Penangkapan Haji Abdullah
Posted: Kamis, 06 September 2012 by Rusman Effendi in
0
Oleh: W.A. VAN RESS
Alih Bahasa oleh: H.M. SALEH
Bibliotheek MINSEIBU Banjarmasin
(Halaman 293-301)
Pada tanggal 12 dan 15 September
1860, pasukan Kolonial Belanda kembali berhasil memasuki Amuntai. Hal ini
disebabkan karena keuletan pimpinan pasukan Kolonial Belanda, VAN EMDE dan
VERSIJCK. Dengan pasukan 100 orang, berhasil mengadakan hubungan antara RINGKAU
KANTAN dengan AMUNTAI melalui suatu daerah yang sangat asing sekali.
Di Tabalong pasukan Kolonial Belanda masih
dipimpin oleh EICHELBACH. Di sana
sempat terjadi perlawanan dari para pejuang yang mengakibatkan tertundanya
rencana untuk melumpuhkan para pejuang oleh pasukan Kolonial Belanda. Namun
usaha para pejuang tidak dapat bertahan lama, sebulan kemudian pasukan Kolonial
Belanda berhasil melumpuhkan perlawanan para pejuang.
Pada tanggal 14 September 1860, dua orang pimpinan pejuang, yaitu PENGHULU SOELATIF dan DJALALOEDIN jatuh dalam perangkap pasukan Kolonial Belanda, akhirnya ditahan dan diperiksa/diselidiki. Tertangkapnya dua orang pimpinan pejuang tersebut dikarenakan usaha kedua pejuang tersebut untuk menyeludup ke dalam tangsi (benteng) pada malam hari untuk membuat keonaran di dalam tangsi, telah diketahui oleh spion (mata-mata) Belanda dan melaporkannya kepada pimpinan pasukan Kolonial Belanda, VAN OIJEN.
Para pejuang yang bersatu, hampir semuanya para tokoh agama (haji) yang berpusat di SUNGAIMALANG . Salah seorang dari pejuang, yaitu
ABDULLAH menderita luka pada pahanya akibat terkena tembakan. VAN OIJEN setelah
mengetahui semua itu bertekad untuk segera menangkap para pejuang dengan jalan
apa pun.
Pada tanggal 14 September 1860, dua orang pimpinan pejuang, yaitu PENGHULU SOELATIF dan DJALALOEDIN jatuh dalam perangkap pasukan Kolonial Belanda, akhirnya ditahan dan diperiksa/diselidiki. Tertangkapnya dua orang pimpinan pejuang tersebut dikarenakan usaha kedua pejuang tersebut untuk menyeludup ke dalam tangsi (benteng) pada malam hari untuk membuat keonaran di dalam tangsi, telah diketahui oleh spion (mata-mata) Belanda dan melaporkannya kepada pimpinan pasukan Kolonial Belanda, VAN OIJEN.
Para pejuang yang bersatu, hampir semuanya para tokoh agama (haji) yang berpusat di SUNGAI
Pasukan Kolonial Belanda terus mengadakan
operasi/ekspedisi, dan mereka menganggap usaha untuk melumpuhkan para pejuang
itu seakan-akan enteng, mudah saja. Namun apa sebaliknya, dalam pertempuran
tersebut banyak berjatuhan korban, ditandai jatuhnya seorang perwira dan
beberapa prajurit dari pasukan Kolonial Belanda.
Pada waktu subuh tanggal 15 September 1860, sudah
disiapkan satu datasemen pasukan oleh Kolonial Belanda sebanyak 60 orang.
Mereka terbagi dalam 3 peleton di bawah komando VAN EMDE, VERSPIJCK, dan VAN
der WIJCK untuk melaksakan perintah penangkapan terhadap para pejuang. Tapi
rencana tersebut tidak diberitahukan kepada para prajurit pasukan Belanda,
kecuali para perwira saja. Ketika hendak berangkat, rencana tersebut baru
diberitahukan kepada para prajurit Belanda. Mendengar rencana untuk menangkap
para pejuang, para prajurit Belanda menjadi cemas, karena sudah tidak asing
lagi bagi mereka bahwa pertempuran dengan para pejuang pasti akan terjadi dan
berlangsung seru. Para pejuang tidak akan
mundur dan menyerah begitu saja. Para pejuang
akan bertempur sampai tetes darah penghabisan, karena mereka dipimpin oleh para
ulama-ulama yang sangat fanatik dan meyakinkan para pejuang bahwa perlawanan
terhadap musuh wajib hukumnya. Untuk menghilangkan kecurigaan para pejuang,
para prajurit pasukan Kolonial Belanda tidak berani meniup terompet dan tidak
menyentuh genderang. Mereka mengganti isyarat untuk terjun ke medan pertempuran hanya dengan kedipan mata
dari pimpinan saja.
Setelah mengadakan pengamanan, pasukan Belanda
mengadakan penyerangan terhadap para pejuang, dengan menyusup melalui padang alang-alang dan
tanah persawahan menuju sarang persembunyian para pejuang.
Dalam penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda di bawah komando VAN
EMDE. VAN EMDE dianggap oleh para pasukan Belanda sebagai seorang pimpinan yang
akan membawa kemenangan, karena VAN EMDE sering membawa kemenangan seperti yang
pernah terjadi pada pertempuran di KELUA, KARANGAN PUTIH, MUNGGU FAJAR, dan
lain-lain. Selain itu juga VAN EMDE mempunyai taktik perang yang cukup tinggi,
dan juga merupakan seorang komandan yang gagah berani.
Pada saat penyergapan tersebut, tiba-tiba ada
pertanyaan dengan suara yang sangat keras oleh seorang pejuang. VAN EMDE merasa
bahwa teguran itu sangat kasar dan memberikan peringatan kepada para pejuang
bahwa tindakan itu sangat kurang ajar. Peringatan VAN EMDE dijawab oleh para
pejuang dengan tindakan meminta maaf atas ucapan mereka. Para
pejuang menjelaskan kenapa mereka harus berbuat demikian, karena orang tua
mereka HAJI ABDULLAH seorang yang tunduk kepada Goebernemen, pada saat
melakukan ibadah sembahyang dengan tidak terduga-duga telah kena telawang dan
luka. Oleh karena itu orang tua kami terpaksa harus dirawat di rumah dan dalam
keadaan yang serba tidak aman dan tentram sekarang ini, kami harus sangat
hati-hati, tetap waspada dan siap siaga, karena itulah secara berganti-ganti
kami menjaga orang tua kami yang sedang sakit.
VAN EMDE tidak merasa puas dengan alasan-alasan
yang diberikan para pejuang, lalu dia kembali bertanya siapakah sebenarnya
mereka? Para pejuang kembali memberikan
jawaban bahwa mereka adalah: HAJI SINGAT dan JOESIP beserta 2 orang pengikut.
Mendengar semua itu VAN EMDE menganggap mudah
untuk menyergap keempat para pejuang itu. Namun, VAN EMDE juga berpikir kalau
dia menyergap para pejuang itu sekarang maka akan sulit mencapai tujuan akhir.
Di samping itu pula, para pejuang pasti akan mengadakan perlawanan dan
memberikan tanda alarm kepada para pejuang lainnya.
Oleh karena itu, VAN EMDE tetap tenang-tenang
saja dan berkata kepada para pejuang (penjaga), “Beritahukan orang tua kamu
(para pejuang) atas kedatangan saya dan bahwa saya Tuan A.R. VAN Oijen
mengetahui atas musibah yang menimpa Haji yang sedang memerlukan pertolongan!
Karenanya kami bermaksud membawanya ke rumah Tuan Regent di Amuntai dan
mengadakan pengobatan sebaik-baiknya di sana ,
mengingat sangat sulit bagi tuan dokter untuk menempuh jarak yang begitu jauh,
pulang pergi ke Sungai Malang setiap hari.”
Mendengar seruan dari VAN EMDE, Haji Sirat dan
kawan-kawan dapat menerimanya, dengan diikuti pasukan Belanda, para pejuang
menuju ke rumah kediaman orang tuanya. Sementara itu jumlah para pejuang telah
bertambah dari 4 orang menjadi 11 orang.
Setibanya di rumah pertama (kampong ini hanya
terdiri dari 3 buah rumah saja), maka VAN EMDE memerintahkan kepada Letnan
VERPSIJCK untuk terus berjalan melewati rumah-rumah itu dan dengan diam-diam
mengadakan barikade/stelling pada sebelah kanan dan bagian belakangnya, terdiri
dari 20 prajurit dan lain-lain anggota pengangkut.
Perintah yang sama juga diberikan kepada VAN der
WIJK untuk menutup bagian sebelah kiri lainnya dengan ketentuan, bahwa dia sama
sekali tidak boleh meninggalkan pos itu untuk menghindari kemungkinan serangan
para pejuang dari belakang. Dengan demikian yang langsung di bawah pimpinan VAN
EMDE hanya terdiri dari 1 peleton saja.
Selanjutnya VAN EMDE menuju pelataran rumah
kediaman HAJI ABDULLAH, dikawal dengan 15 bayonet dan beberapa opas yang telah
diperbantukan kepada VAN EMDE oleh pemerintah sipil di Amuntai. Rumah itu
dibangun di atas tiang yang cukup tinggi dan terdapat 11 orang laki-laki, serta
4 orang wanita, dan kemungkinan llebih banyak lagi penghuninya dari apa yang
telah didengar dari luar.
Beberapa di antara beberapa para pejuang mencoba
menerobos menghilang dari pintu sebelah sisi rumah, namun usaha tersebut dapat
dicegah oleh VERPSIJCK. Jumlah yang ada sekarang adalah 19 orang Banjar, di
antaranya 7 orang haji yang masih muda, berperawakan tegap dan bersenjatakan
senapang.
VAN EMDE melalui perantara seorang opas
menyampaikan keinginan untuk bertemu dengan HAJI ABDULLAH yang sudah tua dan
sedang sakit, bahwa VAN EMDE bermaksud untuk membawa HAJI ABDULLAH ke kota Amuntai dengan
mempergunakan tandu. Pada mulanya HAJI ABDULLAH bersedia diangkut dan VAN EMDE
disertai oleh 4 orang pembantunya mendekati tempat pembaringan HAJI ABDULLAH yang
menerimanya dengan wajah yang cemas dan dendam di sisinya.
Sesudah berbicara beberapa patah kata, maka VAN
EMDE menuju ke luar ke serambi rumah muka, di mana dia terlibat dalam
percekcokan dengan anak buah HAJI ABDULLAH yang menentang sekeras-kerasnya atas
pengangkutan orang tua mereka ke Amuntai. Dengan cara tenang VAN EMDE berhasil
membujuk mereka dan mereka setuju mengawal orang tuannya, disertai lagi dengan
seseorang yang bernama MAT NASSIR. Kemudian berkatalah HAJI JOESIP, “Kalau
demikian, baiklah dan dipersilahkan mengangkatnya!”
Sementara itu secara diam-diam VERPSIJCK dan VAN
der SPIJK berhasil merapatkan para prajuritnya, sehingga terkurunglah keluarga
HAJI ABDULLAH dan tidak mungkin lolos lagi. VERPSIJCK tetap siap sedia dan
berdiri tidak jauh dari beberapa langkah dengan VAN EMDE.
Keadaan sunyi, tetap mendebarkan. Dikawal oleh
seorang sersan Belanda dan 2 prajurit, masuklah para pengangkut ke ruangan
dalam dengan membawa tandu yang telah dipersiapkan. VAN EMDE sendiri bersama 15
orang prajuritnya yang siap tempur berdiri di pelataran muka. Saat-saat yang
menenentukan akan tiba. Semua orang yang ada di sana memandang kea rah luar dan dari raut
muka masing-masing terlihat kegelisahan. Hanya komandan VAN EMDE kelihatan
tenang-tenang saja dan dengan klewang terhunus VAN EMDE berbicara dengan
beberapa haji.
HAJI ABDULLAH dibawa keluar kamar dengan tandu.
Di sini dia berpamitan dengan para pengikutnya, karena yang siap mengikuti atau
mengawal hanya 2 orang anaknya saja dan disertai oleh MAT NASSIR.
Ketika tandu akan diturunkan dari pelataran muka,
HAJI ABDULLAH berpikir kembali dan memanggil putranya yang bernama JOESIP agar
mendekatinya. Sesudah berbisik-bisik dan sesudah itu JOESIP mendekati VAN EMDE
dengan tiba-tiba HAJI ABDULLAH sambil membacakan suatu ayat dari AL QUR’AN,
memeberikan komando atau perintah untuk mengamuk.
Seketika itu juga ke 19 orang pejuang muslim yang
sangat fanatik ikut mencabut klewang-klewang dan keris-keris mereka
masing-masing dan menggempur para prajurit pasukan Belanda. Terjadilah
pertempuran yang luar biasa sengitnya, dan sangat kejam. Suatu perang-tanding
yang belum pernah terjadi sebelumnya pada pertempuran-pertempuran terdahulu.
Pada saat permulaan telah dilancarkan dua pukulan
klewang pada kepala VAN EMDE, serangan itu ditangkis oleh VAN EMDE dengan
tangan dan mengakibatkan tangannya terputus sama sekali. Sesudah itu para
pejuang kembali melancarkan pukulan ketiga terhadap VAN EMDE, namun VAN EMDE
berhasil mencabut klewang dan dapat melumpuhkan para pejuang dengan pukulan
pada bahu para pejuang. Dengan secepat kilat 2 orang haji menyerbu untuk
menolong temannya, sedangkan VERSPIJCK membela mati-matian VAN EMDE. Melihat
bahwa rasanya tidak dapat terus bertahan, maka dengan cepat VERSPIJCK menarik
VAN EMDE dari pertarungan di pelataran itu, sambil membela diri mati-matian.
Dengan pertolongan prajurit DE LATER maka
VERSPIJCK berhasil melumpuhkan kedua orang pejuang, namun tidak dapat mencegah
VAN EMDE menderita tusukan sebanyak 7 mata luka, di antaranya 2 luka dari
pelor. Sementara VERSPIJCK sendiri menderita luka-luka ringan saja.
Pada saat-saat yang singkat, para pejuang masih
mencoba menjatuhkan tusukan keris terakhir pada VAN EMDE, tetapi dengan segala
daya yang masih tersisa VAN EMDE tetap berjuang membela diri sampai ke tepi
pelataran rumah sambil memegang seorang pejuang sekuat tenaga. Sewaktu salah
satu tangan seorang pejuang keluar, maka satu pukulan klewang dari VERSPIJCK,
tangan itu langsung putus. Sedangkan seorang prajurit lainnya dengan tusukan
bayonet pada mulut pejuang yang putus tangannya tadi, pejuang tersebut langsung
mati seketika itu juga.
Di lain pihak semua prajurit dari VAN der WIJCK
tidak dapat berbuat apa-apa, tapi masih dapat berhasil menyeret membawa keluar
VAN EMDE dalam keadaan masih hidup, namun penuh dengan 9 mata luka. Pada ketika
itu VERSPIJCK mengambil alih komando dan menyerbu ke medan pertempuran yang masih berjalan dengan
serunya, bertanding satu lawan satu, suatu pertandingan mati-matian terbentang
di hadapannya. Seorang letnan muda bernama TIERBACH, berumur 19 tahun sedang
dikerumuni oleh para pejuang dan berhasil menewaskan semua pejuang dengan
keberanian yang luar biasa. TIERBACH tetap tidak mendapat cidera dan keluar
sebagai pemenang.
Seorang yang bernama WIROSENTIKO, yaitu mandur
dari orang-orang hukuman yang menyertai pasukan ekspedisi tersebut yang hanya
bersenjatakan sebilah keris, bertarung melawan 2 orang pejuang. WIROSENTIKO
mendapatkan pukulan klewang dan tusukan keris dari dua orang pejuang, namun
dari cucuran darah yang mengalir dari salah seorang pejuang ternyata
WIROSENTIKO telah sempat juga mempergunakan kerisnya dan tusukan keris yang
kedua diarahkan ke perut haji, maka haji tersebut terkulai mati karenanya.
Sedangkan haji lainnya yang belum terluka menyerbu dengan ganasnya ke arah
WIROSENTIKO, sehingga WIROSENTIKO terpaksa mengundurkan diri sampai ke tepi
pelataran. Di sini WIROSENTIKO kehilangan keseimbangan, dan kesempatan ini pula
dipergunakan orang Banjar untuk membenamkan kerisnya kea rah WIROSENTIKO. Namun
meskipun dia sudah sangat payah sekali akibat banyaknya darah yang mengalir,
tapi dia tidak menyerah begitu saja, ia menjepit tangan kana seorang pejuang
sekuat-kuatnya.
Sekarang merupakan pertarungan yang sangat
menentukan dan masing-masing mencoba membinasakan lawannya. VERSPSIJCK yang
melihat keadaan sangat gawat ini dengan sekali loncatan dan sekali pukulan
klewang kea rah orang Banjar sehingga menewaskan orang Banjar tersebut, namun
pada saat terakhir orang Banjar tersebut sempat melemparkan klewang ke arah
VERPSIJCK.
Ke-4 wanita yang selama terjadi perkelahian
kelihatan tenang-tenang saja dan tinggal di ruangan dalam, menarik perhatian
VERPSIJCK sehingga dia merasa kasihan kepada mereka. Untuk menyelamatkan
mereka, ditempatkanlah seorang penjaga di dekat pintu keluar, kemudian
VERPSIJCK menuju kea rah yang luka-luka. VAN EMDE masih bernafas, 8 prajurit
luka berat, 2 orang meninggal. Dan kalau kita mengarahkan pandangan ke arah
mayat-mayat orang Banjar, kita pasti dapat membayangkan betapa sengitnya
pertarungan yang baru saja terjadi di tempat itu.
Rupanya tragedy ini tidak hanya sampai di sini,
karena tiba-tiba terdengar pekikan-pekikan seru dan mengerikan dari ke-4 wanita
tadi, yang dengan klewang dan keris terhunus menyerbu ke penjaga pintu. Sebelum
sempat memberikan pertolongan, si penjaga pintu tadi langsung tewas dengan 17
mata luka.
Meskipun VERPSIJCK telah berusaha keras
mengendalikan balas dendam dari para prajurit, namun akhrnya ke-4
wanita/perempuan itu dibunuh, dibinasakan juga. Jumlah korban pejuang menjadi 24
orang, sedangkan di pihak Belanda terdiri dari 3 orang meninggal, 11 orang luka
berat, 2 orang di antaranya meninggal kemudian.
Pada sorenya sekitar pukul setengah dua, pasukan
Belanda sudah kembali di Amuntai. VAN EMDE kemudian meninggal dalam pelukan teman-temannya
di Amuntai. Kematian VAN EMDE merupakan suatu kerugian yang sangat besar untuk
tentara dan tanah air Belanda.
-oOo-