Perang Banjar 1
Posted: Sabtu, 06 Oktober 2012 by Rusman Effendi in
0
Campur Tangan Belanda dalam Kekuasaan Kesultanan Banjar
S
ultan Tahmidillah I (1778 –
1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan,
yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan
kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil
membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan
Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata
diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan Tahmidillah II
menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir,
salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan
Tahmidilah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya
dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat
ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II
atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan
daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai seorang
putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil
pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi
kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama
kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang dalam tentang
Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah
adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh
dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan
disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan
Selatan, khususnya Banjarmasin .
Wafatnya Sultan Tahmidillah II
digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun;
kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan
Banjar hanya tinggal Banjarmasin ,
Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah
Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan
Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra
langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap
mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran
Hidayat menjadi Mangkubumi.
Perlakuan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan terhadap
rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi
seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil
ke depan untuk memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan
Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi
rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat sebagai Mangkumi. Pada
pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April
1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari dengan
Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersama-sama
melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dialog yang terjadi di rumah
kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai berikut.
“Begini, Hidayat! Aku kemari atas
nama rakyat dan semua pejuang-pejuang Banjar …”
“…Sebentar !” Pangeran Hidayat
memutus. “Siapa yang Paman maksudkan, dengan rakyat dan pejuang-pejuang Banjar
itu ?”
Pangeran Antasari dengan sabar
menjawab: “Rakyat yang selama ini ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang,
semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk mengakhiri penindasan dan
perlakuan yang sewenang-wenang itu !”.
“Dan Paman termasuk pula di
antara pejuang-pejuang itu?” sela Pangeran Hidayat.
“Itu bukan suatu hal yang aib!”
Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. “Dan kau pun akan bangga menjadi salah
seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau baktikan hidupmu ini
sebaik-baiknya”.
“Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?” tanya Pangeran Hidayat.“Kesediaanmu untuk berjuang bersama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua perjuangan ini nanti !” Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.
Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. “Tapi ini berarti pem¬berontakan besar-besaran, Paman !”
Pangeran Antasari menjawab: “Pemberontakan adalah
bahasa yang diper¬gunakan oleh Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga
kita. Kita tidak pernah menganggap kompeni itu memerintah dengan sah di
kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa kita sendiri. Perang ! Perang
mengusir penjajah asing !”
“Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya
berakibat pertumpahan darah. Dan saya telah melihat bahwa telah banyak darah
mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan harus segera kita akhiri. Bukan
sebaliknya akan kita mulai”.
“Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa
perikemanusiaan. Dan ini memang merdu menggugah perasaan seperti suara bilal
pada azan subuh. Tapi dapatkah kau harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi
mengamalkan bahasa yang serupa itu terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni
akan mempergunakan bahasa kegemaran mereka: me¬rabit-rabit kita sekaum dan
pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan kepadaku, bagaimana caranya kita
me¬nunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap perlakuan yang tidak
berperikemanusiaan ini ?”
Pangeran Hidayat nadanya melemah: “Saya hanya
benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah
banyak berkorban untuk kita.”
“Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak
kita mulai. Adapun pertumpahan darah yang kau takutkan itu sebenarnya belum
lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan membenarkan peperangan ini
sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari perjuang¬an ini tidaklah
sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah!” ucap
Pangeran Antasari bersemangat.
Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin.
“Tidakkah ada jalan lain selain pertumpahan darah ini, Paman” tanyanya
kemudian.
“Ada !”
Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. “Dan jalan satu sudah dan sedang kau
tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja,
sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!”
Pangeran Hidayat tersinggung. “Jika kata
pengkhianat yang Paman maksudkan dengan kata-kata: mau menjadi apa saja, maka
saya berhak menolak tuduhan itu,” bantahnya. “Kecintaan saya kepada rakyat dan
bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama besarnya dengan apa yang Paman
rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena itu saya harus
menumpahkan sekian banyak darah mereka “.
“Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai
rakyat dan kerajaan ini,” Pangeran Antasari balas menyanggah. “Karena itulah
seluruh rakyat dan pejuang-pejuang Banjar masih menaruh kepercayaan penuh
kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa
kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu.”
“Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu
menyatakan dan menunjukkan kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah
kau bersedia ditunjuk oleh Kompeni sebagai Mangkubumi!”
“Belum lagi kering air mata di
atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan penobatan Tamjid, kau
dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan kepercayaanmu yang penuh kepada
Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat mencegah mala¬petaka yang tak
berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak menyerahkan pamanmu sendiri,
Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!”
“Kemudian baru-baru ini kudengar
lagi kabar, bahwa kau telah me¬nyanggupi kepada Residen Belanda untuk
mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka yang melakukan perlawanan
itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang seadil-adilnya! Tentu
saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?” Jawab Pengeran Antasari dengan
getir.
