanggal 20
Rabiul Awwal 1263 (1843 M), mengenai hak apanage keluarga Raja-raja Banjar,
sudah disebutkan nama Kota Amuntai, Babirik, Sungai Karias, Tanah Habang,
Kusambi, Lampihong, Tabalong, Halabio, Bitin, Danau Panggang, Paran dan
Balangan.
Begitupun
pada 21 Maret 1865, sewaktu Asisten Residen K.W.Tiedtke memerintah daerah ini
(termasuk Alai, Amandit, Tabalong dan Kelua)
ternyata kotanya telah bernama “Amuntai”.
Selanjutnya
lagi M.Halaweijn, seorang pejabat tinggi Belanda di Borneo, dalam laporannya
yang berjudul “A Journey To Banua Lima in The Year 1825” (Laporan Perjalanan ke
Banua Lima Tahun 1825) tercantum dalam “Tijdschrift Voor Nederland Indie”, te
Jaargang, vol.2 (1838), antara lain menyebutkan bahwa perjalanannya naik perahu
dari Marabahan (24 Nopember 1825) menyusuri Sungai Negara, Sungai Banar,
melihat perkampungan rakyat yang indah di Amuntai, lalu terus ke Kelua dan
seterusnya.
Maka
dari beberapa catatan diatas, yang tertua adalah laporannya M.Halawijn (1825)
bahwa disini kotanya sudah bernama Amuntai. Namun masih ada satu petunjuk lain
yang perlu kita cermati. Sebuah buku karya Johannes Jacobus Rass yang berjudul
“Hikayat Banjar”, A Study in Malay Historiography” yang diterbitkan di
s’Gravenhage (Negeri Belanda) tahun 1968, menceritakan bahwa setelah huru-hara
Banjarmasin diserang dan diberondong tembakan meriam-meriam oleh VOC / Belanda
pada tahun 1606, dimana pahlawan-pahlawan Banjar berhasil membunuh semua awak
kapal Belanda itu, namun pada akhirnya pusat kerajaan Banjar di Kuin itu
terpaksa ditinggalkan dan mereka berevakuasi ke Kayu Tangi, Martapura.
Penguasa
Sultan Musta’inullah sebelum berevakuasi ke Kayu Tangi, ia
sempat beradu pendapat dengan para bawahannnya mengenai alternatif, kemana
pusat pemerintah Kerajaan Banjar ini sebaiknya dipindahkan.
Ada salah seorang petinggi kerajaan yang
mengusulkan agar kembali saja ke “Hamuntai” (di Negara Dipa) sebagai tanah
leluhur mula jadinya Empu Jatmika ini. Namun Sultan Musta’inullah tetap
bersikukuh dengan pilihannya dan mengatakan bahwa : “Kita Jangan Babulik Lagi
Ka Hamuntai, Karana Aku dapat Mimpi, Ada Teguran dari Leluhur Kita Pangeran
Suryanata, Labih Baik Kita Mambuka Nagari Hanyar di Sungai Mangapan
(Tambangan)”. Arahan Sultan ini disetujui oleh para pengikutnya, lalu membangun
negeri baru tersebut. Namun tidak lama di Mangapan, 10 tahun kemudian, pusat
pemerintahan berpindah kembali ke Kayu Tangi, Martapura.
Dari
cuplikan buku JJ.Rass diatas (halaman 464) terdapat nama “Hamuntai” yang
tertulis sebagai direncanakan untuk pusat kerajaan sesudah Kuin di Banjarmasin
dan sebelum Kayu Tangi di Martapura. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun
1606, yaitu di tahun-tahun awal merajalelanya Imperialis / Kolonialis VOC /
Belanda di Kalimantan Selatan.
Sumber
lain yang ditemukan dalam penelitian sejarah didaerah ini, pada tahun-tahun
pasca huru-hara Banjarmasin,
ada diantara petugas VOC yang datang keareal Candi Agung di Amuntai untuk
meninjau daerah cikal-bakal Empu Jatmika tersebut. Masyarakat di sana sangat membanggakan
Candi Agung kepada setiap tamu yang datang. Percandian tersebut letaknya di
“Mungkur” yang agak ketinggian, oleh mereka disebut “Gunung”, Menjadi kebiasaan
masyarakat disekitar menyebutnya “Gunung Candi”, sehingga bagi orang yang ingin
pergi ke lokasi itu, dikatakannya “Pergi Ke Gunung”. Bagi orang Barat, istilah
“Gunung” ini menunjukkan nama suatu areal yang dimaksud, yaitu “Gunung Candi
Agung” (A Mountain Candi Agung).
Masyarakat
disana umumnya selalu suka meniru-niru istilah asing, walaupun lidahnya tidak
mampu mengucapkan secara sempurna. Kadang-kadang juga pendengaran tidak sesuai
dengan ucapan, sehingga istilah yang berasal dari “A Mountain” itu menjelma
menjadi “Amunten” dan berubah lagi menjadi “Amuntai”.
Pada
akhirnya, jika bertolak dari huru-hara penyerangan VOC / Belanda terhadap
Banjarmasin pada tahun 1606, kemudian pada tahun 1615 Inggris membuka Faktory
(Kantor Dagang di Kayu Tangi), wajarlah jika para pedagang Inggris tersebut
meninjau “Gunung Candi” di Amuntai, yang oleh masyarakat disebutkannya “A
Mountain” atau “Amuntai” hingga sekarang.