Perang Banjar 2
Posted: Sabtu, 06 Oktober 2012 by Rusman Effendi in
0
Pangeran Antasari "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin"
S
setelah Pangeran Hidayatullah ditangkap, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh Pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris Kesultanan Banjar. Untuk mengkokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862,
bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk
Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama
dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari
menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
Tidak ada alasan lagi bagi
Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan
kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab
sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
“Alhamdulillah…,” ucap Khalifah. “Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari’at Islam. Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus berlangsung sepanjang usia umat manusia.
Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai sngkat bicara: “Yah…, kesalahan semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit,” ujar khalifah lebih lanjut.
“Mayor Verspyck ini telah mengirimsuratkepadaku dengan perantaraan orang kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara.
Katanya, bahwa bilamana aku dan kawan-kawan seperjuangan ingin memperbaiki
kesalahan dan berhajat minta ampun kepada Kompeni, maka Kiai itu berkuasa
membawa kami ke Mentalat untuk mendapatkan pengampunan dari Kompeni! Begitu
kira-kira bunyi suratnya, Surapati?” tanyanya kepada Tumenggung Surapati.
“Sungguh surat yang mentertawakan,” jawab Tumenggung Surapati. “Menyerah dan meminta ampun dengan perantaraan surat? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !”
Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. “Aku telah membalas surat itu, Lehman”, katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya! Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!”
“Semua orang-kulit putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderad dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun kutolak dengan tegas. Kami akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting, Lehman.”
“Kita tidak, akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi menyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan Hidayat, orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang yang terang-terangan menentangnya mati-matian.”
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.
Jakarta 1420 H / 1999 M
Dengan pengangkatan ini
menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala
Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh.
“Adakah kabar penting Lehman ?” Khalifah membuka percakapan.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh.
“Adakah kabar penting Lehman ?” Khalifah membuka percakapan.
“Oo tidak … Tidak ada hal-hal
yang terlalu luar biasa,” jawab Lehman. “Hanya saja kami semua mendengar bahwa
Khalifah-sakit.”
“Seperti yang kamu lihat sendiri,
Lehman …. penyakit orang-orang telah berumur. Tapi Insya Allah, aku akan sehat
kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini kuserahkan kepada
mereka bertiga ini ….,” jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad
Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh Kiai Demang
Lehman.
Selanjutnya Kiai Demang Lehman
menyampaikan pesan para panglima dari Hulu Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji
Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir pada saat pelantikan
Khalifah serta permohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat sembuh. “Kami
para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah berikrar
dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur terus
di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata’ala memberikan daya dan
kemampuan kepada kami.”
“Alhamdulillah…,” ucap Khalifah. “Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari’at Islam. Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus berlangsung sepanjang usia umat manusia.
Pembicaraan dalam pertemuan ini
beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah, dimana antara lain ia berucap:
“Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita
tidak dapat selalu bertempur bersama, bertemu dan apalagi memperbincangkan
sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu persamaan cita-cita dan tujuan,
yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang sabil.
“Inilah…,” tekannya. “Tiga
setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban benda dan jiwa sudah
tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai. Dan saya
sendiri sudah kehilangan se¬orang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini.
Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku..”
Kembali ia terdiam merenung,
lanjutnya: “Perang adalah sungguh-sungguh kesengsaraan. Siapapun harus mengakui
ini. Tetapi menyesalkah kita telah melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk
apa kita ini berjihad!” katanya bersemangat.
“Biar seribu kali Nieuwenhuyzen
mengeluarkan maklumat proklamasinya yang menyebut-nyebut bahwa tujuan
pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan kemakmuran rakyat, memegang teguh
keadilan, ketertiban dan keamanan serta menganggap kita binatang buruan yang
mengembara dalam rimba-rimba belantara dan menuduh kita menyalahgunakan nama
Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan perang kita, semuanya itu tidak
ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni boleh membunuh kita, tetapi
tidak semangat kita! Lalu menyerah.
Menyerah setelah sekian banyak
korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan kesengsaraan
selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya tentang
menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang yang
paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan.”
Kiai Demang Lehman mengangguk,
menunduk sebentar kemudian mengangkat muka. “Mungkin sebagian kesalahan itu ada
pada saya,” ia mulai dengan suatu pengakuan yang jujur. “Dan jika itu dinamakan
kesalah¬an juga, maka kesetiaan itulah saya kira asal-mula sebabnya. Hanya,
kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang pemuda tanggung bernama
Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan dengan gelar Kiai Demang
Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam senjata ini,” katanya sambil
memperlihatkan senjata-senjatanya.
“Kesetiaan saya adalah kesetiaan
seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang dicintainya dan sebaliknya
menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang diharapkan membimbing
rakyatnya keluar dari penindasan dan kesengsaraan. Dan di atas segala-galanya
kesetiaan kepada manusia.”
Pembicaraannya terhenti. Kemudian
ia lanjutkan: “Saya iba melihat Pangeran Hidayat dan keluarganya terlunta-lunta
dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata dan penghidupan rakyat
semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut, maka saya
mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa penyerahannya
akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar dugaan
saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck tentang
pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan senjata.”
“Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa Pengeran Hidayat tidak akan
diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah menempuh suatu cara
yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya haram untuk
dipercayai!” Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan rasa
geramnya atas pengkhianatan Belanda.
“Tetapi ketika Kompeni membawa
Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin ,
saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api
tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali
menyerah untuk kedua kalinya,” katanya menyesal.
“Adapun saya sendiri, Insya Allah
pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat kedua kalinya. Dan saya
bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi dinamakan juga
kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!” ujarnya dengan hati berkobar tapi
penuh taqwa. “Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap Agama,
kesetia¬an terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaan-kesetiaan
lainnya”
Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai sngkat bicara: “Yah…, kesalahan semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit,” ujar khalifah lebih lanjut.
“Mayor Verspyck ini telah mengirim
“Sungguh surat yang mentertawakan,” jawab Tumenggung Surapati. “Menyerah dan meminta ampun dengan perantaraan surat? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !”
Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. “Aku telah membalas surat itu, Lehman”, katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya! Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!”
“Semua orang-kulit putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderad dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun kutolak dengan tegas. Kami akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting, Lehman.”
“Kita tidak, akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi menyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan Hidayat, orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang yang terang-terangan menentangnya mati-matian.”
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang
Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung.
Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji
Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu
Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.
-oOo-
Sumber : PERANG SABIL versus
PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah
Kristen Portugis dan Belanda)
oleh ABDUL QADIR DJAELANI
Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN
ISLAM MADINAH AL -MUNAWWARAH