Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Perang Banjar 1

Posted: Sabtu, 06 Oktober 2012 by Rusman Effendi in
0

Campur Tangan Belanda dalam Kekuasaan Kesultanan Banjar

S
ultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.

Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidilah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.

Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.

Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.

Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.

Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi.

Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.

Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat sebagai Mangkumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April 1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari dengan Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Dialog yang terjadi di rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai berikut.
“Begini, Hidayat! Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-pejuang Banjar …”
“…Sebentar !” Pangeran Hidayat memutus. “Siapa yang Paman maksudkan, dengan rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?”

Pangeran Antasari dengan sabar menjawab: “Rakyat yang selama ini ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk mengakhiri penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !”.

“Dan Paman termasuk pula di antara pejuang-pejuang itu?” sela Pangeran Hidayat.

“Itu bukan suatu hal yang aib!” Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. “Dan kau pun akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau baktikan hidupmu ini sebaik-baiknya”.
“Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?” tanya Pangeran Hidayat.
“Kesediaanmu untuk berjuang bersama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua perjuangan ini nanti !” Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.
Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. “Tapi ini berarti pem¬berontakan besar-besaran, Paman !”
Pangeran Antasari menjawab: “Pemberontakan adalah bahasa yang diper¬gunakan oleh Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !”
“Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya telah melihat bahwa telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan harus segera kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai”.
“Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang merdu menggugah perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran mereka: me¬rabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan kepadaku, bagaimana caranya kita me¬nunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini ?”
Pangeran Hidayat nadanya melemah: “Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita.”
“Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah yang kau takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari perjuang¬an ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah!” ucap Pangeran Antasari bersemangat.
Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin. “Tidakkah ada jalan lain selain pertumpahan darah ini, Paman” tanyanya kemudian.
Ada!” Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. “Dan jalan satu sudah dan sedang kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja, sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!”
Pangeran Hidayat tersinggung. “Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan kata-kata: mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu,” bantahnya. “Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka “.
“Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini,” Pangeran Antasari balas menyanggah. “Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang-pejuang Banjar masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu.”
“Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh Kompeni sebagai Mangkubumi!”
“Belum lagi kering air mata di atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan penobatan Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan kepercayaanmu yang penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat mencegah mala¬petaka yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak menyerahkan pamanmu sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!”

“Kemudian baru-baru ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah me¬nyanggupi kepada Residen Belanda untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka yang melakukan perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang seadil-adilnya! Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?” Jawab Pengeran Antasari dengan getir.

“Ingatan paman sangat baik,” jawab Pangeran Hidayat. “Apa yang Paman katakan itu semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya malah menjerumuskannya!”

“Paman, saya tidak bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar hati saya, saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa sebagian besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah. Saya percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan tanpa kita harus saling membunuh.”

“Sungguh akan menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa Kompeni akan berbondong-bondong datang mendengarkan khotbah¬mu! Hidayat, apa kamu masih juga percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh Kompeni sekarang ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar umat manusia di muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran darah?”

Sejurus Pangeran Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita yang sudah banyak mengaji mengetocui benar,” lanjutnya, “bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya”.

“Saya tidak tahu lagi, Paman,” Pangeran Hidayat terdesak. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan.”
“Kamu boleh tidak tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus kau lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!” desak Pangeran Antasari.
“Mengapa Paman masih terus mengharapkan supaya saya memimpinnya?”
“Karena kau adalah ahli waris yang sah dari kerajaan ini.”
Pangeran Hidayat menyanggah : “Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris yang sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini,” katanya jujur.
“Saya tidak terlalu berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya mendapat kehormatan dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah merebutnya dari datu-datu Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang mengusir Kompeni. Sedangkan saya…,” ia menggeleng-geleng. “Tidak, Paman. Mengapa tidak Paman sendiri menerus¬kan memimpinnya.”
“Jangan kita seperti anak kecil, Hidayat,” keluh orang tua itu kesal. “Membangkit-bangkit kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka, tidak menghapuskan adanya per¬talian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak meng¬harapkan lebih daripada kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada wasiat kakekmu almarhum.”
“Tetapi wasiat itu telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai Mangkubumi sekarang ini…Namun demikian”, jawab Pangeran Antasari, “Bagi mereka kau tidsk saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya untukmu.”

Pangeran Hidayat berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya. “Siapa diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?” tanyanya.

“Aku telah menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin oleh orang kepercayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada kita.”
“Yang terakhir ini sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk menyatukan Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga menjadikannya besan.”

“Ini suratan jodoh semata-mata,” jawab Pangeran Antasari.
Setelah. itu keduanya terdiam merenung sejenak. “Jadi semuanya mereka telah satu mufakat ?” tanya Pangeran Hidayat.

“Kau jangan menyangsikan lagi”, sahut pengeran Antasari tegas.
“Apakah Paman yakin bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?”
“Kita harus yakin, bahwa kita akan memenangkan ke¬benaran dari peperangan ini,”

Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-¬matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.

Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.

Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.

Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, dan Belanda melakukan tipu muslihat untuk menangkap Pangeran Hidayatullah dengan menyurati beliau kalau Ibunda Pangeran Hidayatullah sakit dan menyuruh beliau agar kembali ke Istana dengan menggunakan tanda tangan atau Stempel Ratu. Dengan cara itulah Belanda bisa menangkap Pangeran Hidayatullah. ***

Setelah Pangeran Hidayat ditangkap, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.

*** Ada sebagian kalimat kami ganti yang menyatakan kalau Pangeran Hidayatullah Menyerah.

-oOo-

-->
sumber : PERANG SABIL versus PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda)
oleh ABDUL QADIR DJAELANI
Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH 
Jakarta 1420 H / 1999 M 

0 komentar: