adalah rumah dengan model atau tipe tertua dan paling utama dalam
sejarah rumah adat Banjar. rumah model seperti ini dizaman dahulu
biasanya Istana milik Sultan Banjar.
Rumah Gajah Baliku
adalah Rumah adat Banjar Gajah Baliku biasanya sebagai tempat tinggal para saudara atau dangsanak Sultan.
Rumah adat Gajah Manyusu
adalah ini dizaman
Kesultanan Banjar digunakan sebagai tempat tinggal Warit Raja, yaitu
para keturunan garis utama/ pertama atau bubuhan para gusti. Jadi
dirumah ini hanya dihuni oleh para calon pengganti Sultan jika terjadi
sesuatu terhadap Sultan.
Rumah
Balai Laki
adalah adat Banjar tipe ini dalam sejarah Banjar dikenal
sebagai rumah hunian para Punggawa mantra dan para prajuril pengawal
keamanan Kesultanan Banjar.
Rumah Balai Bini
adalah adat tipe Balai bini
biasanya dimasa Kesultanan banjar dihuni oleh Para puteri Sultan atau
warga Sultan dari pihak Perempuan.
Rumah Palimbangan
Dizaman Kesultanan Banjar rumah Tipe ini digunakan sebagai hunian para kaum Saudagar pada zaman Kesultanan Banjar.
Rumah Palimasan (Rumah Gajah) Rumah adat
tipe Palimasan di Kesultanan Banjar digunakan sebagai rumah Tokoh Masyarakat dan Alim Ulama.
Rumah Cacak Burung / Rumah Anjung Surung
Adalah rumah hunian rakyat biasa yang umumnya para petani dan pekerja.
Rumah Tadah Alas Rumah adat ini diperkirakan hasil modifikasi rumah adat Banjar tipe Balai Bini sebab hanya ada perubahan atap teras depan. Jika pada Balai Bini kedua
anjung kiwa dengan konstruksi model pisang sasikat Pada Tadah Alas
bertumpu pada atap bangunan utama.
Rumah Bangun Gudang Rumah kediaman Para Kaum Pedagang, tiap rumah mempunyai ciri khas khusus dari Etnis mana, kaum pedagang tersebut
Kapal berlayar di bawah pimpinan
nakhoda Lampung yang segera sampai di Majapahit. Dengan perantaraan Patih Gajah
Mada, beliau dibawa menghadap Raja Majapahit. Raja sangat girang setelah
mendengar berita yang menggembirakan itu dan dengan segera menitahkan
menyerahkan buah-buahan yang diinginkan dengan ditaruh di dalam kotak emas.
Nakhoda Lampung segera mohon diri dan berlayar kembali dengan membawa
hadiah-hadiah yang berupa beras, kelapa, gula, minyak kelapa, asam kamal,
bawang, rempah-rempah dan kain-kain batik yang indah. Setibanya di Negara Dipa, ia
dianugerahi pula oleh Maharaja Suryanata karena telah berhasil dengan baik
menjalankan perintah yang dititahkan kepadanya.
Setelah cukup bulannya, dan
harinya, permaisuripun melahirkan seorang Putra, yang diberi nama Raden
Suryaganggawangsa. Peristiwa ini dirayakan dengan membunyikan Si Rabut Paradah,
gamelan Si Rarasati, dan senapan-senapan. Kebiasaan ini masih diadakan pada
setiap lahirnya anak raja berikutnya.
Beberapa tahun kemudian
permaisuri melahirkan kembali seorang putra yang bernama Raden Suryawangsa. Di
zaman itu yang takluk kepada Maharaja Suryanata adalah raja-raja Sukadana,
Sanggau, dan Sambas, kepala-kepala daerah Batang Lawai, dan Kotawaringin. Juga
raja-raja Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau tunduk pula kepada Negara Dipa.
Pada suatu hari raja mengadakan
pesta untuk segala Punggawa. Orang ramai bersuka ria. Dengan senda gurau dan
gelak tawa. Tetapi sekonyong-konyong raja mengabarkan berita yang mengejutkan
mereka, bahwa raja dan permaisuri akan “kembali ke asal”. Oleh karena itu,
kedua putra mereka dipercayakan dibimbing atau diasuh Lambung Mangkurat.
Rakyatnya diperingatkan jangan meniru-niru pakaian bangsa lain, dan adat serta
susunan pemerintahan hendaklah menurut Jawa. Sebab tidak ada satu daerah di
bawah angin yang akan dapat menyaingi Jawa. Jadi janganlah pernah menyimpang
dari adat Majapahit. Selanjutnya raja mengulangi peringatan raja yang
terdahulu, yaitu jangan menanam lada untuk perdagangan karena hal ini akan
membawa runtuhnya negara. Juga jangan sekali-sekali menangkap orang-orang yang
celaka oleh kekaraman kapal. Setelah mengucapkan amanat dan pesan itu, dengan
tiba-tiba lenyap dan gaiblah raja beserta permaisuri dari pandangan rakyat yang
merasa heran dan takjub. Seluruh negara turut bersedih dan berkabung.
Sebagai pengganti Maharaja
Suryanata, dinobatkanlah Raden Suryaganggawangsa di padudusan dan di sinilah
raja memakai mahkota yang datang dari langit. Setelah Raden Suryaganggawangsa
memerintah, rajapun memperkenankan pulang gadis-gadis yang menjadi dayang Maharaja
Suryanata. Raja memberi hadiah berupa pakaian dan alat-alat perkakas rumah.
Bagi mereka yang ingin kawin, dikawinkan oleh raja.
Setelah Maharaja Suryanata,
begitupun Maharaja Suryaganggawangsa memberikan pula kesempatan untuk menghadap
setiap hari Sabtu dengan bertempat di Sitiluhur. Lambung Mangkurat diangkat
menjadi Mangkubumi, sedang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa adalah
sebagai pengawal. Di bawahnya sebagai jaksa adalah Patih Baras, Patih Wasi,
Patih Luhur dan Patih Dulu. Kemudian empat orang Menteri Kemakmuran, Sang
Panimba Sagara, Sang Pangaruntun Manau, Sang Pambalah Batung dan Sang Jampang
Sasak, yang mempunyai kekuasaan memerintah atas empat puluh orang pasukan
keamanan. Juga saudara raja, Pangeran Suryawangsa yang mendapat gelar Dipati
mempunyai pula seribu pengiring yang setiap saat siap menerima perintah
Mangkubumi.
Lambung Mangkurat selalu
mendorong beliau agar cepat beristri karena raja belum mempunyai permaisuri.
Namun semua dorongan dan anjuran itu tidak berhasil. Pada suatu hari raja
berkata bahwa dia mendengar suara dari paduka ayahanda yang telah gaib
(meninggal dunia), mengatakan bahwa raja harus kawin dengan anak Dayang
Diparaja. Lambung Mangkurat merasa malu dan khawatir karena dimanakah harus
mencari permaisuri yang dimaksudkan itu? Arya Megatsari dan Temenggung Tatah
Jiwa tidak dapat pula memberikan keputusan.
Oleh karena itu, dicobalah
mengirimkan utusan ke semua pelosok, tetapi kebanyakan pulang dengan tangan
hampa. Pada suatu hari, rombongan Singanegara (polisi) yang di dalam perjalanan
memudiki sungai sampai di Tanggahulin, di pangkalan Arya Malingkun. Di sini
mereka menemui seorang gadis yang sedang mandi di bawah pengawasan seorang
pengawalnya. Ketika dia melihat rombongan Singanegara, ia terkejut dan
berteriak “He, Dayang Diparaja, lekas! Itu datang rombongan Singanegara
(polisi)”. Ketika rombongan Singanegara mendengar nama ini, mereka segera
berdayung pulang kembali untuk memberi kabar pada Lambung Mangkurat. Singantaka
dan Singapati, keduanya kepala dari barisan Singanegara (polisi). Mendapat
perintah untuk meminta kepada Arya Malingkun, anaknya, guna dijadikan
permaisuri raja. Mereka berangkat dengan empat puluh orang perempuan yang akan
menjadi pengiring menuju ke Tanggahulin.
Arya Malingkun ternyata tidak sudi
menyerahkan anaknya, walaupun sudah dijanjikan anaknya akan menjadi permaisuri,
bukanlah untuk dijadikan dayang-dayang, penjogetan atau gundik. Dia tetap
berkeras hati menolak. Utusanpun terpaksa pulang tanpa membawa hasil. Ketika Lambung
Mangkurat yang mendengar perintahnya ditolak menjadi sangat marah dan mengambil
keputusan untuk pergi sendiri ke Tanggahulin. Lambung Mangkurat berangkat
dengan perahu yang memakai tanda kebesaran dengan diiringi oleh
punggawa-punggawanya. Tidak berapa lama, tibalah dia di Tanggahulin. Ketika
orang-orang di sana
melihat kedatangan Lambung Mangkurat, orang-orang tersebut menjadi khawatir dan
takut. Arya Malingkun datang dengan segera mengelu-elukan dan mempersilakan Lambung
Mangkurat masuk ke dalam rumah. Dengan gusar dan marah Lambung Mangkurat
berkata, apakah Arya Malingkun bersedia untuk menyerahkan anaknya atau tidak?
Sekadar untuk menakut-nakuti anaknya, Lambung Mangkurat menikam tangannya
dengan pedang. Arya Malingkun terkejut melihat Lambung Mangkurat sama sekali
tidak terluka oleh senjata. Dengan agak ketakutan dia memerintahkan orang-orang
segera menyuruh menjemput anaknya untuk diserahkan kepada Lambung Mangkurat.
Setelah berhasil Lambung Mangkurat kembali bersama gadis tersebut untuk
menghadap raja. Tetapi kemudian ternyata raja tidak mau kawin dengan Dayang
Diparaja, karena yang diinginkan adalah anaknya. Sekarang timbul kesulitan yang
harus dipecahkan. Siapakah yang harus mengawini gadis tersebut? Akhirnya semua
sependapat dan setuju bahwa hanya Lambung Mangkuratlah yang pantas dan tepat
untuk mengawini Dayang Diparaja. Perkawinan segera dilakukan. Perayaan
perkawinan itu berlangsung selama tujuh hari lamanya.
