Melestarikan Rumah Adat bukan saja dengan memelihara atau memugar Rumah Adat Banjar yang sudah ada, dengan memelihara agar tetap ada itu lebih baik tanpa menghilangkan keaslian rumah adat tersebut.
Ada beberapa type Rumah Adat Banjar yang sekarang sudah mulai langka ditemukan, yaitu Rumah Adat Bubungan Tinggi yang dijadikan Maskot Daerah Kalimantan Selatan dan telah dijadikan logo Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan.
Walaupun ada keadaannya sangat memprihatinkan terbengkalai dan dibiarkan lapuk dimakan zaman, Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi yang ditinggalkan memang hak Ahli Waris yang memiliki terserah mau diapakan, namun alangkah baiknya Instansi terkait ikut serta untuk melestarikannya karena Rumah Adat Bubungan Tinggi telah dijadikan Maskot Propinsi.
Ada beberapa rumah Adat Bubungan Tinggi di Martapura yang keadaannya sangat memprihatinkan.
Lokasi rumah di Desa Bincau Muara
inilah satu-satunya rumah Adat Bubungan Tinggi mulai Desa Bincau sampai Desa Tunggul Irang
Lokasi rumah di Kelurahan Keraton Martapura
Rumah Adat ini berlokasi dibelakang sebuah Musholla
Lokasi rumah di Desa Pandak Daun Karang Intan
Bagian lantai, tawing, atap dan anjungan telah hancur namun ornamen bagian dalam masih utuh
Untuk gerakan meminiaturkan rumah adat ini kami minta Like dan Share sebanyak-banyaknya di photo dibawah ini, klik diphoto maka anda akan masuk di Album Photo Gerakan Melestarikan Rumah Adat Banjar Miniatur setelah beri silahkan berikan jempol :
Ratu Zaleha adalah satu dari sedikit pejuang wanita di
Nusantara yang gagah berani membela tanah airnya dari cengkeraman kuku
penjajahan Belanda. Bersama sang suami, Gusti Muhammad Arsyad bin Gusti
Muhammad Said, Ratu Zaleha adalah penerus perjuangan Pahlawan Nasional Perang
Banjar Pangeran Antasari.
Ratu Zaleha (Gusti Zaleha) dan Gusti Muhammad Arsyad
memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat. Orangtua Ratu Zaleha: Sultan
Muhamad Seman dan orangtua Gusti Muhammad Arsyad: Gusti Muhammad Said adalah
anak Pangeran Antasari. Jadi antara Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad
terhitung saudara sepupu sekali.
Pangeran Antasari bersama Pangeran Hidayatullah, Demang
Leman, Penghulu Rasyid, Tumenggung Jalil, Tumenggung Surapati, Haji Buyasin dan
pejuang-pejuang Banjar lainnya bahu-membahu mengobarkan perang melawan
kolonialisme Belanda. Perang permusuhan terhadap Belanda tak berhenti setelah
sejumlah tokoh gugur atau diasingkan keluar pulau. Perlawanan dilanjutkan oleh
anak keturunannya meski harus menderita kelaparan kekurangan makanan, keluar
masuk hutan rimba pedalaman Kalimantan dan setiap waktu diintai maut karena
menolak tunduk kepada Belanda.
Salah satu pejuang yang pantang menyerah kepada Belanda
adalah Ratu Zaleha. Ratu Zaleha akhirnya berjuang sendirian setelah suaminya
Gusti Muhammad Arsyad ditangkap Belanda pada 4 Januari 1904 (kemudian
diasingkan ke Bogor) dan ayahnya Sultan Muhammad Seman tewas dalam pertempuran
di Bomban Kalang Barat, hulu Beras Kuning, Sungai Menawing, pedalaman Barito,
24 Januari 1905.
Setelah tertangkap dan gugurnya para tokoh pejuang ini,
Ratu Zaleha pun menjadi target utama yang paling dicari Belanda. Walau
menderita kelelahan fisik dan batin luar biasa karena menjadi buruan Belanda,
Ratu Zaleha menolak menyerah. Ia terus melawan. Bahkan, senjata kelewang Ratu
Zaleha pernah memotong leher serdadu Belanda dalam suatu pertempuran di Barito.
Anggaraini Antemas dalam artikelnya di Harian Utama edisi
26 September 1970 yang berjudul ‘Mengenang Kembali Perdjuangan Pahlawan Puteri
Kalimantan Gusti Zaleha’, menyebutkan dalam suatu medan perang di lembah Barito
Ratu Zaleha terkepung pasukan Belanda. Hutan di sekitarnya dibakar oleh pasukan
Belanda hingga menjadi lautan api. Di bawah desingan peluru dan kepungan
api yang membakar, Gusti Zaleha keluar mempertahankan hidupnya yang terakhir.
“Rambutnya yang cukup panjang dan disanggul rapi telah
putus dilanda peluru. Sedang lengannya yang kiri ditembus pula oleh peluru yang
lain sehingga badannya bergelimang merah darah. Baju dan celana compang camping,
darahnya mengalir membasahi tubuh, namun air matanya tak pernah jatuh
setetespun menyesali perbuatannya itu. Wasiat almarhum ayah dan suaminya
sebelum masuk perangkap Belanda tetap dipegang teguh,” tulis Anggraini. Untuk
sementara Ratu Zaleha dapat meloloskan diri dari kepungan maut peluru dan api
yang dahsyat.
Bujukan menyerah dari Belanda tak mampu meluluhkan hati
Ratu Zaleha. Perlawanan Ratu Zaleha berakhir di awal tahun 1906. Menurut Gusti
Hindun, keponakan Ratu Zaleha yang juga putri Gusti Muhammad Arsyad, pejuang
wanita Banjar ini akhirnya tertangkap setelah pelarian seusai aksi bumi hangus
Belanda.
Setelah terus diburu tanpa henti oleh tentara Belanda, Ratu
Zaleha menyelamatkan diri di sebuah rumah penduduk. Oleh tuan rumah ia
ditawari untuk membersihkan badan dan pakaian yang kotor. Usai mandi, tanpa
sempat beristirahat ia sudah siap dijemput pasukan tentara Belanda yang telah
menunggunya di pekarangan rumah.
“Beliau masuk ke rumah penduduk dan setelah membersihkan
badan, di luar halaman rumah sudah penuh tentara Belanda,” kata Gusti Hindun,
85 tahun kepada KabarBanjarmasin.com.
Menurut Anggaraini, peristiwa tertangkapnya Ratu Zaleha itu
karena pengkhianatan penduduk. Dari Barito, Ratu Zaleha dibawa ke Banjarmasin
dan selanjutnya diasingkan ke Bogor (di kawasan Keramat Empang Bogor) untuk
berkumpul dengan suaminya Gusti Muhammad Arsyad.
Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad kemudian
dipulangkan ke Banjarmasin oleh pemerintah Belanda pada tahun 1937. Sempat
menikmati suasana Indonesia Merdeka, Ratu Zaleha akhirnya berpulang ke
rahmatullah pada 24 September 1953 dalam usia lebih 70 tahun. Sementara Gusti
Muhammad Arsyad telah mendahului meninggal dunia pada tahun 1941 dalam usia 73
tahun. Jenazah Ratu Zaleha dimakamkan di Komplek Makam Pahlawan Perang Banjar
di Jalan Masjid Jami Banjarmasin
Sumber : http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/ratu-zaleha-pahlawan-wanita-dari-kalimantan.html
Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang. Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596–1620. Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun perkembangannya kemudian bentuk
segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan
bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang
berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut
disumbi. Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tampak
menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung;
sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama
Rumah Ba-anjung.
Adapun Jenis-jenis Rumah Adat Banjar adalah : 1. Bubungan Tinggi 2. Gajah Baliku 3. Gajah Manyusu 4. Palimbangan 5. Palimasan 6. Balai Bini 7. Balai Laki 8. Tadah Alas 9. Cacak Burung/Anjung Surung 10. Bangun Gudang Dengan tujuan untuk melestarikan Rumah Adat Banjar, kami coba berkreasi dengan membuat Miniatur Rumah Adat Menggunakan Kayu
Lamun Urang Kreatif Supan manciplak nang sudah kami ulah .... !!!
Miniatur Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi
Miniatur Rumah Adat Banjar Gajah Baliku
Miniatur Rumah Adat Banjar Palimbangan
Miniatur Rumah Adat Banjar Gajah Manyusu
Miniatur Rumah Adat Banjar Palimasan
Miniatur Rumah Adat Banjar Balai Bini
Miniatur Rumah Adat Banjar Balai Laki
Miniatur Rumah Adat Banjar Cacak Burung (Anjung Surung)
Miniatur Rumah Adat Banjar Tadah Alas
Miniatur Rumah Anno 1925 yang pernah ada di Seberang Mesjid Sabilal Mutaddin Banjarmasin
Pangeran Antasari "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin"
S
setelah Pangeran Hidayatullah ditangkap, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh Pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris Kesultanan Banjar. Untuk mengkokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862,
bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk
Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama
dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari
menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
Tidak ada alasan lagi bagi
Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan
kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab
sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Dengan pengangkatan ini
menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala
Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin
sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung
terus di berbagai medan.
Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya
berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan
pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862,
bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
(Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima,
yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said
(keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman.
Sedangkan para panglima yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan
yang sulit dan letaknya jauh-jauh.
“Adakah kabar penting Lehman ?”
Khalifah membuka percakapan.
“Oo tidak … Tidak ada hal-hal
yang terlalu luar biasa,” jawab Lehman. “Hanya saja kami semua mendengar bahwa
Khalifah-sakit.”
“Seperti yang kamu lihat sendiri,
Lehman …. penyakit orang-orang telah berumur. Tapi Insya Allah, aku akan sehat
kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini kuserahkan kepada
mereka bertiga ini ….,” jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad
Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh Kiai Demang
Lehman.
Selanjutnya Kiai Demang Lehman
menyampaikan pesan para panglima dari Hulu Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji
Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir pada saat pelantikan
Khalifah serta permohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat sembuh. “Kami
para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah berikrar
dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur terus
di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata’ala memberikan daya dan
kemampuan kepada kami.”
“Alhamdulillah…,” ucap Khalifah.
“Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu semua masih tetap menaruh
kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan perjuangan kepadaku. Karena itu
aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun aku kelak sudah tidak ada
lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus memimpin dan
melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari’at Islam. Kepadamu
semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan
berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan
manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus berlangsung
sepanjang usia umat manusia.
Pembicaraan dalam pertemuan ini
beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah, dimana antara lain ia berucap:
“Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita
tidak dapat selalu bertempur bersama, bertemu dan apalagi memperbincangkan
sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu persamaan cita-cita dan tujuan,
yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang sabil.
“Inilah…,” tekannya. “Tiga
setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban benda dan jiwa sudah
tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai. Dan saya
sendiri sudah kehilangan se¬orang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini.
Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku..”
Kembali ia terdiam merenung,
lanjutnya: “Perang adalah sungguh-sungguh kesengsaraan. Siapapun harus mengakui
ini. Tetapi menyesalkah kita telah melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk
apa kita ini berjihad!” katanya bersemangat.
“Biar seribu kali Nieuwenhuyzen
mengeluarkan maklumat proklamasinya yang menyebut-nyebut bahwa tujuan
pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan kemakmuran rakyat, memegang teguh
keadilan, ketertiban dan keamanan serta menganggap kita binatang buruan yang
mengembara dalam rimba-rimba belantara dan menuduh kita menyalahgunakan nama
Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan perang kita, semuanya itu tidak
ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni boleh membunuh kita, tetapi
tidak semangat kita! Lalu menyerah.
Menyerah setelah sekian banyak
korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan kesengsaraan
selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya tentang
menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang yang
paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan.”
Kiai Demang Lehman mengangguk,
menunduk sebentar kemudian mengangkat muka. “Mungkin sebagian kesalahan itu ada
pada saya,” ia mulai dengan suatu pengakuan yang jujur. “Dan jika itu dinamakan
kesalah¬an juga, maka kesetiaan itulah saya kira asal-mula sebabnya. Hanya,
kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang pemuda tanggung bernama
Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan dengan gelar Kiai Demang
Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam senjata ini,” katanya sambil
memperlihatkan senjata-senjatanya.
“Kesetiaan saya adalah kesetiaan
seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang dicintainya dan sebaliknya
menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang diharapkan membimbing
rakyatnya keluar dari penindasan dan kesengsaraan. Dan di atas segala-galanya
kesetiaan kepada manusia.”
Pembicaraannya terhenti. Kemudian
ia lanjutkan: “Saya iba melihat Pangeran Hidayat dan keluarganya terlunta-lunta
dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata dan penghidupan rakyat
semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut, maka saya
mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa penyerahannya
akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar dugaan
saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck tentang
pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan senjata.”
“Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa Pengeran Hidayat tidak akan
diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah menempuh suatu cara
yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya haram untuk
dipercayai!” Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan rasa
geramnya atas pengkhianatan Belanda.
“Tetapi ketika Kompeni membawa
Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin,
saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api
tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali
menyerah untuk kedua kalinya,” katanya menyesal.
“Adapun saya sendiri, Insya Allah
pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat kedua kalinya. Dan saya
bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi dinamakan juga
kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!” ujarnya dengan hati berkobar tapi
penuh taqwa. “Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap Agama,
kesetia¬an terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaan-kesetiaan
lainnya”
Khalifah yang semenjak tadi
berdiam diri, mulai sngkat bicara: “Yah…, kesalahan semacam itu bukan tidak
mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting sekarang ialah bahwa kita
telah belajar dari pengalaman pahit,” ujar khalifah lebih lanjut.
“Mayor Verspyck ini telah
mengirim suratkepadaku dengan perantaraan orang kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara.
Katanya, bahwa bilamana aku dan kawan-kawan seperjuangan ingin memperbaiki
kesalahan dan berhajat minta ampun kepada Kompeni, maka Kiai itu berkuasa
membawa kami ke Mentalat untuk mendapatkan pengampunan dari Kompeni! Begitu
kira-kira bunyi suratnya, Surapati?” tanyanya kepada Tumenggung Surapati.
“Sungguh surat yang mentertawakan,” jawab Tumenggung
Surapati. “Menyerah dan meminta ampun dengan perantaraan surat? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun
haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki
tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !”
Khalifah mengangguk, membenarkan
pandangan itu. “Aku telah membalas surat itu, Lehman”, katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala
perhatiannya! Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak
kesalahan. Tetapi kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya,
pandangan seorang kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!”
“Semua orang-kulit putih di Banjarmasin telah digaji
oleh kompeni untuk mengadakan segala macam perbuatan terkutuk, haram dan
durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika
ada surat resmi dari Gubernur Jenderad dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar
dikembalikan sepenuhnya kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun kutolak
dengan tegas. Kami akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua!
Inilah antara lain yang penting, Lehman.”
“Kita tidak, akan mendapatkan
apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi menyerah! Kalau kita
melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan kita, akan
menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan perangai atau
iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan
pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan
Hidayat, orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita
semua orang yang terang-terangan menentangnya mati-matian.”
Pertemuan diakhiri setelah
mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari
kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat,
namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti
Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada
tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan
Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang
Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung.
Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji
Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu
Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat
Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda
dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima
Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905
di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras
Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Gambaran singkat dari Perang
Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat
dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan
semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil
dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, dan
targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang
Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.
-oOo-
Sumber : PERANG SABIL versus
PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah
Kristen Portugis dan Belanda)
oleh ABDUL QADIR DJAELANI
Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN
ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH
Campur Tangan Belanda dalam Kekuasaan Kesultanan Banjar
S
ultan Tahmidillah I (1778 –
1808)mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan,
yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan
kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil
membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan
Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata
diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan Tahmidillah II
menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir,
salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan
Tahmidilah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya
dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat
ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II
atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan
daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai seorang
putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil
pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi
kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama
kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang dalam tentang
Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah
adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh
dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan
disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan
Selatan, khususnya Banjarmasin.
Wafatnya Sultan Tahmidillah II
digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun;
kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan
Banjar hanya tinggal Banjarmasin,
Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah
Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan
Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra
langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap
mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran
Hidayat menjadi Mangkubumi.
Perlakuan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan terhadap
rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi
seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil
ke depan untuk memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan
Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi
rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat sebagai Mangkumi. Pada
pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April
1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari dengan
Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersama-sama
melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dialog yang terjadi di rumah
kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai berikut.
“Begini, Hidayat! Aku kemari atas
nama rakyat dan semua pejuang-pejuang Banjar …”
“…Sebentar !” Pangeran Hidayat
memutus. “Siapa yang Paman maksudkan, dengan rakyat dan pejuang-pejuang Banjar
itu ?”
Pangeran Antasari dengan sabar
menjawab: “Rakyat yang selama ini ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang,
semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk mengakhiri penindasan dan
perlakuan yang sewenang-wenang itu !”.
“Dan Paman termasuk pula di
antara pejuang-pejuang itu?” sela Pangeran Hidayat.
“Itu bukan suatu hal yang aib!”
Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. “Dan kau pun akan bangga menjadi salah
seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau baktikan hidupmu ini
sebaik-baiknya”.
“Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?” tanya Pangeran Hidayat.
“Kesediaanmu untuk berjuang bersama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua
perjuangan ini nanti !” Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.
Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir.
“Tapi ini berarti pem¬berontakan besar-besaran, Paman !”
Pangeran Antasari menjawab: “Pemberontakan adalah
bahasa yang diper¬gunakan oleh Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga
kita. Kita tidak pernah menganggap kompeni itu memerintah dengan sah di
kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa kita sendiri. Perang ! Perang
mengusir penjajah asing !”
“Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya
berakibat pertumpahan darah. Dan saya telah melihat bahwa telah banyak darah
mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan harus segera kita akhiri. Bukan
sebaliknya akan kita mulai”.
“Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa
perikemanusiaan. Dan ini memang merdu menggugah perasaan seperti suara bilal
pada azan subuh. Tapi dapatkah kau harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi
mengamalkan bahasa yang serupa itu terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni
akan mempergunakan bahasa kegemaran mereka: me¬rabit-rabit kita sekaum dan
pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan kepadaku, bagaimana caranya kita
me¬nunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap perlakuan yang tidak
berperikemanusiaan ini ?”
Pangeran Hidayat nadanya melemah: “Saya hanya
benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah
banyak berkorban untuk kita.”
“Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak
kita mulai. Adapun pertumpahan darah yang kau takutkan itu sebenarnya belum
lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan membenarkan peperangan ini
sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari perjuang¬an ini tidaklah
sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah!” ucap
Pangeran Antasari bersemangat.
Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin.
“Tidakkah ada jalan lain selain pertumpahan darah ini, Paman” tanyanya
kemudian.
“Ada!”
Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. “Dan jalan satu sudah dan sedang kau
tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja,
sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!”
Pangeran Hidayat tersinggung. “Jika kata
pengkhianat yang Paman maksudkan dengan kata-kata: mau menjadi apa saja, maka
saya berhak menolak tuduhan itu,” bantahnya. “Kecintaan saya kepada rakyat dan
bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama besarnya dengan apa yang Paman
rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena itu saya harus
menumpahkan sekian banyak darah mereka “.
“Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai
rakyat dan kerajaan ini,” Pangeran Antasari balas menyanggah. “Karena itulah
seluruh rakyat dan pejuang-pejuang Banjar masih menaruh kepercayaan penuh
kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa
kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu.”
“Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu
menyatakan dan menunjukkan kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah
kau bersedia ditunjuk oleh Kompeni sebagai Mangkubumi!”
“Belum lagi kering air mata di
atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan penobatan Tamjid, kau
dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan kepercayaanmu yang penuh kepada
Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat mencegah mala¬petaka yang tak
berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak menyerahkan pamanmu sendiri,
Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!”
“Kemudian baru-baru ini kudengar
lagi kabar, bahwa kau telah me¬nyanggupi kepada Residen Belanda untuk
mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka yang melakukan perlawanan
itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang seadil-adilnya! Tentu
saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?” Jawab Pengeran Antasari dengan
getir.
“Ingatan paman sangat baik,”
jawab Pangeran Hidayat. “Apa yang Paman katakan itu semua benar. Tentu Paman
ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan itu semua, saya telah
merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya malah
menjerumuskannya!”
“Paman, saya tidak bermaksud
membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar hati saya, saya
mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa sebagian besar
manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah. Saya percaya
bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan tanpa kita
harus saling membunuh.”
“Sungguh akan menjadi khotbah
yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa Kompeni akan berbondong-bondong
datang mendengarkan khotbah¬mu! Hidayat, apa kamu masih juga percaya, bahwa
kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh Kompeni sekarang ini dapat
ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar umat manusia di muka bumi
ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran darah?”
Sejurus Pangeran Antasari
berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita yang sudah banyak mengaji
mengetocui benar,” lanjutnya, “bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, jika
kita sendiri tidak berusaha mengubahnya”.
“Saya tidak tahu lagi, Paman,”
Pangeran Hidayat terdesak. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan.”
“Kamu boleh tidak tahu apa yang
harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus kau lakukan. Dan itu cuma
satu. Pimpinlah perjuangan ini!” desak Pangeran Antasari.
“Mengapa Paman masih terus mengharapkan
supaya saya memimpinnya?”
“Karena kau adalah ahli waris
yang sah dari kerajaan ini.”
Pangeran Hidayat menyanggah :
“Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris yang sah, karena saya
tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini,” katanya jujur.
“Saya tidak terlalu berterima
kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya mendapat kehormatan dengan
sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah merebutnya dari datu-datu
Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang mengusir Kompeni. Sedangkan
saya…,” ia menggeleng-geleng. “Tidak, Paman. Mengapa tidak Paman sendiri
menerus¬kan memimpinnya.”
“Jangan kita seperti anak kecil,
Hidayat,” keluh orang tua itu kesal. “Membangkit-bangkit kesalahan orang yang
telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka, tidak menghapuskan
adanya per¬talian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika Allah
membenarkannya, sebenarnya aku tidak meng¬harapkan lebih daripada kedudukanku
yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada wasiat
kakekmu almarhum.”
“Tetapi wasiat itu telah beliau
batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai Mangkubumi sekarang ini…Namun
demikian”, jawab Pangeran Antasari, “Bagi mereka kau tidsk saja ahli waris yang
sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi mereka. Kau merupakan
lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari perjuangan mereka
untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya untukmu.”
Pangeran Hidayat berjalan
mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya. “Siapa diantara
pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?” tanyanya.
“Aku telah menghimpun semua
mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas,
dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan
Tanah Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama
Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga
muda yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin oleh
orang kepercayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada
kita.”
“Yang terakhir ini sudah saya
dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk menyatukan Gerakan Benua
Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga menjadikannya besan.”
“Ini suratan jodoh semata-mata,”
jawab Pangeran Antasari.
Setelah. itu keduanya terdiam
merenung sejenak. “Jadi semuanya mereka telah satu mufakat ?” tanya Pangeran
Hidayat.
“Apakah Paman yakin bahwa Paman
akan memenangkun peperangan ini?”
“Kita harus yakin, bahwa kita
akan memenangkan ke¬benaran dari peperangan ini,”
Dua minggu kemudian, tepatnya
tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari
meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan
mati-¬matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan
pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan,
yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin,
Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Pertempuran mempertahankan benteng
Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak
pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur
pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860.
Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust
milik Belanda di Sungai Barito.
Sementara itu Pangeran Hidayat
makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang
dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran
Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara
resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak
itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas,
kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan
pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung memimpin
pertempuran di berbagai medan
melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda
lebih lengkap dan modern, danBelanda melakukan tipu muslihat untuk menangkap Pangeran Hidayatullah dengan menyurati beliau kalau Ibunda Pangeran Hidayatullah sakit dan menyuruh beliau agar kembali ke Istana dengan menggunakan tanda tangan atau Stempel Ratu. Dengan cara itulah Belanda bisa menangkap Pangeran Hidayatullah. ***
Setelah Pangeran Hidayat
ditangkap, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran
Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai
pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin
perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14
Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para
alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat
Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
*** Ada sebagian kalimat kami ganti yang menyatakan kalau Pangeran Hidayatullah Menyerah.
-oOo-
-->
sumber : PERANG SABIL versus
PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah
Kristen Portugis dan Belanda)
oleh ABDUL QADIR DJAELANI
Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH
Kesultanan Kotawaringin,
satu-satunya kerajaan yang pernah ada di Prop Kalteng, bahkan masih terpelihara
dengan baik. Bahkan semasa penjajahan Belanda, daerah ini luput dari rencana
pengkristenan Dayak Besar. Hingga kini kita dapat melihat dan menyaksikan situs
beserta benda-benda peninggalannya. Ternyata pendiriannya bermaterai darah
manusia, termasuk dalam Panti Darah Janji Samaya.
Menyusuri
Sungai Arut sepanjang ratusan kilometer yang membelah Kota Pangkalan Bun,
sampailah kita di Kecamatan Kotawaringin Lama dengan Astana Al Noorsari-nya
yang masih berdiri kokoh. Astana Al Noorsari adalah cikal bakal Kesultanan
Kotawaringin sebelum pusat kekuasaannya pindah ke Pangkalan Bun tahun 1679
M/1171 H.
