Hasanuddin HM, Pahlawan Ampera Banjarmasin
Posted: Kamis, 29 Desember 2011 by Rusman Effendi in
Tak Ada Pilihan Lain, Menjadi
Bangsa Indonesia atau Bangsa Asing
(Banjarmasin, 10 Pebruari 1966)
AKSI tiga tuntutan rakyat atau Tritura, memang sebulan lebih lambat terjadinya dari Jakarta . Namun cerita heroisme kaum muda terutama mahasiswa dan pelajar, juga terjadi di Banjarmasin pada Pebruari tahun 1966. Dan inilah demonstrasi terbesar Banua yang terjadi pada masa rezim orde lama Presiden Soekarno.
Secara umum ada 3 tuntutan yang diperjuangkan. Pertama; turunkan harga barang. Kedua; Bubarkan PKI. Dan ketiga; bersihkan kabinet dari antek-antek komunis. Secara khusus di Banjarmasin , justru ada 2 tuntutan tambahan yakni stabilkan harga dan adili para tengkulak (cukong sembako).
Mengapa? “Karena saat itu perekonomian di Banjarmasin sangat menyedihkan. Di mana-mana orang antre beli beras, gula dan minyak tanah. Harga sembako pagi sekian, sorenya bisa naik 300 persen. Bahkan tingkat inflasi sangat tinggi mencapai 600 persen, “ papar Yusriansyah Aziz, eskponen 66 --sekarang ekonom Unlam.
Lumpuhnya sektor perekonomian, merembet ke situasi politik yang disusupi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banjarmasin. Sejumlah pentolan aktivis 66, melihat indikasi ini terekam dari Siaran Radio Swasta Viking Hsinhua di Pecinan (sekarang Jl.Pierre Tendean-seberang Siring Sabilal).
“Hampir setiap hari, radio ini menyuarakan cerita propaganda dengan paham komunis. Di malam hari, mereka kerap menggelar pertunjukkan teater dan nyanyian-nyanyian untuk menghimpun massa ,” kata Yusriansyah Aziz, dosen ekonomi Unlam.
Kebijakan pemerintah yang mendua dengan melegalitaskan, status kewarnegaraan Indonesia dan Cina kala itu, juga mengumbar kecemburuan warga sipil. Kecurigaan aktivis angkatan 66 Banjarmasin pun memuncak terhadap eksistensi Gerakan 30 S/PKI di Banua, setelah Ketua Partai Komunis wilayah Kalsel, Aman Hanafiah mendesak Panglima Amir Mahmud, agar masuk Dewan Revolusi, bentukan Kolonel Untung.
Di internal Kampus Unlam, keberadaan organisasi mahasiswa juga “diadu-asah.” Dari isu aktivis KAMI yang dituding anti revolusi, hingga penolakan mahasiswa terhadap Gerakan Komunis yang tidak disambut baik pemerintah. Akumulasi rentetan peristiwa ini, membuat mahasiswa dan pelajar tak ada pilihan selain turun ke jalan.
10 Pebruari 1966, seluruh kekuatan rakyat di Banjarmasin berkumpul di lapangan kantor gubernur –sekarang kawasan Sabilal Muhtadin. “Jumlahnya ada sekitar 15 ribuan orang saat itu. Mereka berasal dari sekitar 16 organisasi mahasiswa, pelajar dan kemasyarakatan, kecuali GMNI yang tidak ikut,” kata Yusriansyah Aziz, salah satu aktor demonstran. (*)
SEHARI sebelum demo digelar, Hasanuddin Bin Haji Madjedi, begitu gembira mendengar senior-seniornya seperti Mas Abi Karsa, Gusti Rusdi Effendi, Yusriansyah Aziz, Djok Mentaya dan lainnya akan bertolak menggelar demonstrasi.
Di rumahnya di Jalan Batu Piring, nomor 21 Banjarmasin, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unlam tingkat persiapan ini, meminta izin kepada sang ayah Haji Madjedi, seorang pegawai kantor gubernur.
“Bah…hari ini ulun handak umpat demo. Mun sudah demo ni bah…harga baras wan gula turunan,” kata Hasanuddin HM, kutip kakaknya Hj. Siti Rubiah. Entah membuang perangai atau saking semangatnya, sebelum turun dari rumah berkali-kali Asan –biasa dipanggil—bercermin dan membenarkan sisiran rambutnya.
Selesai urusan bercermin, Asan pun siap berangkat dengan mengenakan baju baru warna krim muda hasil pemberian kakaknya Hj. Siti Rubiah. “Aku ingat banar, waktu itu kain tetoron masih langka di Banjarmasin . Jadi Asan kubuatkan baju hanyar dan dipakainya waktu handak demo,” jelasnya.
Setelah merasa mantap, pemuda kelahiran Desember 1945 siap berangkat. Lagi-lagi sang kakak merasa ada firasat kurang baik menjelang keberangkatannya. Ketika ingin menaiki sepeda ontelnya, tiba-tiba per (pegas) dudukan sadel sepedanya patah.
“Asan bebulik ke dalam rumah, bepada wan Abah mun per dudukan sepedanya patah. Tapi abah menyahuti, kira-kira sudah jabuk jua kalo nak. Kena ai diganti,” kisah Siti Rubiah.
Putra pasangan H. Madjedi dan Hj. Sahrul Bariah ini, akhirnya berangkat juga menuju Kampus Unlam di Jalan Lambung Mangkurat (sekarang Kantor Bank Mandiri) bersama kakaknya yang lain. Sebelum bergabung bersama ribuan mahasiswa lainnya untuk menggelar aksi demonstrasi. (*)
Historikal yg sudah mulai menghilang, untung saja masih ada yang mau mencatatkannya kembali dan berbagi shg generasi muda menjadi tau sejarah dan takkan melupakan sejarah. Lanjut terus mas..ditunggu tulisan lainnya.