“Ingatan paman sangat baik,”
jawab Pangeran Hidayat. “Apa yang Paman katakan itu semua benar. Tentu Paman
ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan itu semua, saya telah
merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya malah
menjerumuskannya!”
“Paman, saya tidak bermaksud
membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar hati saya, saya
mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa sebagian besar
manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah. Saya percaya
bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan tanpa kita
harus saling membunuh.”
“Sungguh akan menjadi khotbah
yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa Kompeni akan berbondong-bondong
datang mendengarkan khotbah¬mu! Hidayat, apa kamu masih juga percaya, bahwa
kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh Kompeni sekarang ini dapat
ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar umat manusia di muka bumi
ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran darah?”
Sejurus Pangeran Antasari
berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita yang sudah banyak mengaji
mengetocui benar,” lanjutnya, “bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, jika
kita sendiri tidak berusaha mengubahnya”.
“Saya tidak tahu lagi, Paman,”
Pangeran Hidayat terdesak. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan.”
“Kamu boleh tidak tahu apa yang
harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus kau lakukan. Dan itu cuma
satu. Pimpinlah perjuangan ini!” desak Pangeran Antasari.
“Mengapa Paman masih terus mengharapkan
supaya saya memimpinnya?”
“Karena kau adalah ahli waris
yang sah dari kerajaan ini.”
Pangeran Hidayat menyanggah :
“Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris yang sah, karena saya
tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini,” katanya jujur.
“Saya tidak terlalu berterima
kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya mendapat kehormatan dengan
sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah merebutnya dari datu-datu
Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang mengusir Kompeni. Sedangkan
saya…,” ia menggeleng-geleng. “Tidak, Paman. Mengapa tidak Paman sendiri
menerus¬kan memimpinnya.”
“Jangan kita seperti anak kecil,
Hidayat,” keluh orang tua itu kesal. “Membangkit-bangkit kesalahan orang yang
telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka, tidak menghapuskan
adanya per¬talian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika Allah
membenarkannya, sebenarnya aku tidak meng¬harapkan lebih daripada kedudukanku
yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada wasiat
kakekmu almarhum.”
“Tetapi wasiat itu telah beliau
batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai Mangkubumi sekarang ini…Namun
demikian”, jawab Pangeran Antasari, “Bagi mereka kau tidsk saja ahli waris yang
sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi mereka. Kau merupakan
lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari perjuangan mereka
untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya untukmu.”
Pangeran Hidayat berjalan
mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya. “Siapa diantara
pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?” tanyanya.
“Aku telah menghimpun semua
mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas ,
dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan
Tanah Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama
Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga
muda yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima , juga dipimpin oleh
orang kepercayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada
kita.”
“Yang terakhir ini sudah saya
dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk menyatukan Gerakan Benua
Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga menjadikannya besan.”
“Ini suratan jodoh semata-mata,”
jawab Pangeran Antasari.
Setelah. itu keduanya terdiam
merenung sejenak. “Jadi semuanya mereka telah satu mufakat ?” tanya Pangeran
Hidayat.
“Kau jangan menyangsikan lagi”,
sahut pengeran Antasari tegas.
“Apakah Paman yakin bahwa Paman
akan memenangkun peperangan ini?”
“Kita harus yakin, bahwa kita
akan memenangkan ke¬benaran dari peperangan ini,”
Dua minggu kemudian, tepatnya
tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari
meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan
mati-¬matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan
pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan,
yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin,
Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Pertempuran mempertahankan benteng
Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak
pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur
pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860.
Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust
milik Belanda di Sungai Barito.
Sementara itu Pangeran Hidayat
makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang
dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran
Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara
resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak
itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas,
kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan
pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung memimpin
pertempuran di berbagai medan
melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda
lebih lengkap dan modern, dan Belanda melakukan tipu muslihat untuk menangkap Pangeran Hidayatullah dengan menyurati beliau kalau Ibunda Pangeran Hidayatullah sakit dan menyuruh beliau agar kembali ke Istana dengan menggunakan tanda tangan atau Stempel Ratu. Dengan cara itulah Belanda bisa menangkap Pangeran Hidayatullah. ***
Setelah Pangeran Hidayat
ditangkap, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran
Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai
pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin
perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14
Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para
alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat
Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
*** Ada sebagian kalimat kami ganti yang menyatakan kalau Pangeran Hidayatullah Menyerah.
-oOo-
sumber : PERANG SABIL versus
PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah
Kristen Portugis dan Belanda)
oleh ABDUL QADIR DJAELANI
Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH