Kesultanan Kotawaringin
Posted: Jumat, 28 September 2012 by Rusman Effendi in
0
Kesultanan Kotawaringin,
satu-satunya kerajaan yang pernah ada di Prop Kalteng, bahkan masih terpelihara
dengan baik. Bahkan semasa penjajahan Belanda, daerah ini luput dari rencana
pengkristenan Dayak Besar. Hingga kini kita dapat melihat dan menyaksikan situs
beserta benda-benda peninggalannya. Ternyata pendiriannya bermaterai darah
manusia, termasuk dalam Panti Darah Janji Samaya.
Menyusuri
Sungai Arut sepanjang ratusan kilometer yang membelah Kota Pangkalan Bun,
sampailah kita di Kecamatan Kotawaringin Lama dengan Astana Al Noorsari-nya
yang masih berdiri kokoh. Astana Al Noorsari adalah cikal bakal Kesultanan
Kotawaringin sebelum pusat kekuasaannya pindah ke Pangkalan Bun tahun 1679
M/1171 H.
Di daerah ini, kita juga masih akan menemukan catatan sejarah lainnya. Terdapat makam Sultan-sultan Kotawaringin yang bertulisan huruf Arab Melayu, makam Kyai Gede seorang tokoh penyebar agama Islam sekitar abad ke 16. Kita juga dapat menemukan bangunan Masjid Djami Kotawaringin yang masih terbilang kokoh, meski hampir seusia ketika Kyai Gede menyebarkan Islam di daerah ini.
Dan,
menapak tilas satu-satunya kerajaan yang pernah ada di propinsi Kalteng ini,
memerlukan waktu cukup panjang, satu setengah jam dari Kota Pangkalan Bun
dengan transportasi speed boat. Tak cuma itu, karena membicarakan
Kesultanan Kotawaringin yang masih memiliki benang merah dengan kerajaan
Banjar, tidak boleh tidak harus merunut sejarah kerajaan Banjar hingga
kekuasaan Belanda turut bercokol di daerah ini.
Seperti
dituturkan Gusti Djendro Suseno yang masih keturunan Raja ke VII Gusti Sultanul
Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan, keturunan Raja Banjarlah yang mula
pertama membangun Kesultanan Kotawaringin.
"Kesultanan
Kotawaringin memiliki benang merah sejarah sangat kuat dengan Kerajaan Banjar,
hal itu tak dapat dinafikan," ungkap Djendro Suseno yang juga anggota DPRD
Tk II Kotawaringin Barat dari Fraksi Golkar. Namun dalam perjalanan
selanjutnya, tak terelakkan terjadi asimilasi atau percampuran dengan
masyarakat setempat yang notabene adalah Suku Dayak.
Jadi
menurutnya, tak dapat dipungkiri, masyarakat yang kini bermukim memenuhi
seantero Kab Kotawaringin Barat, sebagian besar adalah juga anak cucu keturunan
Suku Dayak. "Untuk mempererat jalinan kerjasama dan memantapkan kekuasaan,
kala itu anak-anak kepala suku atau demang diambil sebagai istri mendampingi
sang raja walau posisinya bukan sebagai istri pertama," imbuhnya.
Pangeran Adipati Anta Kasuma
Adalah
Sultan Musta'inubillah Raja Kerajaan Banjar yang berputra lima orang,
diantaranya empat orang laki-laki yaitu Pangeran Adipati Tuha, Pangeran Adipati
Anum, Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional), Pangeran Adipati Anta Kasuma dan
Puteri Ratu Aju. Karena masing-masing Putra Mahkota berminat menjadi Sultan
sebagai pemegang tertinggi tampuk kerajaan, membuat sang ayah harus berpikir
bijaksana.
Akhirnya,
merasa bukan putra tertua, Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memiliki
keberanian dan semangat tinggi untuk menjadi seorang pemimpin, bertekat pergi
mencari tempat dan mendirikan kerajaan baru. Dan memang, Pangeran Adipati Tuha
lah sebagai putra tertua yang akhirnya memegang tampuk kekuasaan kerajaan
Banjar.
Dengan
restu kedua orang tua serta pejabat-pejabat Kerajaan Banjar, berangkatlah dia
beserta pengawal dan beberapa perangkat peralatan kerajaan. Menggunakan perahu
layar kerajaan, bertolaklah mereka menuju arah barat menyusuri pesisir pantai.
Di sepanjang jalan yang mereka lalui, banyak tempat yang disinggahi antara lain
Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit dan Kuala Pembuang.
Rombongan
Pangeran Adipati meneruskan pelayaran ke arah barat, sampai akhirnya mendarat
di sebuah daerah, dinamakan Kuala Pembuang. Daerah ini sudah ada penghuninya
yang juga berkiblat di bawah kepemimpinan Kerajaan Banjar, sehingga kehadiran
rombongan yang bermaksud mendirikan kerajaan baru ini ditolak oleh masyarakat
setempat.
Panti Darah Janji Samaya
Tanpa
mengenal putus asa, dengan semangat tinggi rombongan Pangeran Adipati kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini, perjalanan tidak lagi menyusuri pantai tapi
menuju hulu sungai hingga akhirnya sampai ke sebuah desa yang dinamakan Desa
Pandau. Walau Desa Pandau telah dihuni masyarakat Suku Dayak yang dikenal
dengan Suku Gambu, Arut, Anom dan lainnya sebanyak sembilan macam suku, di
bawah kepemimpinan Demang Petinggi di Umpang menerima kehadiran rombongan
Pangeran Adipati.
Seperti
juga tertulis dalam catatan sejarah "Sekilas mengenang lahirnya Kerajaan
Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat" yang diterbitkan Humas dan
Penerangan Setwilda Kobar 2001, Demang Petinggi sebagai kepala Suku Dayak
menyerukan pada rakyatnya agar menerima rombongan Pangeran Adipati. Seruan
Demang Petinggi ini didasarkan keinginan untuk mengangkat Pangeran sebagai raja
tapi dengan syarat raja harus memperlakukan mereka bukan sebagai hamba, tetapi
sebagai pembantu utama dan kawan terdekat atau sebagai saudara yang baik.
Rakyat tidak akan menyembah sujud kehadapan Pangeran Adipati.
"Usulan
ini ditimbang dan diterima baik oleh Pangeran dan seluruh rombongan," ujar
Djendro diiyakan Gusti Rasyidin yang juga anak keturunan kesultanan ini.
Selepas persetujuan itu, dari pihak Suku Dayak Arut mengusulkan agar perjanjian
ini bukan sekedar di bibir saja, melainkan harus bermaterai darah manusia yang
diambil dari seorang dari Suku Dayak Arut dan seorang dari rombongan Pangeran
Adipati Anta Kasuma.
"Perjanjian
itu dinamakan Panti Darah Janji Samaya yang berarti perjanjian yang dikokohkan
dengan tetesan darah yang bercampur jadi satu," ungkap Gusti Rasyidin yang
ketika wawancara berlangsung ditemani Nurhadi dan Ahmad Yusuf di Astana Al
Noorsari Kotawaringin Lama.
Dengan
tersendat-sendat, coba dia paparkan bagaimana perjanjian bermaterai darah itu
berlangsung. Menurutnya, memang agak sukar diterima oleh akal, hanya demi
sebuah janji harus mengorbankan dua manusia. Namun demikianlah adat yang
berlaku, maka masing-masing kedua belah pihak menarik salah seorang pengikutnya
untuk dijadikan korban perjanjian.