Tidak berapa lama kemudian,
Dayang Diparaja hamil. Walaupun telah cukup bulan dan harinya, dia belum juga
melahirkan. Barulah sesudah lima
belas bulan terasa menderita sakit selama tiga hari hendak bersalin. Dengan
bermacam-macam cara dan syarat, dicoba untuk menjauhkan segala pengaruh jahat
tetapi semuanya sia-sia belaka, bahkan Lambung Mangkurat sendiri telah putus
asa. Tiba-tiba dari dalam kandungan ibu yang sakit itu terdengar suara: “Ooh
ayah Lambung Mangkurat, tidaklah melalui jalan yang mudah anaknda akan lahir,
tetapi ananda akan keluar dari sisi kiri ibunda”, bedahlah dan perbuatlah ini
untuk anaknda”. Sejurus lamanya Lambung Mangkurat di dalam kebimbangan. Tetapi
ternyata kewajibannya untuk mempersembahkan seorang permaisuri kepada raja
adalah beban yang lebih berat lagi.
Lambung Mangkurat membedah sisi
kiri perut Dayang Diparaja. Setelah dibedah, Dayang Diparaja meninggal sesudah
berpesan supaya menjaga baik-baik anaknya. Seorang anak yang cantik lahir
dengan perhiasan yang biasanya dipakai oleh gadis-gadis. Lambung Mangkurat
memberikan perintah supaya menyusui anaknya yang diberi nama Putri Huripan.
Tiga hari lamanya Putri Huripan tidak mau menyusu. Akhirnya dia sendiri
mengatakan bahwa hanya akan minum air susu dari kerbau putih. Ayahnya, Lambung
Mangkurat dengan segera memenuhi permintaan tersebut. Sejak itulah terjadi
pantangan (tabu) bagi keturunannya untuk memakan daging kerbau putih.
Ketika Arya Malingkun dan
istrinya mendengar kematian anaknya, Dayang Diparaja, merekapun mengambil
keputusan untuk mengikuti jejak anak yang mereka dicintai tersebut. Sebelum
meninggal dunia, Arya Malingkun memakan sirih dan pinang muda, sedangkan
istrinya memakan sirih dan pinang tua. Mereka memerintahkan pesuruhnya untuk
menanam sepah itu di dalam tanah. Dari sepah tersebut tumbuh jariangau dan
pirawas yang akan berguna untuk obat cucunya Putri Huripan. Inilah asal mula
jariangau dan pirawas tumbuh di Tanggahulin yang sejak saat itu disebut
Huripan.
Ketika Putri Huripan sudah akil
baligh, dia pun dipersembahkan kepada Raja Suryaganggawangsa sebagai calon
permaisuri. Dengan segala upacara kebesaran, perkawinannya dirayakan.
Sebagaimana lazimnya, kedua mempelai dimandikan di pancuran air (padudusan) dan
kemudian diarak kembali ke istana. Beberapa lama kemudian, permaisuripun
melahirkan seorang Putri bernama Putri Kalarang. Setelah Putri ini dewasa, dia
dikawinkan dengan saudara raja, Pangeran Suryawangsa. Karena hanya Pangeran
Suryawangsa sajalah yang layak untuk mengawininya.
Putri Kalarang kemudian
melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Carang Lalean. Raden
Suryawangsa juga masih mendapat karunia seorang putri yang diberi nama Putri
Kalungsu. Atas keinginan Raja Suryaganggawangsa, kedua anak ini, Raden Carang
Lalean dan Putri Kalungsu dikawinkan. Pada waktu inilah Arya Megatsari dan
Tumenggung Tatah Jiwa meninggal dunia.
Pada suatu hari, semua keluarga dan
pegawai istana sedang berkumpul dan bersenang-senang, maharaja
Suryaganggawangsa dan putri Huripan menerangkan bahwa mereka akan “kembali ke
asal”. Kepada Lambung Mangkurat diamanatkan supaya Raden Carang lalean dan
Putri Kalungsu diajarkan adat turun-temurun dari raja-raja terdahulu. Lambung
Mangkurat mencoba supaya raja dan permaisuri memalingkan pikiran agar menunda
“kembali ke asal”. Tetapi sebelum itu, keduanya telah “menghilang” dari
pandangan semua mata yang hadir.
Atas perintah Lambung Mangkurat,
dibangunlah sebuah mahligai dan padudusan. Dengan disertai tembakan meriam dan
tabuhan gamelan, Raden Carang Lalean dan Putri Kalungsu dimandikan dengan
segala upacara. Kemudian raja baru itu pun meletakkan mahkota di atas
kepalanya. Di dalam peraturan negara tidak ada perubahan yang diadakan. Setiap
hari Sabtu tetap diadakan kesempatan untuk menghadap raja. Tak lama kemudian
permaisuri melahirkan seorang putra yang dinamai Raden Sekar Sungsang. Ketika
putra raja itu berumur enam tahun, raja menerangkan akan “kembali ke asal”. Dia
menyerahkan pemerintahan kepada Lambung Mangkurat, sementara putra raja belum
dewasa. Kemudian raja pun lenyap dari pandangan mata hingga menimbulkan
kesedihan seluruh rakyat dan keluarga istana.
-oOo-
Sumber : Hikayat Banjar Diketik ulang : Rusman Effendi Harap mencantumkan link asal kalau Copy Paste ....
Pada suatu malam Lambung
Mangkurat bermimpi bahwa almarhum ayahandanya menceritakan bahwa Raja Majapahit
ketika bertapa mendapat seorang putera yang layak untuk menjadi suami Putri
Junjung Buih. Di dalam mimpinya diceritakan bahwa semula Raja Majapahit
mendapat nasihat dari seorang tua supaya bertapa di gunung Majapahit dan kelak
malaikat dari kayangan akan memberikan baginda seorang putera. Jika baginda
menjaga anak ini baik-baik, kekuasaan dan kemasyhurannya akan bertambah luas.
Selain itu sebagai tanda rahmat kebahagiaan, akan lahir lagi enam orang anak.
Pada keesokan harinya, Raja Majapahit berangkat bertapa ke gunung tersebut.
Sesudah empat puluh hari lamanya beliau bertapa, baginda benar-benar mendapat
karunia seorang putra yang diberi nama Raden Putra. Kemudian baginda kembali ke
istana. Sesudah beberapa lama akhirnya lahir enam orang anak, tiga orang putra
dan tiga orang putri. Kekuasaan Majapahit kian hari kian bertambah besar.
Demikianlah cerita yang disampaikan oleh almarhum ayahandanya di dalam mimpi.
Berdasarkan mimpinya itu, Lambung
Mangkuratpun memerintahkan dengan segera untuk menyiapkan kapal Si Prabayaksa
dan kapal-kapal lainnya. Selain Wiramartas, ikut pula empat orang patih serta
sepuluh orang nakhoda, Puspawana, Wangsanala, dan Sarageni. Rombongan ini
berangkat dari Negaradipa dan langsung dipimpin oleh Lambung Mangkurat. Tidak
lama kemudian sampailah mereka di pelabuhan Majapahit.
Ketika Syahbandar Pelabuhan
Majapahit menerima kabar tersebut, maka iapun pergi ke pangkalan untuk
menyaksikan sendiri orang asing yang datang itu. Betapa terkejut hatinya ketika
melihat begitu banyak kapal yang berlabuh, sehingga keluar dari mulutnya:
“selama orang-orang asing datang ke sini, belum pernah seperti ini”! Syahbandar
Pelabuhan Majapahit segera kembali dengan membawa kabar, bahwa orang-orang
asing itu berasal dari Negara Dipa di bawah pimpinan Lambung Mangkurat. Mereka
datang dengan maksud mengunjungi Raja Majapahit. Dengan segera Syahbandar
pelabuhan pergi ke istana kerajaan Majapahit dan menyampaikan laporan kepada
Patih Gajah Mada. Kemudian Patih Gajah Mada menyampaikan berita ini kepada Raja
Majapahit.
Berita kedatangan Lambung
Mangkurat ini menimbulkan kekhawatiran Raja Majapahit, yang selama ini tidak
pernah merasa gentar kepada raja asing mana pun. Meskipun demikian, beliau
tetap mempersilakan Lambung Mangkurat untuk menghadap. Dengan berpakaian
kebesaran yang gemerlapan, berangkatlah Lambung Mangkurat menunggang kuda putih
didampingi oleh para pengawal yang bersenjata pedang. Para
patih, hulubalang dan nakhoda-nakhoda berbaris pula mengikuti mereka dengan
pakaian kebesaran yang indah. Paling belakang terdapat barisan dari lima ratus tentara yang berjalan kaki dan lima ratus orang yang menunggang kuda.
Arak-arakan seindah itu belum pernah terlihat di Majapahit.
Sesudah tiga hari, barisanpun
sampai di dalam kota.
Di Sitiluhur telah menunggu Patih Gajah Mada, Arya Dilah, Arya Jamba, Rangga
Lawe, Arya Sinom, Kuda Pikatan, Hajaran Panulih, dan Dipati Lampur. Sejurus
kemudian terdengarlah dentuman senapan yang memberikan tanda bahwa raja akan
keluar dari istana. Dengan diiringi bunyi gamelan, raja berjalan keluar. Di
atas panggung terdengar gamelan membunyikan lagu lokananta, sedang di Paseban
dibunyikan galaganjur. Tombak upacara, bendera, dan panji-panji dibawa ke
hadapan raja. Beberapa rombongan masing-masing terdiri atas empat puluh orang,
datang berbaris dengan memakai pakaian seragam yang indah. Kemudian raja duduk
di Sitiluhur, sedangkan untuk pengawalan ditempatkan Singanegara (polisi)
sebanyak empat ratus orang di sekeliling istana. Di hadapan raja duduk pula dua
ratus orang wanita dengan memakai sarung yang keemas-emasan. Mereka adalah para
pengiring yang diwajibkan untuk membawa keperluan-keperluan raja, seperti
tikar, kendi, alat merokok, dan sebagainya. Lambung Mangkurat dipersilakan
masuk ke ruang tamu istana didampingi oleh empat orang patih yang duduk di
belakangnya.
Tak lama kemudian Patih Gajah
Mada memasuki ruang tamu. Beliau menyalami tangan Lambung Mangkurat, kemudian
menanyakan maksud kedatangannya. “Kami datang untuk menghadap Raja Majapahit”!
kata Lambung Mangkurat. Kemudian Patih Gajah Mada menanyakan lagi apa gerangan
yang diinginkan Lambung Mangkurat yang lain. Kalau diperkanankan ia akan
membawa anak Raja Majapahit ke Negara Dipa untuk dikawinkan dengan Putri
Junjung Buih, raja dari kerajaan Negara Dipa. Sesudah itu Lambung Mangkurat
juga menyerahkan bingkisan-bingkisan yang berharga.
Patih Gajah Mada kemudian
menerangkan bahwa baginda tidak mempunyai anak lagi. Enam orang putra-putri
telah kawin semuanya. Kemudian Lambung Mangkurat menerangkan bahwa ia hanya
menghendaki putera Raja Majapahit yang diperoleh dari bertapa. Akhirnya Raja
Majapahit berjanji akan menyerahkan sesudah tujuh hari kepada Lambung
Mangkurat. Kemudian Raja Majapahit meninggalkan ruang tamu dengan diiringi
bunyi gamelan. Patih Gajah Mada ditunjuk untuk menjamu Lambung Mangkurat
beserta pengiringnya.
Tujuh hari tujuh malam secara
terus-menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan
pertunjukan-pertunjukan seperti topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang gedog,
dan sebagainya. Selain itu, diadakan pula pertandingan ketangkasan
keprajuritan. Setelah tiba waktunya, benarlah raja dengan ikhlas menyerahkan
putranya yang bernama Raden Putra. Lambung Mangkurat mendapat banyak hadiah
dari Raja Majapahit untuk dibawa pulang seperti dua payung besar, dua payung
kertas, dua bedil cacorong, satu keris Jaka Piturun, satu gamelan Si Rarasati,
satu babande Si Macan, satu pepatuk Si Mundaran.
Raden Putra pun diusung dalam
tandu dibawa menuju ke pelabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera
dan dalam empat hari sampailah di Pendamaran. Angin tiba-tiba berhenti bertiup,
reda, teduh, dan laut menjadi tenang. Apapun juga telah diperbuat, namun kapal
yang ditumpangi Raden Putra tak juga bergerak. Semuanya telah putus asa. Ketika
itu berkatalah Raden Putra bahwa ada dua ekor naga putih, yang merupakan rakyat
dari Putri Junjung Buih melilit dan menahan kapal. Raden Putra menyatakan bahwa
dia siap melompat ke laut untuk mengusirnya. Sekarang Lambung Mangkurat
mengakui kelebihan Raden Putra. Lambung Mangkurat yang semula tidak menunjukkan
ketakutan terhadap Raja Majapahit, kini menghatur sembah kepada Raden Putra.
Raden Putra meminta supaya menunggu tiga hari kepada Lambung Mangkurat. Jika
sesudah tiga hari belum timbul juga, haruslah dilakukan puja bantani, karena
dengan melakukan puja tersebut tentu dia akan segera timbul kembali.
Dengan hati yang berdebar-debar
setelah mereka menunggu selama tiga hari, tetapi Raden Putra belum timbul juga.
Wiramartaspun lalu diutus lebih dahulu untuk mengambil kerbau, kambing, dan
ayam ke Negara Dipa. Diapun juga diwajibkan untuk membawa menteri-menteri untuk
menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit. Setelah Wiramartas tiba di Negara
Dipa membawa berita, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa pun memerintahkan
menteri-menteri berlayar ke Pendamaran.
Sesudah diadakan upacara puja
bantani tujuh hari tujuh malam, tampaklah tiba-tiba Raden Putra muncul ke
permukaan air dengan muka berseri-seri dan bercahaya, memakai baju sutera
kuning yang indah dan menakjubkan, serta kaki Raden Putra bepijak di atas
sebuah gong besar. Setelah Raden Putra naik ke geladak kapal, Lambung Mangkurat
mengait gong besar itu dengan paradah. Oleh karena itu, gong besar tersebut
sampai sekarang tetap dikenal dengan nama Si Rabut Paradah.
Raden Putra selanjutnya bergelar
Suryanata. Surya artinya matahari, nata artinya raja. Tempat berhenti dan
memuja di Pendamaran itu sampai sekarang dinamai Perbantanan. Kemudian
pelayaran diteruskan menyusuri sungai menuju Negara Dipa. Suryanata mendapat
tempat tinggal di istana yang pernah didiami oleh Empu Jatmika. Dari daerah
Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Pitap, Biaju Besar, Biaju Kecil,
Sabangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang datanglah rakyat
berduyun-duyun menyampaikan penghormatan kepada Raden Suryanata. Empat puluh
hari, empat puluh malam lamanya diadakan perayaan dan pertunjukan, wayang,
topeng, rakit, joget. Pada tengah malam pemuda-pemudi para pembesar kerajaan
mendirikan padudusan (tempat upacara mandi), sedang orang-orang yang disebut
“kadang haji” diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan.
Istana, pagungan, sitiluhur dan paseban dihiasi dengan indah.
Dari segala pelosok membanjirlah
rakyat hendak menyaksikan dan mengagumi kemeriahan upacara perkawinan Putri
Junjung Buih dengan Raden Putra Suryanata. Pada hari upacara padudusan,
Suryanata memakai pakaian upacara perkawinan, demikian pula halnya dengan Raja
Junjung Buih. Putri Junjung Buih berpakaian dengan hanya boleh dihadiri oleh empat
puluh orang gadis dan wanita-wanita dari pembesar istana. Sebagai selendang
dipakaikanlah kain yang dikenakan puteri ketika baru timbul dari dalam air.
Putri Junjung Buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis yang jelita.
Semuanya memakai baju sutera kuning, sedang pengiring buat Suryanata adalah
anak-anak para menteri yang diwajibkan antara lain membawa alat-alat merokok,
alat menginang, tikar dan sebagainya. Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki
mempelai laki-laki dibungkus dengan sutera kuning.
Setelah Suryanata selesai
berpakaian, diapun melangkah keluar, dan tiba-tiba terdengarlah suara: “Oh
Raden Suryanata, janganlah turun sebelum memakai Mahkota dari langit. Mahkota
ini sebagai tanda menjadi raja lebih besar dari raja-raja di bawah angin”.
Selanjutnya suara gaib itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat
kesaktian dapat menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan, atau menjadi
lebih besar atau menjadi lebih kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok,
dialah yang dapat menjadi raja. Dengan sangat khidmat Raden Suryanata
mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibuat oleh para
gadis disambutnyalah mahkota itu dan diletakkan di kepala. Raden Suryanata
kemudian duduk dalam sebuah usungan.
Dengan disertai oleh bunyi
gamelan dan rentetan dentuman bedil serta tepuk sorak dari rakyat, maka usungan
pun diusung menuju istana mempelai perempuan. Sampai di sini maka Putri Junjung
Buihpun dijemput dan arak-arakan terus menuju ke padudusan. Kedua mempelai
turun dari usungan dan duduk di atas empat kepala kerbau dan kemudian naik di
panggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah
pemimpin-pemimpin negara terkemuka dan penghulu dari bujangga-bujangga di
padudusan. Dengan penuh hormat dan khidmat Lambung Mangkurat mula-mula
menyiramkan air mandi di atas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan.
Sesudah itu menyusul Arya Megatsari, Temenggung Tatah Jiwa, dan penghulu
tertinggi dari bujangga-bujangga, yang melakukan penyiraman sambil mengucap
mantera dan doa selamat. Ketika telah selesai dengan upacara itu, ditaburkanlah
beras kuning dan mata uang berpuluh-puluh ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan
dan rentetan dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Kedua mempelai dibawa ke istana.
Di sini kedua pengantin makan bersama-sama dengan nasi adap-adap, sedangkan
menteri-menteri pun mendapat bagiannya pula. Sesudah berlangsung tiga hari,
tiga malam, barulah kedua mempelai berkumpul, pada waktu subuh. Untuk merayakan
kejadian yang menggembirakan ini, gong Si Rabut Paradah dipalu, sedang
rarancakan Si Rarasati dibunyikan dan senapan-senapan ditembakkan
berdentum-dentuman. Kebiasaan seperti ini masih terus berlaku terutama pada
upacara perkawinan kaum bangsawan.
Masih tujuh hari tujuh malam perayaan
diteruskan bertempat di Paseban. Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit,
mengadu ayam, wayang, topeng, dan kecakapan bermain senjata. Keempat puluh
orang anak dara mendapat kewajiban masing-masing, diantaranya menjadi parakan,
penjogetan, penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih pinang, dan alat
perhiasan.
Setiap Sabtu raja memberikan kesempatan bawahan dan
rakyat untuk menghadapnya di Sitiluhur. Tidak berapa lama kemudian, permaisuri
hamil. Karena permaisuri mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka
dikirimlah utusan ke Majapahit untuk mengambilkan buah yang diinginkan itu.
Sekadar bahan bingkisan untuk Raja Majapahit dikirim seperti lilin, damar,
rotan, tikar, dan dua buah intan yang besar.
-oOo-
Sumber : Hikayat Banjar Diketik ulang : Rusman Effendi
Harap mencantumkan link asal kalau copy paste .....
Empu Mandastana berputra dua
orang, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga. Setiap hari, kedua anak
muda itu bermain di sekitar mahligai Putri Junjung Buih. Banyak anak gadis yang
jatuh cinta kepada kedua anak muda ini. Mereka menjalin pantun dan menggubah
seloka untuk menyatakan kerinduan mereka.
Pada suatu hari Putri Junjung
Buih melihat kedua anak muda itu, hingga diketahuinya kedua anak itu adalah
putra-putra dari Empu Mandastana. Sekadar untuk memberi hadiah sebagai tanda
kebahagiaan hatinya, Putri Junjung Buih memberi sekuntum bunga nagasari kepada
mereka. Bunga nagasari pada waktu itu belum tumbuh di Negara Dipa. Tetapi malang, tepat pada saat itu paman mereka, Lambung
Mangkurat lewat di sana.
Dengan gusar dan cemburu Lambung
Mangkurat menanyakan apa yang mereka perbuat di sekitar istana itu. Kemudian ia
melarang kedua putra kakaknya itu untuk datang bermain-main di dekat kediaman
raja. Hal itu karena Lambung Mangkurat berpendapat, kalau nanti sampai Putri
Junjung Buih ingin bersuamikan salah seorang dari kemenakannya, maka dia kelak
sebagai paman akan menyembah anak kakaknya. Akhirnya ia mengambil keputusan
untuk menyingkirkan kedua anak muda itu.
Pada suatu hari dengan alasan
bersama-sama akan pergi mencari ikan, ia mengajak kedua kemenakannya, yaitu
Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga ke hulu sungai. Kedua anak itu
menurut saja ajakan pamannya itu. Namun sebelum berangkat, mereka telah
bermohon dan menyatakan selamat berpisah kepada ayah dan bunda mereka. Hal
inilah yang kemudian menjadi pangkal kecurigaan.
Menjelang keberangkatan, Bangbang
Sukmaraga menanam sebatang pohon kembang melati di sebelah kanan dari pintu
rumah, sedangkan adiknya Bangbang Patmaraga menanam sebatang kembang merah di
sebelah kiri, seraya berkata: “Jika daun-daun ini rontok berguguran, maka itulah
tandanya kami berdua kakak beradik mati dibunuh oleh paman Lambung Mangkurat”!
Dengan berbaju putih, mereka
pergi ke perahu, sedangkan Lambung Mangkurat telah datang terlebih dahulu
menunggu mereka. Mereka bersama-sama berangkat dengan perahu ke hulu sungai
hingga sampai di Batang Tabalong. Di sinilah kedua anak kakaknya tersebut
dibunuh. Lambung Mangkurat menjadi keheran-heranan setelah mengetahui bahwa
mayat Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga hilang lenyap seketika itu
juga. Sampai sekarang tempat pembunuhan ini masih dikenal dengan nama Lubuk
Badangsanak.
Empu Mandastana dan istrinya yang
sedang dalam keadaan cemas dan khawatir menunggu kabar anaknya, tiba-tiba
dikejutkan oleh datangnya sejoli burung merak. Yang jantan hinggap di pangkuan
Empu Mandastana dan yang betina di pangkuan istrinya. Maklum akan tanda-tanda
ini, berdebar-debarlah hati Empu Mandastana dan istrinya. Seolah-olah mereka
tahu bahwa kedua putra mereka telah mati dibunuh. Dengan serempak mereka
menengok pohon-pohon yang ditanam oleh putra-putranya. Ketika melihat
pohon-pohon itu, berlinanganlah air mata mereka karena daun-daun pohon itu satu
demi satu berguguran. Segera mereka mengambil keputusan untuk mengikuti nasib
kedua putranya, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga. Setibanya
mereka kembali ke candi, Empu Mandastana menikam dirinya dengan sebuah keris
Keling yang bernama Parung Sari dan istrinya dengan Lading Malela.
Beberapa hari kemudian barulah Lambung
Mangkurat mengetahui kematian kakaknya. Ia menanyakan kepada semua pengiring di
manakah mereka paling akhir melihatnya. Tetapi walaupun sudah diselidiki dengan
saksama, orang-orang tidak juga menjumpai Empu Mandastana dan istrinya. Sambil
menduga apa yang mungkin terjadi, Lambung Mangkurat pergi menuju Candi. Di sana dia menjumpai kedua
sosok tubuh yang telah menjadi mayat, terbaring tenang laksana tidur, sedangkan
keris dan lading untuk bunuh diri tergeletak di samping mereka masing-masing.
Di sekelilingnya tampak banyak burung yang mati bergelimpangan karena terbang
melangkahi kedua mayat keramat itu.
Lambung Mangkurat memerintahkan
pengiring-pengiringnya untuk membuang kedua mayat itu serta tanah-tanah tempat
mayat itu terbaring ke laut. Di tempat itu kemudian menjadi sebuah telaga yang
sampai sekarang dinamakan Telaga Raha (telaga berdarah). Konon jika ada seorang
yang dianggap bersalah dan dibunuh, maka kelihatan air Telaga Raha itu akan
berwarna kemerah-merahan selama dua puluh empat jam. Demikian pula halnya
dengan sungai yang berhulu dari gunung Batu Piring, yaitu gunung tempat
mengambil batung batulis untuk membuat tiang mahligai Putri Junjung Buih.
Sampai sekarang sungai ini masih terkenal dengan nama Sungai Darah.
-oOo-
Sumber : Hikayat Banjar
Diketik ulang : Rusman Effendi
Harap mencatumkan link asal kalau Copyy paste ....
Cerita ini berasal dari negeri Keling. Di sana hidup seorang pedagang yang kaya raya bernama saudagar Mangkubumi. Istrinya
bernama Siti Rara. Anaknya bernama Empu Jatmika. Setelah Empu Jatmika besar
kemudian dia kawin dengan Sari Manguntur. Dari perkawinannya ini Empu Jatmika
mendapat dua orang putra, bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat.
Saudagar Mangkubumi jatuh sakit
ketika kedua cucunya masih remaja. Semua anggota keluarga dititahkan untuk
berjaga selama 40 hari, siang dan malam. Saudagar Mangkubumi meminta supaya
anak dan cucunya datang menghadap ketika beliau hampir meninggal dunia.
Kemudian dia berpesan kepada anaknya Empu Jatmika supaya menjaga seluruh
keluarga dengan sebaik-baiknya. Selain itu beliau berpesan agar jangan kikir
dan bersikap adil terhadap setiap orang. Hendaklah anaknya menerima dan
mendengar setiap permohonan orang yang datang menghadap dengan segera. Itulah
kata-kata terakhir dari saudagar Mangkubumi.
Sebelumnya juga beliau berpesan
supaya anaknya pergi merantau ke luar negeri Keling karena di negeri Keling ini
terdapat banyak orang yang suka iri hati dan dengki. Anaknya Empu Jatmika harus
mencari negeri yang bertanah panas dan berbau harum. Untuk mengetahui hal itu
hendaklah dia menggali tanah yang didatanginya, kira-kira pada tengah malam dan
mengambilnya sekepal. Jika telah berhasil menjumpai daerah yang tanahnya
memenuhi syarat-syarat itu, hendaklah dia menetap di sana. Karena di tempat itulah dia mendapat
rahmat dan kebahagiaan. Tanaman-tanaman akan tumbuh subur. Saudagar-saudagar
akan berdagang, dan negara akan terhindar dari gangguan musuh. Jika tanah itu
harum tetapi dingin, maka kebahagiaan dan kemakmuran hanyalah sekadar saja.
Baik dan buruk ada di dalam keadaan seimbang. Jika tanah itu berbau busuk dan
lagi dingin, maka niscaya negara itu senantiasa ditimpa bahaya. Menderita
kesukaran yang tidak putus-putusnya.
Setelah berpesan demikian,
saudagar Mangkubumi menutup mata untuk selama-lamanya. Semua keluarga berduka
cita, dan meratapi dengan tangis kesedihan. Untuk mengikuti kebiasaan pada
zaman dahulu kala, upacara pemakaman berlangsung dengan disertai pembagian
beribu-ribu lembar kain dan berpuluh-puluh ribu uang yang ditaburkan.
Mengingat akan pesan ayahnya,
Empu Jatmika setuju sekali untuk meninggalkan negerinya. Dia memerintahkan
hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa untuk datang menghadap.
Juga Wiramartas yang merupakan seorang ahli bahasa. Wiramartas fasih dalam
berbahasa Arab, Persi, Melayu, Tionghoa, dan lain-lain. Kemudian Wiramartas
ditunjuk sebagai kepala dari rencana perjalanan ini.
Tidak lama kemudian, bertolaklah
dari negeri Keling, armada yang berlayar dengan dipelopori oleh kapal Si
Prabayaksa. Empu Jatmika terdapat dalam kapal pelopor ini. Tidak lama kemudian,
armada berlabuh di sebuah pulau. Tetapi ternyata pulau itu tidaklah bertanah
panas dan harum. Dengan sedikit kecewa pelayaran diteruskan. Armada kemudian
berlabuh di pulau Hujung Tanah. Sementara berlabuh Empu Jatmika tertidur dan
bermimpi. Dalam mimpinya itu dia serasa berjumpa dengan almarhum ayahanda, yang
berpesan supaya mendarat di pulau Hujung Tanah. Di situlah dia akan menjumpai
apa yang dicari.
Pagi-pagi benar pergilah Empu
Jatmika dengan empat orang pengiringnya menuju pulau Hujung Tanah. Dia mengambil
tanah di sana,
dan benarlah di sini hawanya panas laksana api, harum bagai daun pudak. Dengan
batu-batu yang dibawa dari negeri Keling, dimulailah membangun sebuah candi.
Kemudian didirikan pula sebuah istana lengkap dengan balairung, pendopo dan perbendaharaan.
Dengan suatu upacara di dalam balairung, Empu Jatmika memberikan nama kepada
negara baru itu Nagara Dipa. Dia sendiri menjadi raja di negara ini dengan
gelar Maharaja di Candi.
Pada waktu itu terdapat
kepercayaan kepada peribahasa: “Siapa yang tidak berdarah bangsawan, tetapi
oleh karena kekayaan dapat menjadi raja, dia akan ditimpa oleh bencana.
Demikian pula bencana itu akan menimpa mereka yang mengakui orang itu sebagai
raja”! Oleh karena itu, Empu Jatmika membuat patung dari kayu cendana. Patung
inilah yang seolah-olah dijadikan raja dan kepadanya seolah-olah diletakkan
kekuasaan yang tertinggi. Ahli-ahli tatah ukir membuat dua buah patung, yang
berwujud seorang laki-laki dan seorang perempuan. Patung-patung itu dihiasi
dengan seindah-indahnya dan diukup dengan dupa serta wangi-wangian kemudian
diletakkan dalam candi. Setiap hari Jumat datanglah raja mengunjungi
patung-patung itu.
Pada suatu ketika raja menitahkan
supaya Hulubalang Arya Megatsari membawa tentara 1000 orang untuk menaklukkan
daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, dan Batang Pitap. Dengan kekuasaan
tentara yang sama pula, berangkatlah Tumenggung Tatah Jiwa ke daerah Batang
Alai, Batang Hamandit, dan Labuan Emas. Kedua ekspedisi ini berhasil. Semua
pemimpin-pemimpin rakyat di daerah yang ditaklukkan itu dibawa menghadap raja.
Mereka semua diwajibkan untuk tunduk kepada perintah kedua hulubalang. Setiap
musim panen mereka haruslah menyerahkan upeti yang jumlahnya telah ditetapkan.
Setelah dijamu secara mewah, semua pemimpin itu diperkenankan kembali ke daerah
masing-masing, dengan perjanjian tidak akan lagi bermusuhan antarsesama mereka.
Sesudah pemimpin-pemimpin itu
kembali ke daerah masing-masing, raja mencurahkan perhatiannya kepada keadaan
istana. Segala peraturan, susunan pegawai, upacara istana disesuaikan dengan
tatakrama Majapahit. Ketika semua peraturan telah tersusun dengan baik, Empu
Jatmika mengirimkan armada ke negeri Keling. Di bawah pimpinan nakhoda Lampung,
mereka menjemput keluarga dan harta benda yang berharga yang masih ketinggalan.
Di dalam perjalanan pulang armada
ini dilanda angin taufan. Kapal-kapal terserak ke sana ke mari, sebagian hanyut ke Laut Kidul.
Akibatnya banyak anak buah kapal yang tewas. Sisa dari armada itu tiba kembali
ke Nagaradipa dengan selamat. Para nakhoda
mendapat hadiah. Di antaranya sebuah pedang yang indah permai.
Pada suatu upacara yang biasanya
dilakukan pada setiap hari Sabtu, raja memberitahukan kepada Arya Megatsari dan
Tumenggung Tatah Jiwa, keinginannya untuk mengganti patung-patung kayu yang
lambat-laun telah menjadi lapuk dengan patung dari gangsa. Ketika itu raja
mengetahui bahwa bangsa Tiongkok adalah bangsa yang pandai dan ahli dalam
pembuatan patung gangsa. Maka beliau memutuskan untuk mengutus Wiramartas
menghadap Raja Tiongkok dengan membawa bingkisan yang berharga, diantaranya
terdapat 10 ekor kera jenis orang hutan.
Dengan tidak banyak mendapat
kesukaran, utusan di bawah pimpinan Wiramartas itu tiba di Tiongkok. Di dalam
suatu sidang resmi, Wiramartas mempersembahkan surat dari raja Negara Dipa. Seorang pandita
Raja Tiongkok membacakan surat
tersebut. Kemudian Raja Tiongkok menitahkan supaya memenuhi permintaan Raja
Negaradipa. Kemudian Raja Tiongkok masuk ke dalam istana. Setelah musim baik
tiba, berlayar pulanglah Wiramartas. Empat puluh orang ahli patung milik Raja
Tiongkok ikut serta. Selain itu, dikirim pula berbagai aneka macam hadiah,
seperti tikar permadani, kain sutera dan barang-barang porselen. Wiramartas
sendiri mendapat hadiah pakaian yang indah dan sebilah pedang Jepang.
Setelah Wiramartas sampai di
pelabuhan Negara Dipa, utusan ini disambut secara meriah. Dalam sidang,
Wiramartas menyampaikan laporan dari perjalanan dan membacakan surat dari Raja Tiongkok. Wiramartas dengan
pengiring-pengiringnya diberi hadiah, yakni sebagai balas jasa atas menjalankan
kewajibannya dengan sangat baik. Kepada Wargasari, bendahara raja, diserahkan
bingkisan Raja Tiongkok. Sedangkan Arya Megatsari diperintahkan untuk menjaga
ahli-ahli seni rupa bangsa Tionghoa itu.
Dalam waktu yang singkat,
ahli-ahli bangsa Tiongkok itu selesai dengan tugas mereka. Dua patung gangsa
yang berbentuk seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ukurannya sebesar
anak kecil, diserahkan kepada raja. Raja sangat mengagumi pekerjaan para ahli
itu. Kemudian raja menitahkan untuk melemparkan patung-patung dari kayu cendana
ke dalam laut, dan menempatkan patung gangsa sebagai gantinya di dalam candi.
Empat puluh pandita dititahkan untuk menjaga patung-patung itu. Di dalam waktu
tertentu, mereka harus membersihkan dan menggosoknya dengan pasir halus, agar
patung itu tidak berkarat. Kemudian diusap dengan narawastu dan diasapi dengan
kemenyan. Setiap malam Sabtu, haruslah pandita-pandita itu menaburi
patung-patung itu dengan bunga melati, cempaka, dan bunga pudak.
Di zaman itu, Negara Dipa
termasyhur ke mana-mana. Pembentukan negara dan cara pemerintahan mengikuti
adat dari kerajaan Majapahit. Pakaian dan kebiasaan harus meniru pula pakaian
adat dan kebiasaan Jawa. Malah raja tidak lagi menghendaki rakyatnya berpakaian
secara Keling atau Melayu. Karena Negara Dipa adalah negara yang berdiri
sendiri dan haruslah mengambil bentuk yang selaras dan pantas. Selanjutnya raja
memperingatkan rakyatnya, jangan menanam lada untuk perdagangan seperti di
Sriwijaya. Sebab di tempat tumbuhnya lada, akan terdapat kekurangan bahan
makanan. Tumbuh-tumbuhan tidak akan tumbuh subur oleh hawa panas lada. Negara
akan menerima kesukaran dan pemerintahan akan runtuh. Jika orang ingin menanam
juga lada, hendaknya jangan lebih dari empat sampai lima rumpun, yakni sekadar cukup untuk
keperluan sendiri.
Beberapa lama kemudian Empu
Jatmika jatuh sakit. Banyak tabib yang didatangkan, tapi tidak berhasil. Siang
dan malam banyak rakyat yang berjaga-jaga di sekitar istana. Akhirnya raja menitahkan
agar kedua putranya menghadap. Juga kedua hulubalang, Arya Megatsari dan
Tumenggung Tatah Jiwa. Dengan tegas raja memperingatkan agar kedua putranya
jangan menerima kehormatan untuk menjadi raja. Sebab bencana dan malapetaka
akan selalu menimpa setiap orang yang menjadi raja, jika dia bukan berasal dari
kaum bangsawan. Beliau sendiri meletakkan kekuasaan pada patung-patung karena
khawatir di timpa bencana. Jika beliau mangkat haruslah patung-patung itu
dilemparkan ke laut. Sedangkan putra-putranya dititahkan mencari raja manusia
dengan jalan Empu Mandastana haruslah bertapa di gunung, di dalam gua atau di
pohon-pohon besar. Sedangkan Lambung Mangkurat haruslah bertapa di pusaran air
yang dalam. Sesudah memberikan peringatan ini, rajapun mangkat.
Pemakaman jenazah baginda dilakukan dengan upacara
kebesaran. Kemudian oleh pandita-pandita dilakukan upacara membuang
patung-patung ke dalam laut. Kemudian Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat
pergi bertapa memenuhi anjuran ayahanda mereka, Empu Jatmika. Dua tahun lamanya
mereka hidup mengasingkan diri, dengan mengurangi makan, minum, dan tidur. Akan
tetapi, yang diharap-harap belum juga tiba, sehingga mereka telah berniat untuk
pulang kembali.
-oOo-
Sumber : Hikayat Banjar
Diketik ulang : Rusman Effendi
Harap mencantumkan link asal kalau Copy paste ....
Suatu
ketika pada jaman dahulu kala tersebutlah dua orang suami istri beserta anaknya
yang pekerjaan mereka sehari-hari adalah bertani. mereka hidup berasal dari
bertani dan mengerjakan lahan mereka dengan tekun dan rajin. sehingga mereka
selalu berkecukupan. mereka tinggal di daerah yang disebut di Paulinan (Linuh)
yang sekarang terkenal dengan bendungannya, sebuah perkampungan di kecamatan
Bungur, Kabupaten Tapin.
Pada
suatu hari, kedua petani tersebut mencari ikan di batang (sungai) sebagai lauk
untuk makan pada hari itu. Peralatan yang digunakan untuk mencari atau menagkap
ikan tersebut adalah tangguk (alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipotong
kecil-kecil dan disusun sedemikian rupa. Setelah sekian lama mencari ikan di
batang tersebut, tidak ada satu ekor ikan pun yang masuk ke dalam tangguk
mereka.
Mereka
hampir putus asa dengan keadaan tersebut. Tetapi kemudian sang suami
mendapatkan sebiji telur besar, dengan senangnya dia bergegas menghampiri
istrinya dan sambil memperlihatkan telur yang diperoleh kepada istrinya. Namun,
ternyata sang istri justru menyarankan agar telur tersebut dibuang, walau
dengan berat hati dan perasasaan kecewa, tapi demi sang istri telur tersebut
akhirnya dibuang oleh sang suami ke arah hulu sungai.
Petani
tersebut kembali melanjutkan mencari ikan dengan tangguknya dan berharap segera
mendapatkan ikan untuk dimakan pada hari ini. Namun ternyata usaha mereka
sia-sia belaka. Tapi anehnya telur yang tadinya dibuang kembali lagi masuk ke
dalam tangguk mereka. Karena hari sudah mulai siang dan ikan tidak juga
didapat, maka akhirnya mereka memutuskan membawa telur tesebut ke rumah untuk
dimakan sebagai pengganti ikan.
Dalam
perjalanan pulang, sambil berbincang-bincang sang suami menjelaskan kepada sang
istri kalau dia tak perlu risau tidak mendapatkan ikan, karena mereka sudah
mendapatkan telur sebagai pengganti ikan dan inilah rejeki mereka pada hari ini.
Setelah sampai di rumah telur pun dimasak oleh sang istri untuk menjadi lauk
saat makan nanti.
Pada
waktu makan bersama, sang istri dan anaknya tidak mau memakan telur yang
tadinya dimasak karena takut dengan keadaan telur yang berbeda dari telur
biasanya, telur ini berukuran besar sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman
dari sang istri. Daripada tidak ada yang mau memakan telur yang tadinya
dimasak, maka sang suami itu sendiri yang memakannya. Usai memakan telur
tesebut tiba-tiba timbul rasa gatal-gatal disekujur tubuhnya dan dari kulit
sang suami itu muncul sisik-sisik yang
menyerupai seperti sisik naga.
Lama-kelamaan
berubah menjadi seekor naga yang berwarna Putih dan semakin hari sang naga
semakin bertambah besar.
Akibat
perubahan tersebut, keluarga petani merasa tidak nyaman dengan keadaan itu.
Kemudian naga tersebut diturunkan ke tanah melalui tangga dari dua buah batang pinang
muda yang dibuatkan oleh keluarganya dan sampai kesebuah parit kecil. Sang naga
kemudian melakukan perjalanan ke hilir. Dalam perjalanannya, ia terus
menggerakkan tubuhnya yang besar.
Akibat
dari itu, parit yang tadinya kecil berubah menjadi sebuah sungai yang lebar dan
panjang. Konon ceritanya, itulah legenda terjadinya sungai yang membelah kota Rantau dan kemudian
di sebut sungai Tapin.
Perjalanan
yang dilakukan oleh sang naga cukup jauh dari hulu (Paulaian-Linuh) ke hilir
dan sampai ke Muara Tabirai. Ternyata di Muara tabirai ini ada terdapat liang (lubang besar) dan kerena
kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang, maka sang naga memutuskan untuk
beristirahat dan tertidur di dalam liang yang baru ditemukannya. Padahal, liang
yang ditempati oleh sang naga Putih tersebut adalah tempat tinggal dari seekor
naga yang berwarna Habang (merah ) yang tadinya pergi mencari makan. Ketika
naga Habang kembali, dia terkejut karena di dalam liangnya sudah terdapat
seekor naga yang berwarna Putih, sehingga naga Habang menjadi marah. Kedatangan
naga Habang ke dalam liangnya, membuat naga Putih terkejut sehingga terbangun
dari tidurnya.
Naga
Habang tidak terima karena liangnya ditempati oleh naga Putih sehingga terjadi
perkelahian yang sangat hebat. Namun perkelahian ini tidak seimbang karena naga
Putih tidak mempunyai taring seperti naga Habang, sehingga perkelahian ini
dimenangkan oleh naga Habang. Kekalahan ini membuat naga Putih harus
meninggalkan liang yang baru didapatnya. Naga Putih kembali ke hulu menemui
istrinya dan mengadukan perihal kekalahannya dalam perkelahian melawan naga
Habang di liang yang baru ditemukannya. Untuk merebut kembali liang yang ditemukan
oleh naga Putih tersebut, dia disarankan oleh sang istri agar memasang pisau yang tajam dikiri dan kanan mulutnya
agar menyerupai sepasang taring milik naga Habang.
Saran
ini disetujui oleh naga Putih dan meminta kepada istrinya untuk membantu
memasangkan pisau tersebut ke kiri dan kanan mulutnya sebagaimana yang
disarankan oleh sang istri.
Setelah
pisau terpasang, naga Putih kembali menuju ke liang untuk menuntut balas atas
kekalahannya kepada naga Habang. Mereka kembali melakukan perkelahian, pada
perkelahian ini naga Habang mengalami luka disekujur tubuhnya akibat taring (pisau)
yang dimiliki oleh naga Putih, sehingga naga Habang dapat dikalahkan oleh naga
Putih. karena banyaknya luka yang dialami oleh naga Habang, sehingga dia tewas
di tangan naga Putih. akibat banyaknya darah yang dikeluarkan oleh naga Habang
pada saat perkelahian, seketika itu pula air sungai berubah menjadi merah
berkilauan dan memantulkan cahaya beraneka ragam warna yang indah merona di
langit senja.
Setelah
pertarungan usai, di bergegas kembali menuju ke hulu untuk memberikan kabar
gembira kepada sang istri bahwa dia telah dapat
mengalahkan naga Habang bahkan membuat naga Habang tewas. Sang istri
juga ikut merasa bahagia atas kemenangan yang didapat oleh sang suami (naga
Putih).
kebahagiaan
itu tidak berlangsung lama, karena sang suami menyadari kalau mereka tidak
mungkin bersatu dan hidup bersama lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan wujud diantara mereka. Derai air mata dan isak tangis diantara mereka
tidak bisa dibendung lagi. Sebagai tanda kecintaan dan kesetiaan naga Putih
terhadap anak dan istrinya, ia meninggalkan pesan terlebih dahulu kepada
keduanya. Pesan tersebut adalah “apabila merasa rindu
dan ingin bertemu kepadaku (naga Putih), maka akan turunlah hujan, panas
kemudian rintik dan pada akhirnya muncul pelangi. selagi masih ada pelangi diangkasa,
itu tandanya aku masih hidup dan cinta suciku selalu untuk kalian. Dan mulai
saat ini, panggillah aku(naga Putih) dengan sebutan “Balahindang”.
Balahindang kemudian kembali ke liangnya di Muara Tabirai dan bersemayam
disana.
Diilhami
oleh legenda si Balahindang yang membentuk sungai Tapin tersebut, pada masa
selanjutnya di jaman dahulu, ada seorang setengah baya bernama Gudabam, membuat
dua buah patung naga. Patung tersebut di beri nama Si Rintik (berwarna Putih)
dan si Ribut (berwarna merah) yang konon ceritanya sebagai menghormati kedua
naga yang menghuni dan bersemayam di Muara Tabirai tersebut (sungai Tapin).
Ketika
ada perkawinan dan dilakukan acara beantaran pengantin dari Gadung ke daerah
Balimau yang melewati sungai Tapin, maka digunakanlah perahu untuk mengantar pengantin dan didepan perahu
tersebut diletakkan patung kepala naga si Rintik dan si Ribut. Dalam perjalanan
melewati Muara Tabirai, terjadi keanehan yaitu kepala si Ribut menunduk-nunduk
seolah-olah ingin masuk ke dalam sungai.
Berdasarkan
legenda balahindang di awal, kepala naga seolah-olah ingin masuk ke sungai yang
diperkirakan disana terdapat liang yang dalam sebagai tempat mereka tinggal.
Melihat
kejadian ini pawing yang membuat patung naga tersebut mengambil sebilah parang
dan ditimpasakan (ditebaskan) kekepala naga si Ribut. Kepala patung tersebut kemudian
mengeluarkan darah dan kembali tegak seperti semula. Selanjutnya kepala dari
parung si Ribut di simpan di Museum Lambung Mangkurat.
Sedangkan
patung naga si Rintik masih ada di Tapin, yaitu tepatnya di Parigi dan disimpan
oleh penduduk disana. Menurut mereka, si rintik sulit dipisahkan dari mereka.
Pernah terjadi masalah ketika patung naga ini dibawa ke tempat lain, kulit mereka
berubah seperti bersisik. Sehingga kemudian mereka tidak menghendaki patung si
Rintik keluar dari tempat mereka.
Demikianlah
kisah tentang kedua petani yang pada akhirnya terpisah karena keadaan mereka.
Tentang istri petani dan anaknya kurang diketahui penulis kelanjutannya, tapi
ada yang berpendapat bahwa mereka berdualah yang merintis pedesaan sehingga
menjadi desa Linuh sekarang. Walaupun cerita ini berbau mistis, tapi kejadian
kisah ini diyakini oleh masyarakat kabupaten Tapin, khususnya orang-orang tua yang
berada di daerah hilir alirang sungai tapin tersebut, baik itu di Serawi,
Parigi, Margasari, Gadung dan terlebih di daerah Muara Tabirai itu sendiri.
Itu
adalah sebahagian cerita dari masyarakat yang begitu dipercayai sebagai sebuah
kejadian yang nyata. Sulit memang untuk menjadikan sebuah dongeng ke dalam
suatu peristiwa yang dianggap nyata. Namun, dalam hal ini yang menjadikan dasar
untuk mempercayai hal semacam itu adalah keyakinan seseorang dalam mengiyakan
bahwa carita samacam itu benar-benar ada serta berkembang dan beredar di
kalangan masyarakat.
Paling
tidak, itu menambah suasana cerita rakyat yang sekarang mulai pudar dengan
bermunculannya dunia perfilman di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Bagaimanapun, itu adalah sebagian cerita lokal untuk memperkaya dan mempertahankan
cerita rakyat di daerah kita sendiri ketika bersaing dengan dunia tekhnologi
yang sekarang sudah merebak dan menghambur. Bukankah itu sesuatu hal yang mungkin,
seandainya kita coba?
Menjelang Fajar, 22 Nopember
1859, Komandan Van der Velde, Letnan I Bangert, Van Perstel, dan Van der Kop
yang ditugaskan memimpin ekspedisi Kapal ‘Onrust’ ke Sungai Teweh guna menemui
Tumenggung Surapati untuk sebuah misi penting, yakni membujuk Temenggung
Surapati mau membantu mereka mengatasi Pangeran Antasari.
Tumenggung Surapati, keturunan
Dayak Siang yang dipercaya memimpin di daerah di Sepanjang Sungai Teweh itu
berpura-pura setuju, namun dengan maksud terselubung di baliknya. Sementara
empat kakak laki-lakinya ikut berjuang bersama Pangeran Antasari, Diang
Azizah, Putri Haji Ibrahim, orang kepercayaan Temenggung Surapati, mengisi
harinya dengan menjalin hubungan dengan Dayan. Lelaki ini mengaku berasal dari
desa Benangin dan bergabung dengan pasukan perlawanan rakyat yang dipimpin
Pangeran Antasari di sepanjang hulu Sungai Barito.
Dia ditugasi membantu Tumenggung
Aria Patty, tokoh setempat yang juga merupakan kepercayaan Pangeran Antasari.