Di
daerah ini, kita juga masih akan menemukan catatan sejarah lainnya. Terdapat
makam Sultan-sultan Kotawaringin yang bertulisan huruf Arab Melayu, makam Kyai
Gede seorang tokoh penyebar agama Islam sekitar abad ke 16. Kita juga dapat
menemukan bangunan Masjid Djami Kotawaringin yang masih terbilang kokoh, meski
hampir seusia ketika Kyai Gede menyebarkan Islam di daerah ini.
Dan,
menapak tilas satu-satunya kerajaan yang pernah ada di propinsi Kalteng ini,
memerlukan waktu cukup panjang, satu setengah jam dari Kota Pangkalan Bun
dengan transportasi speed boat. Tak cuma itu, karena membicarakan
Kesultanan Kotawaringin yang masih memiliki benang merah dengan kerajaan
Banjar, tidak boleh tidak harus merunut sejarah kerajaan Banjar hingga
kekuasaan Belanda turut bercokol di daerah ini.
Seperti
dituturkan Gusti Djendro Suseno yang masih keturunan Raja ke VII Gusti Sultanul
Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan, keturunan Raja Banjarlah yang mula
pertama membangun Kesultanan Kotawaringin.
"Kesultanan
Kotawaringin memiliki benang merah sejarah sangat kuat dengan Kerajaan Banjar,
hal itu tak dapat dinafikan," ungkap Djendro Suseno yang juga anggota DPRD
Tk II Kotawaringin Barat dari Fraksi Golkar. Namun dalam perjalanan
selanjutnya, tak terelakkan terjadi asimilasi atau percampuran dengan
masyarakat setempat yang notabene adalah Suku Dayak.
Jadi
menurutnya, tak dapat dipungkiri, masyarakat yang kini bermukim memenuhi
seantero Kab Kotawaringin Barat, sebagian besar adalah juga anak cucu keturunan
Suku Dayak. "Untuk mempererat jalinan kerjasama dan memantapkan kekuasaan,
kala itu anak-anak kepala suku atau demang diambil sebagai istri mendampingi
sang raja walau posisinya bukan sebagai istri pertama," imbuhnya.
Pangeran Adipati Anta Kasuma
Adalah
Sultan Musta'inubillah Raja Kerajaan Banjar yang berputra lima orang,
diantaranya empat orang laki-laki yaitu Pangeran Adipati Tuha, Pangeran Adipati
Anum, Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional), Pangeran Adipati Anta Kasuma dan
Puteri Ratu Aju. Karena masing-masing Putra Mahkota berminat menjadi Sultan
sebagai pemegang tertinggi tampuk kerajaan, membuat sang ayah harus berpikir
bijaksana.
Akhirnya,
merasa bukan putra tertua, Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memiliki
keberanian dan semangat tinggi untuk menjadi seorang pemimpin, bertekat pergi
mencari tempat dan mendirikan kerajaan baru. Dan memang, Pangeran Adipati Tuha
lah sebagai putra tertua yang akhirnya memegang tampuk kekuasaan kerajaan
Banjar.
Dengan
restu kedua orang tua serta pejabat-pejabat Kerajaan Banjar, berangkatlah dia
beserta pengawal dan beberapa perangkat peralatan kerajaan. Menggunakan perahu
layar kerajaan, bertolaklah mereka menuju arah barat menyusuri pesisir pantai.
Di sepanjang jalan yang mereka lalui, banyak tempat yang disinggahi antara lain
Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit dan Kuala Pembuang.
Rombongan
Pangeran Adipati meneruskan pelayaran ke arah barat, sampai akhirnya mendarat
di sebuah daerah, dinamakan Kuala Pembuang. Daerah ini sudah ada penghuninya
yang juga berkiblat di bawah kepemimpinan Kerajaan Banjar, sehingga kehadiran
rombongan yang bermaksud mendirikan kerajaan baru ini ditolak oleh masyarakat
setempat.
Panti Darah Janji Samaya
Tanpa
mengenal putus asa, dengan semangat tinggi rombongan Pangeran Adipati kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini, perjalanan tidak lagi menyusuri pantai tapi
menuju hulu sungai hingga akhirnya sampai ke sebuah desa yang dinamakan Desa
Pandau. Walau Desa Pandau telah dihuni masyarakat Suku Dayak yang dikenal
dengan Suku Gambu, Arut, Anom dan lainnya sebanyak sembilan macam suku, di
bawah kepemimpinan Demang Petinggi di Umpang menerima kehadiran rombongan
Pangeran Adipati.
Seperti
juga tertulis dalam catatan sejarah "Sekilas mengenang lahirnya Kerajaan
Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat" yang diterbitkan Humas dan
Penerangan Setwilda Kobar 2001, Demang Petinggi sebagai kepala Suku Dayak
menyerukan pada rakyatnya agar menerima rombongan Pangeran Adipati. Seruan
Demang Petinggi ini didasarkan keinginan untuk mengangkat Pangeran sebagai raja
tapi dengan syarat raja harus memperlakukan mereka bukan sebagai hamba, tetapi
sebagai pembantu utama dan kawan terdekat atau sebagai saudara yang baik.
Rakyat tidak akan menyembah sujud kehadapan Pangeran Adipati.
"Usulan
ini ditimbang dan diterima baik oleh Pangeran dan seluruh rombongan," ujar
Djendro diiyakan Gusti Rasyidin yang juga anak keturunan kesultanan ini.
Selepas persetujuan itu, dari pihak Suku Dayak Arut mengusulkan agar perjanjian
ini bukan sekedar di bibir saja, melainkan harus bermaterai darah manusia yang
diambil dari seorang dari Suku Dayak Arut dan seorang dari rombongan Pangeran
Adipati Anta Kasuma.
"Perjanjian
itu dinamakan Panti Darah Janji Samaya yang berarti perjanjian yang dikokohkan
dengan tetesan darah yang bercampur jadi satu," ungkap Gusti Rasyidin yang
ketika wawancara berlangsung ditemani Nurhadi dan Ahmad Yusuf di Astana Al
Noorsari Kotawaringin Lama.
Dengan
tersendat-sendat, coba dia paparkan bagaimana perjanjian bermaterai darah itu
berlangsung. Menurutnya, memang agak sukar diterima oleh akal, hanya demi
sebuah janji harus mengorbankan dua manusia. Namun demikianlah adat yang
berlaku, maka masing-masing kedua belah pihak menarik salah seorang pengikutnya
untuk dijadikan korban perjanjian.
Sebelum
kedua calon korban berdiri siap untuk dikorbankan, mereka mengambil sebuah batu
yang harus ditancapkan ke tanah. Batu ini sebagai bukti atau perlambang turun
temurun saksi sepanjang masa telah terjadi ikatan persaudaraan antara Suku
Dayak dengan rombongan Pangeran Adipati dari Kerajaan Banjar. Dengan melakukan
upacara adat yang hikmat, kedua calon korban berdiri di samping batu saksi yang
kini dikenal dengan "Batu Pertahanan". Calon korban dari Suku Dayak
berdiri menghadap ke hulu asal datangnya dan calon korban dari rombongan
Pangeran berdiri menghadap ke hilir menunjukkan asal kedatangannya.
Selesai
upacara sumpah setia, Kepala Suku Dayak mencabut mandaunya dan ditusukkan
menembus ke dada korbannya, darah pun memancur deras. Korban dari pihak
Pangeran Adipati pun ditusuk sehingga kedua darah korban ini memancur bersilang
dan menetes jatuh menjadi satu membasahi tanah.
"Percampuran
darah yang disaksikan kedua pihak inilah yang dimaksudkan untuk mempersatukan
segala rasa dan pikiran dalam mewujudkan rencana bersama, membangun
kerajaan," imbuh Rasyidin.
Terbentuk Kerajaan
Meski
telah disepakati perjanjian antara kedua belah pihak, namun Desa Pandau masih
dianggap belum cocok untuk membangun kerajaan baru. Kedua rombongan yang telah
terpadu dalam "Panti Janji Darah Samaya" milir mengikuti aliran
Sungai Arut, kemudian mudik Sungai Lamandau, mencari daerah paling pas untuk
membangun kerajaan. Akhirnya, sampailah mereka di daerah yang meyakinkan yaitu
Tanjung Pangkalan Batu yang kemudian hari dikenal sebagai Kotawaringin Lama.
Berhentilah rombongan dan untuk beristirahat mereka membuat rumah di atas air
yang biasa disebut "lanting".
"Ketika
Pangeran Adipati naik ke darat, bertemulah dia dengan Kyai Gede seorang ulama
penyebar agama Islam yang sudah lebih dulu tinggal di daerah itu," papar
Rasyidin. Dan menurutnya, atas usulan Kyai Gede jugalah masyarakat sekitar yang
dipimpin kepala suku, tidak perlu lagi membayar upeti ke Kerajaan Banjar, tapi
ke Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memimpin langsung Kerajaan Kotawaringin
sebagai raja pertamanya.
Kerajaan
Kotawaringin yang berbasis Islam dengan didukung Kyai Gede sebagai Mangkubumi
kerajaan, sebagaimana dipaparkan Gusti Djendro Suseno melakukan pencampuran
dengan masyarakat suku asli yang masih menganut agama nenek moyang dan ini
berlangsung hingga raja-raja berikutnya. Tercatat raja-raja yang berkuasa
setelah kepemimpinan Pangeran Adipati Anta Kasuma. Pangeran Mas Adipati putra
Pangeran Anta Kasuma yang menggantikan ayahndanya setelah wafat, berkuasa dari
920-941 H. Kemudian Pangeran Panambahan Anum (942-975 H), Pangeran Prabu Anum
(975-1005 H), Pangeran Adipati Anum (1005-1050 H), Pangeran Penghulu (1050-1069
H), Gusti Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan (1069-1116 H), Gusti
Musaddam Gelar Pangeran Ratu Anum Kusuma (1116-1171 H).
Namun
dalam perjalanan selanjutnya, ketika ibukota kerajaan pindah ke Pangkalan Bun
di bawah kepemimpinan Pangeran Ratu Imanuddin, yang menurut Djendro Suseno,
pemerintahannya sangat pro pada pihak Belanda. Sehingga hubungannya dengan orang-orang
Kotawaringin Lama menjadi tidak harmonis, karena Kotawaringin lama sangat
kontra dengan penjajah Belanda.
Setelah
kepemimpinan Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin, menyusul bertahta Pangeran Ratu
Achmad Hermansyah (1265-1281 H), Gusti Muhammad Sanusi Gelar Pra kasuma Yudha
(1265-1281 H), Pangeran Pakusukma Negara (1281-1325 H), Pangeran Samudra Gelar
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (1325-1332 H) dan Pangeran Muhammad Gelar Pangeran
Ratu Kasuma Anum Alamsyah (1332-1350 H).
"Pemindahan
ibukota kerajaan ke Pangkalan Bun ini yang dijadikan sebagai titik tolak
lahirnya Kabupaten Kotawaringin Barat, tahun 1679 M yang terbagi atas Kec Arut
Selatan, Delang, Lamandau, Kotawaringin Lama, Arut Utara, dan Balai Lama,"
lanjutnya bernada miris karena sejarah yang sepertinya tidak berpihak pada
pendahulunya.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sebelum Tahun 1950
Peranan Di Bidang
Pemerintahan
Kesultanan Kotawaringin berdiri
lebih dari tiga abad dengan satu kali perpindahan ibu kota dari Kotawaringin Lama ke Sukabuni Indra
Sakti yang kemudian dinamai Pangkalan Bu’un. Sultan pertama Kesultanan
Kotawaringin adalah Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah
dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin. Beliau memerintah dari tahun 1615-1630
M dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede.
Di masa pemerintahan sultan pertama ini disusun undang-undang Kesultanan
Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntala, selain itu di bangun Istana Luhur
sebagai keratin Kesultanan Kotawaringin. Sultan juga membangun Perpatih (rumah
patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (rumah panglima Perang) Gadong
Asam, selain itu untuk keperluan perang dibangun Pa’agungan sebagai tempat
menyimpan senjata dan beliau juga membangun surau serta paseban. (Bappeda :
2004 : 9-10)
Selain pembangunan fisik sultan
juga menentukan batas-batas wilayah Kesultanan Kotawaringin yaitu :
1)Sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sarang Pruya
(Kerajaan Sintang).
2)Sebelah timur berbatasan dengan sengai Mendawai.
3)Sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Simbar
(Kerajaan Matan).
4)Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa. (Bappeda :
2004 : 10)
Sultan kedua adalah Pangeran Mas Adipati yang memerintah dari tahun 1630-1655 M
dengan Mangkubumi Kyai Gede yang kemudia digantikan oleh Dipati Gading. Setelah
beliau wafat digantikan oleh Pangeran Panembahan Anum yang memerintah dari
tahun 1655-1682 M dengan Mangkubumi Dipati Gading. Sultan Kotawaringin yang
keempat adalah Pangeran Prabu yang memerintah dari tahun 1682-1699 M dengan
Mangkubumi Pangeran Dira. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Dipati
Tuha yang memerintah dari tahun 1699-1711 M dengan Mangkubumi Pangeran Cakra.
Sultan Kotawaringin yang keenam adalah Pangeran Penghulu yang memerintah tahun
1711-1727 M. Keseluruhan sultan dari yang kedua hingga yang keenam dimakamkan
di Kotawaringin, penulis sendiri tidak menemui penjelasan yang banyak tentang
sultan kedua hingga yang keenam. Menurut Lontaan dan Sanusi pada masa-masa itu
kesultanan berjalan lancer, aman dan tentram tidak ada gangguan dari manapun.
Sultan Kotawaringin yang ketujuh
adalah Pangeran Ratu Bengawan yang memerintah dari tahun 1727-1761 M.
Pada masa pemerintahan beliau Kesultanan Kotawaringin mengalami masa keemasan
dengan melimpahruahnya hasil bumi dan lakunya hasil kerajinan dari Kotawaringin
di pasar regional. Sistem pemerintahan telah menugaskan beberapa menteri yang
mengepalai beberapa wilayah, seperti Menteri Kumai, Menteri Jelai dan lain
sebagainya. (Bappeda : 2004 : 11) Namun pada masa pemerintahan belaiu inlah
Kesultanan Kotawaringin diserahkan Kerajaan Banjar ke Hindia Belanda. Mulai
saat itulah pertanggungjawaban pemerintahan harus dilakukan kepada Kontrolir
Hindia Belanda.
Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha menggantikan Pangeran Ratu Bengawan sebagai
sultan kedelapan, beliau memerintah dari tahun1761-1805 M dengan Mangkubumi
Pangeran Tapa Sana. Pada masa beliau di bangun pesantren di Danau Gatal Kanan
dan Danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang) sebagai tempat mendidik putra-putri
kesultanan.
Pada masa Sultan kesembilan Pangeran Ratu Imanudin ibu kota Kesultanan Kotawaringin dipindahkan
ketepian sungai Arut yang diberi nama Sukabumi Indra Sakti yang kemudian
dikenal sebagai Pangkalan Bu’un. (wawancara dengan Gusti Awwannur : selasa 20
November 2007) Beliau memerintah dari tahun 1805-1841 M dibantu oleh Mangkubumi
Pangeran Adipati Mohamad Saleh. Pada masa pemerintahannya di bangun Benteng
Batu Beturus di sungai Lamandau dan membangun pertahanan di teluk Kumai, serta
parit pertahanan di Sukamara untuk mengatasi bajak laut. Beliau juga membangun
Istana Kuning dan rumah Raden Ratna Wilis untuk permaisuri beliau.
Sultan Kotawaringin yang
kesepuluh adalah Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah dengan Mangkubumi Pangeran Paku
Syukma Negara yang memerintah dari tahun 1847-1862 M. Setelah Sultan kesepuluh
wafat beliau digantikan dengan Pangeran Paku Syuma Negara dengan Mangkubumi
Pangeran Prabunata yang memerintah dari tahun 1862-1867 M. Pangeran Ratu Anum
Kesumayuda kemudian menggantikan kedudukan sultan kesepuluh menjadi sultan
kesebelas dari tahun 1867-1904 M dengan dibantu Mangkubumi Pangeran Paku Sukma
Negara yang kemudian digantikan oleh Pangeran Mangku Prabu Nata, pada masa
beliau ini diselesaikan pembangunan mesjid Jami dan di bangun Rumah Mangkubumi.
Setelah beliau wafat terjadi
perebutan tahta karena beliau tidak memiliki anak laki-laki, akhirnya pihak
Hindia Belanda melalui Kontrolir Van Duve engambil keputusan yang berhak naik
tahta adalah keturunan dari Pangeran Imanudin. Sehingga Pangeran Paku Sukma
Negara naik tahta kembali yang memerintah dari tahun 1904-1913 M dengan dibantu
Mangkubumi Adipati Mangku Negara. Pangeran Paku Sukma Negara kemudian
mengangkat ketiga putranya Pangeran Bagawan menjadi Raja Muda, Pangeran Kelana
Perabu Wijaya Menjadi Perpatih dan Perdipati Menteri Dalam serta Pangeran
Mohamad Zen menjadi Penghulu.
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah bin
Pangeran Begawan diangkat menjadi sultan ketigabelas dengan Mangkubumi Pangeran
Adipati Mangkunegara yang memerintah dari tahun 1913-1939 M. Pengganti beliau
adalah Pangeran Ratu Sukma Alamsyah yang dibantu Mangkubumi Pangeran Adipati
Mangku, beliau memerintah dari tahun 1939-1948. Pada masa pemerintahan beliau
dilakukan perluasan wilayah kesultanan sebagai berikut :
a.Di Kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk
pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka
dikenallah tempat itu dengan sebutan Sungai Bulin.
b.Di Kampung Raja, membuka lokasi baru untuk tempat
pemukiman penduduk Kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan /
ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un atau
disebut juga Kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan Baru.
c.Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang
Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jawa, sekarang menjadi
kelurahan Sidorejo. (Bappeda : 2004 : 18 )
Peranan Keturunan
Sultan Kotawaringin Di Bidang Kebudayaan
Di dalam bidang kebudayaan sejak
Kesltanan Kotawaringin beribukota di Kotawaringin Lama hingga dipindahkan ke
Pangkalan Bun para sultam-sultan yang memerintah membangun istana-istana dan
bangunan yang indah seperti istana Alnursari, mesjid Jami Kotawaringin dan
Istana Kuning atau Keraton Lawang Agung Bukit Indra Kencana yang bersifat
terbuka tanpa dilindungi benteng seperti di Jawa yang memiliki arsitektur
gabungan antara pengaruh jawa, banjar, melayu dan dayak.
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda terdapat hiburan sepreti
Kelompok Musik Raja dan Pernaman Abdul Mulik Sejenis Komedi Saudi Arabia. Dalam hasil wawancara penulis dengan Pangeran
Muasdjidinsyah tanggal 1 Desember 2007 dapat diketahui bahwa sejak dahulu
apabila ada peringatan hari-hari besar islam selalu diadakan pasar malam di
Lapangan Tugu, pada saat pasar malam tersebutlah ditampilkan
pertunjukan-pertunjukan kesenian khas daerah baik yang asli dari Kotawaringin
maupun dari luar daerah seperti :Jepen, Tirik, Mamanda, Ludruk, Ketoprak,
Ronggeng dan lain sebagainya. Mengenai orang-orang Tionghoa, pihak kesultanan
sengaja mengelompokkan mereka menjadi sebuah Pecinan di seberang sungai Arut
dan mereka tetap diberi kebebasan untuk mengembangkan budayanya sendiri.
Pada masa Pendudukan Jepang
kesenian daerah mulai di gali kembali. Untuk itu mereka mendirikan Keimin Bunka
Syidosyo (Badan Pusat Kebudayaan) yang bertugas menggalakkan hidupnya kesenian
rakyat. Hal ini didukung oleh pihak kesultanan dan para keturunan sultan
sendiri sehingga menumbuhkan kelompok-kelompok kesenian yang baru. Misalnya
saja, dalam waktu singkat bermunculan kelompok-kelompok sandiwara untuk
mementaskan sandiwara di desa-desa sekelilingnya. Dari segi lain dapat diambil
kesimpulan bahwa niat Pemerintah Pendudukan Jepang menumbuhkan kembali kesenian
tradisional adalah untuk menghibur tentara Jepang agar dapat mengobati
kerinduan kepada keluarga mereka di negaranya.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Ekonomi
Pada masa Pangerana Ratu Bengawan
(1727-1761 M ) Kesultanan kotawaringin mengalami masa keemasan, pada masa ini
hasil pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di eksfor keluar daerah.
Perdagangan hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat
laku di pasaran regional. Krena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu
perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin.
Kerajaan Kotawaringin yang di
bangun di awal abad ke 17 telah memacu pertumbuhan permukiman di sepanjang
sungai di daerah Kotawaringin Barat. Permukiman yang ada dipacu oleh domain
ekonomi bukan oleh domain politik yang membentuk kota-kota agrasi seperti di
Jawa. Permukiman ini menggunakan sungai sebagai alat transfortasi dan elemen
primer kota sehingga Pangkalan Bun sebagai
ibukota Kesultanan Kotawaringin berkembang menjadi kota perdagangan yang menggunakan sungai
sebagai sarana utama.
Pada waktu sultan ke 13 bertahta
sekitar tahun 1930-an, hubungan antar wilayah di muara sungai atau tepi pantai
ke daerah pedalaman sudah dapat di tempuh dalam waktu lebih singkat. Ini karena
adanya kapal-kapal dagang orang-orang Tionghoa yang diperbolehkan oleh pihak
kesultanan untuk mengangkut barang dagangan dan penumpang.
Pada masa Pendudukan Jepang di
buat pabrik-pabrik yang melibatkan kerabat istana seperti : pabrik kapal di
Sukamara dan pabrik pengolahan kulit bakau di Kumai. Pembangunan
bangunan-bangunan untuk kepentingan Jepang juga dilakukan, serta pembukaan
kembali Lapangan Terbang yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Pangeran
Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan
pendidikan terutama untuk kerbat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut
adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau
Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).
Pada masa pemerintahan Pangeran
Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah
desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan
yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu
Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan,
Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
Menjelang kedatangan Jepang,
sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta yaitu
yayasan Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi
dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut
orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa
Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.
Ketika Jepang masuk, mereka
menemukan sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang
digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih semua
sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Pelajaran bahasa Jepang dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak
sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera
mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah
upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut Taiso. (Bappeda :
2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara
Jepang yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepang juga
semakin luas seperti tari-tarian ala Jepang dan sekolah-sekolah Rakyat juga
diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada
hari-hari besar bangsa Jepang. (Bappeda : 2005 : 38).
Peranan Keturunan Sultan
Kotawaringin Sesudah Tahun 1950-1960
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang
Pemerintahan
Setelah daerah Swapraja
Kotawaringin resmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950,
daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit
yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja
Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun
sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin
semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Dengan berakhirnya kekuasan
kesultanan, maka para bangsawan dan keturunan sultan tidak lagi memiliki
jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Hanya beberapa keturunan Sultan dan
bangsawaan yang sebelumnya sudah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, tetap
dipekerjakan sebagai pegawai seperti gusti Hamidan, Gusti Majdhan, Gusti M.
Taib dan lain-lain. Para bangsawan lainnya
seperti Pangeran Aria Ningrat yang dulunya bekerja sebagai kepala distrik
kembali kemasyarakat. (hasil wawancara dengan H. Tengku A. Zailani : Senin 22
November 2007)
Menurut Mastoer bin Atjil (wawancara, Jumat, 16 Nopember 2007), pada masa
perubahan kekuasaan tersebut perekrutan pegawai negeri saat itu banyak yang
diambil dari para bangsawan dan keturunan sultan. Contohnya adalah Pangeran
Perdana yang merupakan anak sultan diangkat langsung menjadi pegawai negeri,
dan ketika itu mayoritas penduduk kedarahan raja yang kebanyakan dari kaum
bangsawan, dan keturunanya bekerja sebagai pegawai di pemerintahan.
Daerah Swapraja Kotawaringin
sebagai bagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil
Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka
pada waktu itu terpilih : M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi, Ahmad Said
dari BPRI, Dahlan Abas dari partai Masyumi, M. Sahloel dari PNI, Gusti M.
Sanusi dari PNI, Djainuri dari SKI, I. Ismail dari Parkindo. (Lontaan dan Sanusi:
1976 : 91) Dalam susunan wakil rakyat yang terpilih tersebut terlihat hanya
Gusti M. Sanusi yang merupakan kerabat kesultanan yang terpilih dalam DPRDS.
Namun ketika Swapraja
Kotawaringin menjadi Kabupaten sendiri yang disahkan dengan undang-undang No :
27 tahun 1959 tentang pembagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dapat
terlihat banyak diantara kerabat sultan yang menduduki jabatan sebagai anggota
DPRDGR, seperti : P. Arianingrat, Gst. Abdul Gani, Gst. Kiting, Gst.
Hermansyah, Mas Karim DW, dan H. A. MAS Alipandi. Masuknya beberapa nama ini
dalam DPRDGR menandakan mereka juga mulai berkecimpung didalam bidang
politik.