Hikayat Datu Banua Lima (Ringkasan)
Posted: Sabtu, 11 Agustus 2012 by Rusman Effendi in
0
Oleh:
Datu Panglima Alai_Admin FB Group Bubuhan Kulaan Urang Alai Borneo
(Cerita ini merupakan versi lain, selain Hikayat Banjar Versi JJ. Ras, dan banyak sekali perbedaan terutama pada garis silsilah dan alur cerita)
(Cerita ini merupakan versi lain, selain Hikayat Banjar Versi JJ. Ras, dan banyak sekali perbedaan terutama pada garis silsilah dan alur cerita)
Sakitar
abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan permulaan di
Kalimantan Selatan, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Nagara Dipa. Kerajaan
tersebut bernama Kerajaan Tanjungpuri. Bermula berdirinya Kerajaan Tanjungpuri
adalah saat kedatangan bubuhan imigran Malayu asal Kerajaan Sriwijaya di pulau
sumatera sekitar Tahun 400-500 Masehi. Oleh karena kebudayaan imigran Malayu
sudah lebih maju, lalu mereka mendirikan kampung yang lama kelamaan berubah
menjadi sebuah kerajaan kecil. Para imigran
Malayu tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan panduduk setempat,
yakni suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju), sehingga Kerajaan Tanjungpuri
tersebut, panduduknya terdiri dari orang Malayu dan Dayak. Perpaduan kadua suku
tersebut akhirnya nanti menurunkan suku Banjar (Asal muasal suku Banjar).
Semantara sekitar 3000-1500 SM
untuk pertama kalinya Imigran dari Yunnan di
China Selatan datang ke tanah Borneo . Mereka
inilah padatuan ‘nenek moyang orang Dayak atau istilahnya “Melayu tua”.
Berabad-abad lamanya Kerajaan Tanjungpuri berdiri, penduduknya makmur dan
sajahtera, hidup damai serta bahagia. Pada Tahun 1309 M berdiri juga sabuah
kerajaan orang Maanyan yang bernama “Nan Sarunai”. Kedua kerajaan ini saling
berkeluarga dan berteman dekat, tidak pernah ada permusuhan. Walau berbeda
keyakinan, –Kerajaan Tanjungpuri kebanyakan pangikut ajaran Buddha sedangkan
Kerajaan Nan Sarunai kebanyakan pengikut ajaran Kaharingan– tapi kedua kerajaan
tetap saling menghormati. Kedua kerajaan sama-sama berkomitmen menjaga alam
lingkungan, tidak mau menambang batu bara yang banyak terdapat di wilayah
kerajaan, apalagi menanam sawit karena pada saat itu tidak ada istilah jual
beli tanah dan sawit serta hasil tambang batu bara.
Kerajaan Tanjungpuri mempunyailima orang Panglima. Yang
Partama bergelar Panglima Alai, yang merupakan ahli politik dan strategi. Yang
Kedua, Panglima Tabalong, orangnya gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria.
Yang Katiga, Panglima Balangan, Orangnya sangat tampan, pintar, dan suka
menuntut ilmu, sedangkan yang keampat dan kelima si kembar yang bergelar
Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini orangnya cepat emosian,
keras kepala, dan suka berkelahi. Kelimanya bersaudara ini, anak dari Datu
Intingan (Saudaranya Datu Dayuhan Kapala suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri
(Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya).
Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai Nusantara. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah termakan sumpah hendak ‘menguasai’ nusantara. Tapi oleh para politikus Majapahit kata ‘menguasai’ diperhalus menjadi ‘mempersatukan’ nusantara.Ada
mata-mata Majapahit yang berdalih berdagang ke kotaraja kedua kerajaan tadi,
didapatlah informasi bahwa kedua kerajaan tersebut sangat makmur. Istananya
saja berlapis emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu
berambisi untuk menguasai kedua kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpuri dan
Kerajaan Nan Sarunai.
Pada Tahun 1356 Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayahBorneo .
Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sakitar 5.000 pasukan
Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh
Senopati Arya Manggala. Melihat pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu
Kerajaan Nan Sarunai mminta bantuan ke Kerajaan Tanjungpuri. Lalu oleh raja
Tanjungpuri dikirim lima
orang Panglima tadi dengan membawa 1000 pasukan membantu Kerajaan Nan Sarunai.
Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara pasukan Majapahit melawan
pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri. Banyak sekali jatuh
korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang terkenal hebat dalam
bertempur karena sudah berkeliling Nusantara manaklukan berbagai kerajaan, saat
itu mendapat perlawanan yang hebat tak terkira. Banyak tentara Majapahit yang
mati di tangan lima
panglima Tanjungpuri yang sakti-sakti tersebut. Panglima Alai yang ahli
strategi mengatur pasukan, Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan
paling muka, banyak tentara Majapahit yang terlempar ke udara dilemparkan oleh
panglima atau banyak juga yang dilemparkan ke tubuh musuh yang berani mendekat.
Sedangkan Panglima Balangan menjadi pimpinan barisan pangawal raja, dengan
kesaktiannya mampu melindungi raja dari keroyokan pasukan Majapahit. Semantara
Panglima Hamandit dan Panglima Tapin beradu (duel) kesaktian dengan para
pendekar Majapahit. Banyak sudah Pendikar Persilatan Majapahit yang merupakan
orang-orang bayaran, mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin.
Setelah dua hari bertempur akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur,
bahkan Senopati Arya Manggala penggal kepalanya terkena Mandau terbang
“Pangkalima Angkin”, Panglima Kerajaan Nan Sarunai yang terkenal sakti. Sisa-sisa
pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk pulang ke Jawa.
Di Tanjungpuri setelah peperangan malawan Majapahit banyak infrastruktur kerajaan yang hancur, ladang banyak yang rusak begitu juga pohon karet banyak yang roboh. Pelabuhan kerajaan tidak ramai lagi karena banyak padagang yang takut berlabuh setelah mendengar ada perang. Maka tarjadi “krisis moneter” berkepanjangan di Kerajaan Tanjungpuri. Kelima panglima kerajaan mendapat tanah kekuasaan masing-masing di daerahlima aliran sungai yang
berhulu di Pegunungan Maratus sebagai hadiah dari Sri Baginda Darmapala. Daerah
lima aliran sungai tersebut akhirnya bernama
sesuai gelar lima
Panglima Tanjungpuri. Panglima Alai mendapat wilayah yang bernama Batang Alai
(sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima Tabalong mendapat wilayah yang
bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi Kabupaten Tabalong), Panglima
Balangan mendapat wilayah yang bernama Batang Balangan (sekarang menjadi
Kabupaten Balangan), Panglima Hamandit mandapat wilayah Batang Hamandit
(sekarang menjadi Kabupaten HSS), sedangkan Panglima Tapin mandapat wilayah
Batang Tapin (sekarang menjadi Kabupaten Tapin).
Ada kisah menarik antara dua Panglima kembar tersebut, yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin, yang keduanya sama-sama menghendaki anak Raja Tanjungpuri yang bernama Putri Diang Bulan, sampai-sampai yang mereka berdua bertengkar, tapi karena sama-sama sakti, maka tidak ada yang mampu saling mengalahkan. Akhirnya oleh Putri Diang Bulan, mereka disuruh beradu ba igal (berjoget). Ternyata Panglima Tapin lebih hebat berjoget daripada Panglima Hamandit. Oleh karena itu, orang-orang Tapin banyak yang menguasai kesenian bajapin ‘bagandut.’ Tapi Putri Diang Bulan tidak sampai hati memilih di antara keduanya. Akhirnya Putri Diang Bulan kembali menyuruh mereka untuk beradu pantun ‘baturai pantun’ dan ternyata Panglima Hamandit yang lebih hebat, makanya orang-orang daerah Hamandit banyak menguasai bidang sastra. Karena sama-sama mempunyai kelebihan, Putri Diang Bulan menjadi semakin bingung sendiri. Karena kebigungan, akhirnya Putri Diang Bulan memilih kawin dengan Panglima Alai. Oleh sebab itu, orang-orang Hamandit dan Tapin banyak yang tidak suka dengan orang-orangAlai
kalau urusan cinta dan perempuan. Panglima Tabalong dan Panglima Balangan yang
mengetahui soal cinta sagi empat di antara saudaranya tersebut lebih memilih
netral, tidak memihak ke mana-mana. Datu Dayuhan dan Datu Intingan yang malihat
hal tersebut akhirnya cepat turun tangan berusaha untuk mempersatukan
persaudaraan mereka. Oleh karena itu, setiap tahun diadakan upacara ‘Aruh
Ganal’ di daerah pahuluan sana .
Pada Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit dan Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama Nagaradipa. Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang palarian matan Kerajaan Kediri. Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala). Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena merasa ketuaan, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung Buih.
Raden Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari parkawinan dengan Urang Biaju (Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra kawin dengan Putri Junjung Buih. Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata. Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara Imigran Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pajabat di Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mangabdi jadi pajabat di Kerajaan Nagaradipa. Apalagi setelah para politikus Majapahit mampu mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan malarang adat istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikutigaya pakaian orang Majapahit (kelak pada saat
perpindahan kekuasaan dari Nagaradipa ke Nagaradaha kebudayan Melayu dan Dayak
kembali mendapat tempat di kerajaan).
Mendengar hal tersabut,lima Panglima Tanjungpuri
yang sudah tua-tua menjadi berang. Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali
sebab mereka sudah bersumpah tidak akan tunduk dengan Majapahit. Tapi oleh
karena masih menghormati Putri Junjung Buih sabagai cucu Sri Baginda Darmapala,
kalima Panglima tersebut mampu menahan diri. Setelah itu kelima panglima ini
tidak pernah muncul lagi baik di dunia politik maupun di dunia parsilatan.