Sebelum
kedua calon korban berdiri siap untuk dikorbankan, mereka mengambil sebuah batu
yang harus ditancapkan ke tanah. Batu ini sebagai bukti atau perlambang turun
temurun saksi sepanjang masa telah terjadi ikatan persaudaraan antara Suku
Dayak dengan rombongan Pangeran Adipati dari Kerajaan Banjar. Dengan melakukan
upacara adat yang hikmat, kedua calon korban berdiri di samping batu saksi yang
kini dikenal dengan "Batu Pertahanan". Calon korban dari Suku Dayak
berdiri menghadap ke hulu asal datangnya dan calon korban dari rombongan
Pangeran berdiri menghadap ke hilir menunjukkan asal kedatangannya.
Selesai
upacara sumpah setia, Kepala Suku Dayak mencabut mandaunya dan ditusukkan
menembus ke dada korbannya, darah pun memancur deras. Korban dari pihak
Pangeran Adipati pun ditusuk sehingga kedua darah korban ini memancur bersilang
dan menetes jatuh menjadi satu membasahi tanah.
"Percampuran
darah yang disaksikan kedua pihak inilah yang dimaksudkan untuk mempersatukan
segala rasa dan pikiran dalam mewujudkan rencana bersama, membangun
kerajaan," imbuh Rasyidin.
Terbentuk Kerajaan
Meski
telah disepakati perjanjian antara kedua belah pihak, namun Desa Pandau masih
dianggap belum cocok untuk membangun kerajaan baru. Kedua rombongan yang telah
terpadu dalam "Panti Janji Darah Samaya" milir mengikuti aliran
Sungai Arut, kemudian mudik Sungai Lamandau, mencari daerah paling pas untuk
membangun kerajaan. Akhirnya, sampailah mereka di daerah yang meyakinkan yaitu
Tanjung Pangkalan Batu yang kemudian hari dikenal sebagai Kotawaringin Lama.
Berhentilah rombongan dan untuk beristirahat mereka membuat rumah di atas air
yang biasa disebut "lanting".
"Ketika
Pangeran Adipati naik ke darat, bertemulah dia dengan Kyai Gede seorang ulama
penyebar agama Islam yang sudah lebih dulu tinggal di daerah itu," papar
Rasyidin. Dan menurutnya, atas usulan Kyai Gede jugalah masyarakat sekitar yang
dipimpin kepala suku, tidak perlu lagi membayar upeti ke Kerajaan Banjar, tapi
ke Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memimpin langsung Kerajaan Kotawaringin
sebagai raja pertamanya.
Kerajaan
Kotawaringin yang berbasis Islam dengan didukung Kyai Gede sebagai Mangkubumi
kerajaan, sebagaimana dipaparkan Gusti Djendro Suseno melakukan pencampuran
dengan masyarakat suku asli yang masih menganut agama nenek moyang dan ini
berlangsung hingga raja-raja berikutnya. Tercatat raja-raja yang berkuasa
setelah kepemimpinan Pangeran Adipati Anta Kasuma. Pangeran Mas Adipati putra
Pangeran Anta Kasuma yang menggantikan ayahndanya setelah wafat, berkuasa dari
920-941 H. Kemudian Pangeran Panambahan Anum (942-975 H), Pangeran Prabu Anum
(975-1005 H), Pangeran Adipati Anum (1005-1050 H), Pangeran Penghulu (1050-1069
H), Gusti Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan (1069-1116 H), Gusti
Musaddam Gelar Pangeran Ratu Anum Kusuma (1116-1171 H).
Namun
dalam perjalanan selanjutnya, ketika ibukota kerajaan pindah ke Pangkalan Bun
di bawah kepemimpinan Pangeran Ratu Imanuddin, yang menurut Djendro Suseno,
pemerintahannya sangat pro pada pihak Belanda. Sehingga hubungannya dengan orang-orang
Kotawaringin Lama menjadi tidak harmonis, karena Kotawaringin lama sangat
kontra dengan penjajah Belanda.
Setelah
kepemimpinan Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin, menyusul bertahta Pangeran Ratu
Achmad Hermansyah (1265-1281 H), Gusti Muhammad Sanusi Gelar Pra kasuma Yudha
(1265-1281 H), Pangeran Pakusukma Negara (1281-1325 H), Pangeran Samudra Gelar
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (1325-1332 H) dan Pangeran Muhammad Gelar Pangeran
Ratu Kasuma Anum Alamsyah (1332-1350 H).
"Pemindahan
ibukota kerajaan ke Pangkalan Bun ini yang dijadikan sebagai titik tolak
lahirnya Kabupaten Kotawaringin Barat, tahun 1679 M yang terbagi atas Kec Arut
Selatan, Delang, Lamandau, Kotawaringin Lama, Arut Utara, dan Balai Lama,"
lanjutnya bernada miris karena sejarah yang sepertinya tidak berpihak pada
pendahulunya.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sebelum Tahun 1950
Peranan Di Bidang
Pemerintahan
Kesultanan Kotawaringin berdiri
lebih dari tiga abad dengan satu kali perpindahan ibu kota dari Kotawaringin Lama ke Sukabuni Indra
Sakti yang kemudian dinamai Pangkalan Bu’un. Sultan pertama Kesultanan
Kotawaringin adalah Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah
dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin. Beliau memerintah dari tahun 1615-1630
M dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede.
Di masa pemerintahan sultan pertama ini disusun undang-undang Kesultanan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntala, selain itu di bangun Istana Luhur sebagai keratin Kesultanan Kotawaringin. Sultan juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (rumah panglima Perang) Gadong Asam, selain itu untuk keperluan perang dibangun Pa’agungan sebagai tempat menyimpan senjata dan beliau juga membangun surau serta paseban. (Bappeda : 2004 : 9-10)
Di masa pemerintahan sultan pertama ini disusun undang-undang Kesultanan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntala, selain itu di bangun Istana Luhur sebagai keratin Kesultanan Kotawaringin. Sultan juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (rumah panglima Perang) Gadong Asam, selain itu untuk keperluan perang dibangun Pa’agungan sebagai tempat menyimpan senjata dan beliau juga membangun surau serta paseban. (Bappeda : 2004 : 9-10)
Selain pembangunan fisik sultan
juga menentukan batas-batas wilayah Kesultanan Kotawaringin yaitu :
1)
Sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sarang Pruya
(Kerajaan Sintang).
2)
Sebelah timur berbatasan dengan sengai Mendawai.
3)
Sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Simbar
(Kerajaan Matan).
4)
Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa. (Bappeda :
2004 : 10)
Sultan kedua adalah Pangeran Mas Adipati yang memerintah dari tahun 1630-1655 M dengan Mangkubumi Kyai Gede yang kemudia digantikan oleh Dipati Gading. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Panembahan Anum yang memerintah dari tahun 1655-1682 M dengan Mangkubumi Dipati Gading. Sultan Kotawaringin yang keempat adalah Pangeran Prabu yang memerintah dari tahun 1682-1699 M dengan Mangkubumi Pangeran Dira. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Dipati Tuha yang memerintah dari tahun 1699-1711 M dengan Mangkubumi Pangeran Cakra. Sultan Kotawaringin yang keenam adalah Pangeran Penghulu yang memerintah tahun 1711-1727 M. Keseluruhan sultan dari yang kedua hingga yang keenam dimakamkan di Kotawaringin, penulis sendiri tidak menemui penjelasan yang banyak tentang sultan kedua hingga yang keenam. Menurut Lontaan dan Sanusi pada masa-masa itu kesultanan berjalan lancer, aman dan tentram tidak ada gangguan dari manapun.
Sultan Kotawaringin yang ketujuh
adalah Pangeran Ratu Bengawan yang memerintah dari tahun 1727-1761 M.
Pada masa pemerintahan beliau Kesultanan Kotawaringin mengalami masa keemasan
dengan melimpahruahnya hasil bumi dan lakunya hasil kerajinan dari Kotawaringin
di pasar regional. Sistem pemerintahan telah menugaskan beberapa menteri yang
mengepalai beberapa wilayah, seperti Menteri Kumai, Menteri Jelai dan lain
sebagainya. (Bappeda : 2004 : 11) Namun pada masa pemerintahan belaiu inlah
Kesultanan Kotawaringin diserahkan Kerajaan Banjar ke Hindia Belanda. Mulai
saat itulah pertanggungjawaban pemerintahan harus dilakukan kepada Kontrolir
Hindia Belanda.
Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha menggantikan Pangeran Ratu Bengawan sebagai sultan kedelapan, beliau memerintah dari tahun1761-1805 M dengan Mangkubumi Pangeran Tapa Sana. Pada masa beliau di bangun pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang) sebagai tempat mendidik putra-putri kesultanan.
Pada masa Sultan kesembilan Pangeran Ratu Imanudin ibu
Sultan Kotawaringin yang
kesepuluh adalah Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah dengan Mangkubumi Pangeran Paku
Syukma Negara yang memerintah dari tahun 1847-1862 M. Setelah Sultan kesepuluh
wafat beliau digantikan dengan Pangeran Paku Syuma Negara dengan Mangkubumi
Pangeran Prabunata yang memerintah dari tahun 1862-1867 M. Pangeran Ratu Anum
Kesumayuda kemudian menggantikan kedudukan sultan kesepuluh menjadi sultan
kesebelas dari tahun 1867-1904 M dengan dibantu Mangkubumi Pangeran Paku Sukma
Negara yang kemudian digantikan oleh Pangeran Mangku Prabu Nata, pada masa
beliau ini diselesaikan pembangunan mesjid Jami dan di bangun Rumah Mangkubumi.
Setelah beliau wafat terjadi
perebutan tahta karena beliau tidak memiliki anak laki-laki, akhirnya pihak
Hindia Belanda melalui Kontrolir Van Duve engambil keputusan yang berhak naik
tahta adalah keturunan dari Pangeran Imanudin. Sehingga Pangeran Paku Sukma
Negara naik tahta kembali yang memerintah dari tahun 1904-1913 M dengan dibantu
Mangkubumi Adipati Mangku Negara. Pangeran Paku Sukma Negara kemudian
mengangkat ketiga putranya Pangeran Bagawan menjadi Raja Muda, Pangeran Kelana
Perabu Wijaya Menjadi Perpatih dan Perdipati Menteri Dalam serta Pangeran
Mohamad Zen menjadi Penghulu.
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah bin
Pangeran Begawan diangkat menjadi sultan ketigabelas dengan Mangkubumi Pangeran
Adipati Mangkunegara yang memerintah dari tahun 1913-1939 M. Pengganti beliau
adalah Pangeran Ratu Sukma Alamsyah yang dibantu Mangkubumi Pangeran Adipati
Mangku, beliau memerintah dari tahun 1939-1948. Pada masa pemerintahan beliau
dilakukan perluasan wilayah kesultanan sebagai berikut :
a.
Di Kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk
pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka
dikenallah tempat itu dengan sebutan Sungai Bulin.
b.
Di Kampung Raja, membuka lokasi baru untuk tempat
pemukiman penduduk Kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan /
ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un atau
disebut juga Kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan Baru.
c.
Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang
Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jawa, sekarang menjadi
kelurahan Sidorejo. (Bappeda : 2004 : 18 )
Peranan Keturunan
Sultan Kotawaringin Di Bidang Kebudayaan
Di dalam bidang kebudayaan sejak
Kesltanan Kotawaringin beribukota di Kotawaringin Lama hingga dipindahkan ke
Pangkalan Bun para sultam-sultan yang memerintah membangun istana-istana dan
bangunan yang indah seperti istana Alnursari, mesjid Jami Kotawaringin dan
Istana Kuning atau Keraton Lawang Agung Bukit Indra Kencana yang bersifat
terbuka tanpa dilindungi benteng seperti di Jawa yang memiliki arsitektur
gabungan antara pengaruh jawa, banjar, melayu dan dayak.
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda terdapat hiburan sepreti Kelompok Musik Raja dan Pernaman Abdul Mulik Sejenis Komedi SaudiArabia . Dalam hasil wawancara penulis dengan Pangeran
Muasdjidinsyah tanggal 1 Desember 2007 dapat diketahui bahwa sejak dahulu
apabila ada peringatan hari-hari besar islam selalu diadakan pasar malam di
Lapangan Tugu, pada saat pasar malam tersebutlah ditampilkan
pertunjukan-pertunjukan kesenian khas daerah baik yang asli dari Kotawaringin
maupun dari luar daerah seperti :Jepen, Tirik, Mamanda, Ludruk, Ketoprak,
Ronggeng dan lain sebagainya. Mengenai orang-orang Tionghoa, pihak kesultanan
sengaja mengelompokkan mereka menjadi sebuah Pecinan di seberang sungai Arut
dan mereka tetap diberi kebebasan untuk mengembangkan budayanya sendiri.
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda terdapat hiburan sepreti Kelompok Musik Raja dan Pernaman Abdul Mulik Sejenis Komedi Saudi
Pada masa Pendudukan Jepang
kesenian daerah mulai di gali kembali. Untuk itu mereka mendirikan Keimin Bunka
Syidosyo (Badan Pusat Kebudayaan) yang bertugas menggalakkan hidupnya kesenian
rakyat. Hal ini didukung oleh pihak kesultanan dan para keturunan sultan
sendiri sehingga menumbuhkan kelompok-kelompok kesenian yang baru. Misalnya
saja, dalam waktu singkat bermunculan kelompok-kelompok sandiwara untuk
mementaskan sandiwara di desa-desa sekelilingnya. Dari segi lain dapat diambil
kesimpulan bahwa niat Pemerintah Pendudukan Jepang menumbuhkan kembali kesenian
tradisional adalah untuk menghibur tentara Jepang agar dapat mengobati
kerinduan kepada keluarga mereka di negaranya.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Ekonomi
Pada masa Pangerana Ratu Bengawan
(1727-1761 M ) Kesultanan kotawaringin mengalami masa keemasan, pada masa ini
hasil pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di eksfor keluar daerah.
Perdagangan hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat
laku di pasaran regional. Krena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu
perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin.
Kerajaan Kotawaringin yang di
bangun di awal abad ke 17 telah memacu pertumbuhan permukiman di sepanjang
sungai di daerah Kotawaringin Barat. Permukiman yang ada dipacu oleh domain
ekonomi bukan oleh domain politik yang membentuk kota-kota agrasi seperti di
Jawa. Permukiman ini menggunakan sungai sebagai alat transfortasi dan elemen
primer kota sehingga Pangkalan Bun sebagai
ibukota Kesultanan Kotawaringin berkembang menjadi kota perdagangan yang menggunakan sungai
sebagai sarana utama.
Pada waktu sultan ke 13 bertahta
sekitar tahun 1930-an, hubungan antar wilayah di muara sungai atau tepi pantai
ke daerah pedalaman sudah dapat di tempuh dalam waktu lebih singkat. Ini karena
adanya kapal-kapal dagang orang-orang Tionghoa yang diperbolehkan oleh pihak
kesultanan untuk mengangkut barang dagangan dan penumpang.
Pada masa Pendudukan Jepang di
buat pabrik-pabrik yang melibatkan kerabat istana seperti : pabrik kapal di
Sukamara dan pabrik pengolahan kulit bakau di Kumai. Pembangunan
bangunan-bangunan untuk kepentingan Jepang juga dilakukan, serta pembukaan
kembali Lapangan Terbang yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Pangeran
Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan
pendidikan terutama untuk kerbat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut
adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau
Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).