Sejak berkenalan, Azizah bersimpati kepadanya. Karena selain gagah, dia juga
pejuang, sama seperti kakak-kakaknya. Dayan mengira Temenggung Surapati akan
mau diajak Belanda bekerjasama. Tapi Diang Azizah meragukannya. Dia tahu benar
siapa Temenggung Surapati. Mereka sempat memperdebatan hal ini. Tapi dia merasa
menang ketika mendapat kabar dari ayahnya, bahwa Temenggung Surapati hanya
berpura-pura setuju bekerjasama dengan Belanda.
Maksudnya, agar mereka lengah,
dan saat itu akan digunakan Rakyat Banjar dibawah pimpinan Pangeran Antasari
untuk menyerang Kapal Onrust. Tak disangka Azizah, justru informasi ini yang
ditunggu Dayan darinya. Ternyata dia mata-mata yang dikirim Belanda. Untung,
dia sempat mendengar percakapannya dengan seorang mata-mata lainnya supaya
menyampaikan kabar kepada Tentara Belanda di atas kapal. Dia sempat
membunuhnya. Sementara melenyapkan Dayan tidak semudah perkiraannya karena dia
pernah begitu menyukai lelaki itu. Apalagi dia sakti karena menggunakan baju
yang berajah sehingga tak tembus senjata.
Tapi dengan pertolongan Allah,
sumpit Azizah yang beracun berhasil menusuk lehernya. Sekejap racun itu bekerja
dan membunuhnya. Maka rencana yang telah disusun pun berjalan mulus. Semula
Belanda menerima kedatangan Temenggung Surapati dan pengikutnya di Kapal
Onrust, 26 Desember 1859, dengan ramah. Mereka memamerkan senjata mereka yang
canggih. Tapi saat mereka lengah, ratusan jukung yang dipimpin Gusti mengepung
kapal. Ibon, putra Temunggung Surapati yang selalu mendampingi di sisi sang
ayah memberikan isyarat. Serentak berloncatanlah ratusan prajurit Banjar ke
atas kapal dan menyerang seluruh tentara Belanda. Karena tak menyangka, Pasukan
Belanda kocar-kacir.
Tumenggung Surapati pernah
menjadi sahabat membantu Belanda dalam perdagangan, beliau bahkan pernah pada
tahun 1857 (thn dimana Sultan Adam meninggal) menjamu dengan megah dan ramah
Civiel-gezaghebber dan komandan militer marabahan, akan tetapi setelah disadarinya
Belanda hendak menancapkan kuku abadi penjajahan maka ia menjauhkan diri dari
Belanda dan ikut turun perang Jihad Fisabilillah dibawah pimpinan Sultan
Hidayatullah.
26 Desember 1859 Tumenggung Surapati dengan sebuah perahu besar yg diiringi beberapa
perahu kecil tidak beratap, menghadiri undangan komandan kapal perang onrust ,
Beliau naik kekapal bersama 15 orang pengiring yg terdiri dari keluarga dan
punakawan beliau. Perahu2 itu berlabuh diarah hulu kapal .Surapati disambut
Letnan Bangert yg pernah tahun 1857 menjadi tamu Surapati. Bersama 4 orang anak
dan menantunya Surapati masuk kedalam anjungan kapal yg disengaja disediakan
untuk berunding , sepuluh orang punakawan beliau diterima oleh opsir diruangan
atas.
Didalam perundingan itu Belanda mengajak Surapati agar dapat membantu Belanda
menangkap Panglima2 Perang Sultan Hidayatullah, diantaranya Pangeran Antasari
yg telah menjadi salah satu pimpinan perang didaerah Tanah Dusun dan telah
menjadi saudara dimana anak beliau menikah dengan cucu Pangeran Antasari.
Belanda tidak mengira bahwa Tumenggung Surapati merupakan Panglima Perang Tanah
Dusun pula. Perundingan ini memberikan janji hadiah dan bahkan kepadanya
diperlihatkan surat
keputusan pengangkatan sebagai Pangeran.
Komandan Van Der Velde mengantarkan Surapati melihat-lihat meriam, sedang
anak-anak Surapati yg mengikuti perundingan diajak oleh Letnan Bangert.
Pemuda-pemuda, anak dan menantu Surapati yang mengikuti perundingan merasa
curiga !!, mereka telah mendapat kesimpulan betapa kelicikan dan kelicinan Belanda,
hendak mengadu mereka dengan saudaranya sendiri, devide et impera, politik
mengadu domba !!
Pemuda-pemuda itu tidak dapat bersabar lagi, setibanya Gusti Lias dengan perahu
disisi kapal. Ibon anak Surapati menghunus mandaunya dan sambil berteriak
memberi tanda amuk, memarangkan mandau itu kepada Bangert yang seketika itu
juga jatuh bergelimpang. Mendengar teriakan Ibon ini, cepat laksana kilat
Surapati menghunus juga mandaunya dan pertarungan terjadi dengan Van Der Velde
, Van Der Velde tidak lama menjadi mayat. Opsir-opsir tentara dan anak buah
kapal dikepung oleh anak buah Tumenggung Surapati dan terkurung didalam ruangan
kapal. Dari perahu2 dan dari daratan berlompatan ank buah Surapati. Perkelahian
terjadi. Opsir-opsir bertempur dengan mempergunakan senjata api diantaranya ada
pula yang terjun keair ,merek dengan mudah dibinasakan atau mati lemas.
Pada
peristiwa berdarah itu menewaskan Letnan Bangaert C bersama 50 serdadu marinir
dan 43 anak buah kapal Onrust yang ikut tenggelam setelah salah seorang pejuang
membuka keran air di ruang palka, hingga kapal Onrust tenggelam.
Sebelum ditenggelamkan Tumenggung Surapati melepas meriam-meriam dan menyita
persenjataan untuk kemudian dipakai untuk peperangan berikutnya.
Mereka terbunuh dan beberapa
melarikan diri. Kapal Onrust dikuasai. Persenjataan dirampas, dan Onrust
ditenggelamkan. Sampai sekarang, bangkainya masih terkubur di sekitar Sungai
Barito. Kekalahan ini sangat memalukan Belanda. Mereka membalas dengan
membumihanguskan kampung-kampung sepanjang Sungai Teweh, termasuk Desa
Lontontour. Namun rakyat sudah mengantisipasi datangnya serangan balasan.
Sebagian besar penduduk sudah diungsikan ketika Belanda menyerbu dan mengobrak-abriknya.
Haji Ibrahim dan keluarganya mengungsi, mengikuti pergerakan Temunggung
Surapati dalam mendukung perjuangan Pangeran Antasari. Diang Azizah akhirnya
diizinkan bergabung dengan pasukan wanita yang dipimpin Ratu Zaleha. Dia
dikenal sebagai pejuang wanita bersenjatakan sumpit beracun.
Setelah lebih dari seabad akhirnya ditemukan posisi koordinat secara astronomis bangkai kapal Onrust di Sungai Barito itu berdasarkan hasil
survei Tim Balai Arkeologi Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), pada
September 2006, yakni berada pada Lintang Selatan (LS) 00. 56 derajat 57.4
detik dan Bujur Timur 114 52derajat 32.7 detik atau sekitar 2,2 kilometer arah
hilir atau selatan kota Muara Teweh.
Dari hasil surve dan menghimpun
sejumlah nara
sumber dari warga setempat, ia mengemukakan, fisik kapal pecah menjadi dua
bagian dan pada posisi yang diketahui koordinatnya itu merupakan bagian haluan
hingga badan kapal ke belakang sepanjang 18.40 meter. sedangkan, bagian lainnya
sekitar 300 meter arah hilir dari titik kapal yang ditemukan itu.
Sementara itu, berdasarkan data
dari Museum Perkapalan Belanda (Scheepvaart Museum Amsterdam) disebutkan kapal
Onrust merupakan kapal uap Belanda yang dibuat pada tanggal 15 September 1845
dengan panjang 24 meter, lebar empat meter dan luas kapal di dalam air 1,15
meter dengan daya mesin uap 70 tenaga kuda (PK).
Dikutip dari Buku Perang Banjar
karangan H.Gusti Mayur S.H. halaman 68
Sebagai telah dikemukakan, sesudah bulan Muharram,kegiatan perlawanan melawan
dan menggempur Belanda sangat meningkat. Dari selatan ke utara membentang nyala
api pertempuran-pertempuran :
a.Di Tanah Laut, perlawanan terutama untuk menyerang
Benteng Batu Tongko dibawah pimpinan Haji Buyasin dengan kawan-kawan.
b.Di Martapura dibawah pimpinan Pangeran Muda dan
kawan-kawan
c.Di Pengaron dibawah pimpinan Haji Sambas
d.Di Benua Amandit dibawah Demang Leman
e.Di Benua Alai dibawah Hidayat
f.Di Balangan dibawah Jalil
g.Di Tabalong dibawah Antasari.
Baik Hidayat, maupun Antasari dan
Demang Lehman, selalu menjelajah seluruh daerah pertempuran, kadang
bersama-bersama, kadang berpisah-pisah.
Hidayat dan Demang Lehman meminta kepada Temenggung Antaluddin supaya meminta
memimpin mendirikan benteng pertahanan di gunung Madang. Letaknya benteng ini
sangat strategis disebuah bukit yang tingginya. ± 50 meter. Belum lagi
benteng ini selesai seluruhnya, rupanya pihak Belanda telah mencium bau.
Pada tanggal 3 September 1860 telah datang patroli Belanda dari Amawang melalui
kampung Karang Jawa dan Ambarai menuju kaki gunung (bukit) Madang. Segera pihak
Belanda melihat benteng yang terdapat dipuncak bukit itu. Betapakah terkejutnya,
baru saja mereka berada dikaki bukit itu, mereka telah disambut dengan tembakan
bedil, dan 4 serdadu bangsa Belanda kena tembak jatuh tergelimpang. Pihak
Belanda mencoba mendaki bukit itu, tetapi mereka dapat dipukul mundur, pasukan
Belanda yang banyaknya ± 30 orang terpaksa kembali ke Amawang membawa
korban-korban.