Mereka masing-masing mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus. Para
keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada yang mandukung Nagaradipa
dan ada juga yang tidak. Yang tidak mendukung akhirnya ikut mengasingkan diri
ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan Pangeran ke-10 mengikuti para Datu
Banua lima .
Tempat berkumpulnya para kaluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus
yang di pimpin Pangeran ke 10 adalah Manggajaya.
Melihat hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa tarancam lalu atas bantuan Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ka daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa. Kelima wilayah tersabut memang bisa ditaklukan, tapi daerah “Manggajaya” tak ada berani menyerang ke sana karena menurut cerita Lima orang Panglima yang bergelar Datu Banua Lima ada di Manggajaya dan di sana juga bakumpul para keturunan keluarga Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai. Itulah sebabnya kenapa orang-orang pahuluan (Banua Lima) terkenal berjiwa pahlawan sebab masih sebagai keturunan para Panglima Kerajaan Tanjungpuri. Kelak di masa penjajahan Belanda, orang Manggajaya ini yang akan turun membantu Pangeran Hidayatullah bertempur di wilayah Banua Lima. Hal tersebut kembali berulang pada saat masa mempertahankan kemerdekaan, orang-orang Banua Lima ini terkenal sebagai bagian dari pasukan ALRI Div. IV di bawah komando Brigjen Hasan Basri (keturunan Panglima Hamandit).
Kerajaan Tanjungpuri mempunyai
Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai Nusantara. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah termakan sumpah hendak ‘menguasai’ nusantara. Tapi oleh para politikus Majapahit kata ‘menguasai’ diperhalus menjadi ‘mempersatukan’ nusantara.
Pada Tahun 1356 Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah
Di Tanjungpuri setelah peperangan malawan Majapahit banyak infrastruktur kerajaan yang hancur, ladang banyak yang rusak begitu juga pohon karet banyak yang roboh. Pelabuhan kerajaan tidak ramai lagi karena banyak padagang yang takut berlabuh setelah mendengar ada perang. Maka tarjadi “krisis moneter” berkepanjangan di Kerajaan Tanjungpuri. Kelima panglima kerajaan mendapat tanah kekuasaan masing-masing di daerah
Ada kisah menarik antara dua Panglima kembar tersebut, yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin, yang keduanya sama-sama menghendaki anak Raja Tanjungpuri yang bernama Putri Diang Bulan, sampai-sampai yang mereka berdua bertengkar, tapi karena sama-sama sakti, maka tidak ada yang mampu saling mengalahkan. Akhirnya oleh Putri Diang Bulan, mereka disuruh beradu ba igal (berjoget). Ternyata Panglima Tapin lebih hebat berjoget daripada Panglima Hamandit. Oleh karena itu, orang-orang Tapin banyak yang menguasai kesenian bajapin ‘bagandut.’ Tapi Putri Diang Bulan tidak sampai hati memilih di antara keduanya. Akhirnya Putri Diang Bulan kembali menyuruh mereka untuk beradu pantun ‘baturai pantun’ dan ternyata Panglima Hamandit yang lebih hebat, makanya orang-orang daerah Hamandit banyak menguasai bidang sastra. Karena sama-sama mempunyai kelebihan, Putri Diang Bulan menjadi semakin bingung sendiri. Karena kebigungan, akhirnya Putri Diang Bulan memilih kawin dengan Panglima Alai. Oleh sebab itu, orang-orang Hamandit dan Tapin banyak yang tidak suka dengan orang-orang
Pada Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit dan Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama Nagaradipa. Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang palarian matan Kerajaan Kediri. Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala). Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena merasa ketuaan, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung Buih.
Raden Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari parkawinan dengan Urang Biaju (Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra kawin dengan Putri Junjung Buih. Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata. Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara Imigran Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pajabat di Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mangabdi jadi pajabat di Kerajaan Nagaradipa. Apalagi setelah para politikus Majapahit mampu mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan malarang adat istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikuti
Mendengar hal tersabut,
Melihat hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa tarancam lalu atas bantuan Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ka daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa. Kelima wilayah tersabut memang bisa ditaklukan, tapi daerah “Manggajaya” tak ada berani menyerang ke sana karena menurut cerita Lima orang Panglima yang bergelar Datu Banua Lima ada di Manggajaya dan di sana juga bakumpul para keturunan keluarga Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai. Itulah sebabnya kenapa orang-orang pahuluan (Banua Lima) terkenal berjiwa pahlawan sebab masih sebagai keturunan para Panglima Kerajaan Tanjungpuri. Kelak di masa penjajahan Belanda, orang Manggajaya ini yang akan turun membantu Pangeran Hidayatullah bertempur di wilayah Banua Lima. Hal tersebut kembali berulang pada saat masa mempertahankan kemerdekaan, orang-orang Banua Lima ini terkenal sebagai bagian dari pasukan ALRI Div. IV di bawah komando Brigjen Hasan Basri (keturunan Panglima Hamandit).