Pada masa pemerintahan Pangeran
Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah
desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan
yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu
Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan,
Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
Menjelang kedatangan Jepang,
sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta yaitu
yayasan Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi
dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut
orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa
Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.
Ketika Jepang masuk, mereka
menemukan sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang
digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih semua
sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Pelajaran bahasa Jepang dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak
sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera
mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah
upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut Taiso. (Bappeda :
2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara
Jepang yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepang juga
semakin luas seperti tari-tarian ala Jepang dan sekolah-sekolah Rakyat juga
diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada
hari-hari besar bangsa Jepang. (Bappeda : 2005 : 38).
Peranan Keturunan Sultan
Kotawaringin Sesudah Tahun 1950-1960
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang
Pemerintahan
Setelah daerah Swapraja
Kotawaringin resmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950,
daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit
yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja
Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun
sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin
semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Dengan berakhirnya kekuasan
kesultanan, maka para bangsawan dan keturunan sultan tidak lagi memiliki
jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Hanya beberapa keturunan Sultan dan
bangsawaan yang sebelumnya sudah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, tetap
dipekerjakan sebagai pegawai seperti gusti Hamidan, Gusti Majdhan, Gusti M.
Taib dan lain-lain. Para bangsawan lainnya
seperti Pangeran Aria Ningrat yang dulunya bekerja sebagai kepala distrik
kembali kemasyarakat. (hasil wawancara dengan H. Tengku A. Zailani : Senin 22
November 2007)
Menurut Mastoer bin Atjil (wawancara, Jumat, 16 Nopember 2007), pada masa perubahan kekuasaan tersebut perekrutan pegawai negeri saat itu banyak yang diambil dari para bangsawan dan keturunan sultan. Contohnya adalah Pangeran Perdana yang merupakan anak sultan diangkat langsung menjadi pegawai negeri, dan ketika itu mayoritas penduduk kedarahan raja yang kebanyakan dari kaum bangsawan, dan keturunanya bekerja sebagai pegawai di pemerintahan.
Menurut Mastoer bin Atjil (wawancara, Jumat, 16 Nopember 2007), pada masa perubahan kekuasaan tersebut perekrutan pegawai negeri saat itu banyak yang diambil dari para bangsawan dan keturunan sultan. Contohnya adalah Pangeran Perdana yang merupakan anak sultan diangkat langsung menjadi pegawai negeri, dan ketika itu mayoritas penduduk kedarahan raja yang kebanyakan dari kaum bangsawan, dan keturunanya bekerja sebagai pegawai di pemerintahan.
Daerah Swapraja Kotawaringin
sebagai bagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil
Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka
pada waktu itu terpilih : M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi, Ahmad Said
dari BPRI, Dahlan Abas dari partai Masyumi, M. Sahloel dari PNI, Gusti M.
Sanusi dari PNI, Djainuri dari SKI, I. Ismail dari Parkindo. (Lontaan dan Sanusi:
1976 : 91) Dalam susunan wakil rakyat yang terpilih tersebut terlihat hanya
Gusti M. Sanusi yang merupakan kerabat kesultanan yang terpilih dalam DPRDS.
Namun ketika Swapraja
Kotawaringin menjadi Kabupaten sendiri yang disahkan dengan undang-undang No :
27 tahun 1959 tentang pembagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dapat
terlihat banyak diantara kerabat sultan yang menduduki jabatan sebagai anggota
DPRDGR, seperti : P. Arianingrat, Gst. Abdul Gani, Gst. Kiting, Gst.
Hermansyah, Mas Karim DW, dan H. A. MAS Alipandi. Masuknya beberapa nama ini
dalam DPRDGR menandakan mereka juga mulai berkecimpung didalam bidang
politik.
-oOo-