Keesokan harinya datang lagi pasukan infanteri Belanda dari batalyon 13 dengan
membawa senjata mortir. Mereka membawa pula beberapa puluh perantaian
(kettinggangers) dengan maksud menghancurkan dan meratakan benteng itu
seluruhnya. Ketika pasukan infanteri Belanda sampai di kaki Gunung Madang,
mereka telah disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Tentara Belanda
melemparkan 3 buah granat, tetapi ternyata bisu, tidak meletus. Didalam benteng
ini juga beberapa orang suku Bugis dan beberapa orang perantaian yang melarikan
diri kepada pasukan Temenggung Antaluddin dan Demang Leman.
Betapa terkejutnya pemimpin pasukan Belanda Letnan De Brauw dan sersan De
Vries, ketika dari benteng itu meneriaki namanya De Brauw dan De Vries. Dan
terkejutnya lebih besar lagi ketika ia menaiki Bukit Madang untuk menyerbu
benteng itu , ia hanya diikuti oleh anggota-anggota pasukannya yang berbangsa Eropa,
sedang anak buahnya Inlander (suku Bumiputera) membangkang tidak ikut serta.
Letnan De Brauw kena tembak dipahanya dan 9 orang tentara Belanda bangsa Eropa
lainnya jatuh bergelimpangan. Walaupun bala bantuan dari Amawang datang lagi
bertambah, tetapi mereka tidak berani lagi melakukan penyerbuan menaiki gunung
itu lagi pada hari itu.
Setelah pertempuran pada tanggal
3 dan 4 September itu, Belanda tidak berani lagi mendaki Gunung Madang. Kapten
Koch menunggu datangnya bala bantuan dari Banjarmasin
dan Amuntai. Barulah setelah terkumpul beberapa ratus tentaranya, mereka datang
lagi pada tgl 13 September 1860 menyerbu Gunung Madang. Tentaranya yg beratus-ratus
orang banyaknya itu membawa pula meriam dan mortir. Penembakan dengan meriam
dan mortir dilakukan dari jarak 60 meter. Penyerangan kali ini dibawah pimpinan
Kapten Koch dan ia memerintahkan menyerbu dari Utara dan Selatan. Penyerbuan
ini mendapat perlawanan yang hebat dari anak buah Antaluddin dan bekas tentara
Belanda suku Bugis, dan setelah roda meriamnya juga hancur, maka kapten koch
memerintahkan tentaranya mundur dan kemudian kembali ke Amawang dan ini adalah
kali ketiganya kegagalan dari pihak Belanda menggempur benteng Madang.
Kegagalan penyerbuan ini membesarkan semangat perlawanan dari pihak Rakyat
Banjar. Namun pihak Hidayat mengetahui benar, bahwa pihak Belanda tentu akan
melakukan lagi serangan besar2an terhadap benteng Gunung Madang ini. Maka oleh
sebab itu dilakukan pula persiapan-persiapan strategis untuk menghadapi serangan itu.
Berita kegagalan-kegagalan penggempuran berulang-ulang itu telah sampai di Banjarmasin. Mayor Verspyck dengan segera
mengirimkan tambahan pasukan infanteri dari batalyon 13 dibawah pimpinan Mayor
Schuak. Mendengar tentara Belanda yang berbangsa Indoesia ingkar untuk
bertempur, maka hal ini menimbulkan murkanya, dan mereka itu diajukan kedepan
pengadilan perang. Demikianlah anggota tentara dibawah Schuak itu hampir
seluruhnya terdiri dari orang Eropa. Memang pada ketika itu telah lebih dari
1000 orang diturunkan bertempur didaerah Banjar, diantaranya 91 orang opsir.
Pasukan Schuak dikirim dari Banjarmasin
menuju Gunung Madang via Amawang datang dengan kapal.
Demikianlah pada tanggal 18 September 1860, untuk keempat kalinya, kelihatan
lagi datang pasukan tentara Belanda.Pemimpin tentara Belanda di Amawang Kapten
Koch ikut didalam penyerangan di benteng Gunung Madang pada hari itu yang
ternyata hari nahasnya. Demang Leman dan Antaluddin dengan gagah berani
memimpin pertahanan Gunung Madang. Belanda membawa sebuah houwitser, sebuah
meriam berat dan mortir. Belanda menyerang dari jarak 120 meter dengan memuntahkan
peluru2 meriam. Tentaranya 50 orang diperintahkan menyerbu dari sebelah kanan
dan sekian itu pula dari kiri. Dari depan dan belakang meriam telah siap 100
orang untuk bertempur berhadap2an, dan selain dari pada itu tersedia lagi
tentara cadangan. Menjelang jam 11 siang, anak buah Demang Lehman, dengan gigih
mulai membidik tentara-tentara Belanda yang datang itu.
Letnan Verspyck yang berani mencoba mendekati benteng itu dengan anak buahnya
dari sebelah kanan, terguling kena tembak oleh anak buah Temenggung Antaluddin.
Setelah pasukan dari samping gagal, dan terpaksa kembali keinduk pasukannya,
kapten Koch memerintahkan memajukan barisan meriamnya. Dengan jitu sebuah
peluru dari benteng yang ditembakkan Suku Bugis yang ada dibenteng itu mengenai
penembak meriam itu, dan ia jatuh tersungkur. Kapten Koch memerintahkan barisan
artileri menembaki benteng itu dan ia sendiri menampilkan diri untuk
menyaksikan hasil penembakan meriam terhadap benteng itu. Dan pada kesempatan
ini pulalah melayang sebuah peluru dari benteng itu yang menembus dada Kapten
Koch, pemimpin bala tentara Belanda didaerah Amandit, dan ia tewas pada ketika
itu juga. Kedengaran pada ketika itu sorak-sorai dari dalam benteng.
Setelah tewas kapten Koch, pimpinan tentara Belanda menjadi gugup, kocar-kacir
dan kemudian mengundurkan diri kembali ke Amawang, dengan sedih menggotong
korban-korban.
Beberapa hari setelah kematian kapten Koch itu, benteng Gunung Madang tidak
mendapat gangguan dari pihak Belanda. Kesempatan ini dipergunakan untuk mempersiapkan
menyambut penggempuran yang ke lima
ini. Demang Leman mendapat kabar dari penakawannya, bahwa Amawang telah
mendapat lagi bala bantuan dari darat dan juga ada yang datang dengan kapal.
Untuk menghadapi serangan hebat itu, Demang Leman dan Temenggung Antaluddin
bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin anak buahnya. Pada ketika itu diambil keputusan
mengambil siasat akan mengadakan pukulan hebat terakhir dan kemudian sebagian
demi sebagian isi benteng akan keluar meninggalkan benteng.
Benarlah pada tanggal 22 September 1860, datanglah kelompok-kelompok pasukan
tentara Belanda bergelombang-gelombang menuju kearah benteng Madang. Kali ini
mereka tidak terus mengadakan penyerbuan tapi mereka lebih dulu mendirikan
bevak-bevak/kemah-kemah dan dijaga dengan ketat. Tampak betul pihak Belanda
bersiap untuk mengepung benteng gunung Madang itu dengan perhitungan jangka
panjang.
Sebaliknya baru saja pasukan yang dipimpin Schuak itu datang, mereka telah
disambut dengan tembakan2 dari benteng. Pihak Belanda sendiri rupanya pada hari
pertama itu hanya ingin menitik beratkan didalam persiapan menyusun
meriam-meriam dan mortirnya. Barulah pada keesokan harinya mereka mulai
menembakkan meriam-meriamnya memuntahkan tidak kurang dari 50 buah peluru dan
melemparkan tidak kurang dari 30 granat . Yang mengherankan Belanda adalah
sebagian daripada granat itu tidak meledak . Pada hari itu tembak menembak
sangat gemuruh. Tampak betapa banyaknya tentara Belanda yang jatuh
bergelimpangan, diantaranya adapula opsir-opsirnya.Pihak Belanda mencoba memperkecil
lingkarannya mengepung benteng itu menjelang malam hari.
Tetapi betapa terkejutnya mereka, ketika disekitar jam 11 malam, pasukan Demang
Lehman dan Antaluddin tiba-tiba mengadakan serangan besar-besaran dengan
menggunakan lila dan senapan. Tembakan yang terus menerus dengan gencarnya ini
memuncak disekitar jam 3 subuh dengan serangan2 serempak. Pasukan Belanda saat
itu menjadi kucar-kacir dan mundur. Kesempatan inilah dipergunakan Demang Leman
dan Temenggung Antaluddin meninggalkan benteng itu, sedang untuk mengelabui
pihak Belanda, dari benteng itu terus menerus dilakukan penembakan sampai jam
setengah lima
subuh.
Dan betapa kecewa Belanda ketika mereka dengan merangkak sampai diatas
benteng jam 5 subuh, benteng itu telah kosong, hanya ada tinggal bangkai
seorang prajurit. Belanda sangat kecewa, karena untuk merebut benteng itu
banyak korban dipihaknya termasuk beberapa opsir, ya bahkan seorang dari
padanya adalah pemimpin balatentara Belanda daerah Amandit. Sedang benteng ini
barulah dapat direbutnya setelah empat kali kekalahan memalukan, dengan banyak
kerugian materil, moril personil.
Pasukan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin pada malam itu dengan cerdik
dapat memperdaya kepungan Belanda dan seperti direncanakan kemudian bergabung
dengan kekuatan pasukan Banjar yang berada disebelah utara antaranya Batu
Mandi. Diantaranya ada pula pasukan2 kecil yang sengaja berpisah dari induk pasukan,
masuk menyeludup kedaerah-daerah yang telah diduduki Belanda dan selanjutnya
didaerah itu kemudian mengadakan serangan-serangan. Rombongan yang dipimpin
oleh Kiai Cakra Wati berangkat menuju Pamaton. Kiai Cakra Wati adalah pemimpin
wanita yang ikut bertempur dimana-mana dengan berpakaian laki-laki dan sangat
tangkas berpacu kuda. Biasanya ia diapit oleh beberapa penakawan wanita pula.
Salah satu pasukan yang sengaja memisahkan diri dibawah pimpinan Lurah Mira
telah menggempur kampung yang kepalanya berpihak kepada Belanda didalam
pertempuran di Gunung Madang. Setelah berhasil melakukan tugas mengadakan
pukulan hebat kepada lawan, Lurah Mira dan kawan-kawannya jatuh sebagai
Pahlawan didalam suatu pertempuran.