Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Habib Syarif Hussein Al-Qadrie

Posted: Kamis, 04 Agustus 2011 by Rusman Effendi in
0

Menurut catatan sejarah (Haji Yahya, 1999: 224; Alqadrie, 1979; Rahman, 2000:13-14; Sahar, 1982:12), Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie dilahirkan di dan berasal dari kota kecil bernama Trim, Hadralmaut, yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan pada tahun 1706. Hussein dibesarkan, dididik orang tuanya secara Islam sampai berumur 18 tahun. Ia melanjutkan memperdalam tidak saja ilmu Islam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, dari gurunya Sayyid Muhammad Hamid di Kulandi, Al-Mukalla, salah satu kota besar di Yaman Selatan, selama lebih dari 4 (empat) tahun,  sehingga ia memiliki pengetahuan agama dan umum serta wawasan luar negeri yang cukup mendalam.  Ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan, dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai Barat Afrika.
Dari pengalamannya tersebut, Hussein muda terdorong untuk menambah pengalamannya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur dimana terdapat banyak kerajaan Islam. Keinginannya itu diperkuat oleh 3 (tiga) orang rekannya satu perguruan yaitu Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi (Haji Yahaya, 1999:224). Keinginan mereka untuk melakukan perjalanan bukan saja untuk berdagang sepanjang pelayaran yang dapat digunakan untuk biaya perantauan mereka, tetapi lebih pada motivasi untuk menyebarkan agama Islam (uchuwa Islamiyah) dengan menjadi mubalig dan penyebar agama Islam.
Hal menarik dari para perantau Arab tersebut, menurut Alwi Shahab (2000:7) adalah bahwa mereka datang ke Indonesia tanpa membawa wanita -- kebanyakan mereka perjaka (unmarried men). Sesampai di kawasan Nusantara mereka menikah dengan wanita-wanita setempat, menyebut penduduk setempat (pribumi/bumi putera) sebagai achwal -- saudara dari ibu mereka --  dan mereka berperan di sektor perdagangan, sector lain dalam bidang ekonomi dan penyebaran agama Islam.
Setelah hampir satu tahun berlayar, sampailah mereka di Aceh dan bermukim di daerah ini hampir satu tahun. Menurut Haji Yahaya (1999:224) dan Rahman ( 2004: 16) berdasarkan kesepakatan mereka, Sayid Abu Bakar  Alaydrus tetap tinggal di Aceh sampai akhir hayatnya,   sebagai guru agama, imam besar dan diberi gelar Tuan Besar Aceh; Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Kesultanan Siak dan menetap di sana sampai ia wafat, juga diangkat sebagai seorang ulama ulung  dan mendapat gelar Tuan Besar Siak; Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi melanjutkan perjalanan ke kawasan Semenanjung Malaka dan akhirnya  menetap di Kesultanan Trengganu sampai akhir hayatnya, diberi gelar Datuk Marang.
Sesuai dengan petunjuk gurunya agar ia mencari tempat pemukiman di sebelah timur negeri yang subur penuh dengan pepohonan menghijau, Hussein Al-Qadrie meninggalkan Aceh menyelusuri Pantai Timur Sumatera melalui beberapa kerajaan Islam yang didengarnya dari para pedagang lainnya. Kerajaan dimaksud adalah kesultanan Islam di Semenanjung Malaka, Siak, Riau, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram dan di Jawa Timur, serta negeri Betawi atau Batavia yang menjadi pusat perdagangan VOC (Rahman, dkk., 2000; Haji Yahaya, 1999:224-225; cari Sejarah Indonesia lainnya). Akhirnya ia sampai di Betawi dan berada di sana lebih dari 7 (tujuh) bulan untuk melakukan syiar Islam bersama dengan para sayyid -- pedagang dan perantau Arab lainnya -- yang berada di situ.
Selama di Batavia Habib Hussein sering mengikuti pelayaran pulang pergi ke Cirebon, Pekalongan dan Semarang. Ia menyaksikan perkembangan Agama Islam di kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu memutuskan untuk menetap di Semarang bersama dengan Syech Salam Hambal -- seorang pedagang dan ulama yang juga berasal dari Arab --  yang mengajaknya menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.  Setelah dua tahun berada di Semarang, Habib Hussein masih ingin melanjutkan perjalanan ke kawasan yang dipesankan oleh gurunya untuk mencari pemukiman yang cocok untuk tempat tinggal keturunannya -- kawasan yang subur dengan hutan lebat menghijau. Kawasan tersebut adalah pantai barat Kalimantan sebagaimana diceriterakan oleh Syech Salam kepadanya yaitu Matan, Sukadana -- dua kesultanan Islam yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Ketapang --  dan Mempawah -- sebuah kesultanan Islam tertua di Kalbar dan menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Pontianak.
Dengan dukungan moril dan material dari dan dihantar oleh Syech Salam Hambal, Hussein Al-Qadrie dalam umur 29 tahun melanjutkan perjalanan ke Matan. Di sini ia diterima penduduk setempat, disenangi oleh murid-muridnya dan mendapat simpati dari keluarga Kerajaan,sehingga Habib Hussein Al-Qadrie diangkat sebagai tokoh penting, yaitu Hakim atau Qadhi dalam peradilan di Kerajaan Matan.
Dari  perkawinannya dengan Nyai Tua -- puteri Sultan Ma’aziddin -- Habib Hussein Al-Qadrie memperoleh 4 orang putera dan puteri yaitu bernama Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah dan Syarif Alwie Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Al-Qadrie  lahir di Matan pada pukul 10 pagi, hari Senin 15 Rabiul Awal tahun 1151 H bertepatan dengan 1739 M.
Baru 3 (tiga) tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Matan, kemasyhurannya sebagai ulama dan hakim pengadilan telah tersebar ke Kerajaan Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Raja Mempawah, Opu Daeng Manambon, yang berkedudukan di Sebukit yang bernama Pangeran Tua, meminta kepada Sultan Matan dan Habib Hussein agar bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam dan menjadi imam besar di sana (Sahar, 1983:18; Rahman, 2000:25-26). Permintaan itu tidak segera dipenuhi oleh Hussein Al-Qadrie, karena ia belum lama berada di Matan. Setelah berada di Matan selama 17 tahun, akhirnya pada tahun 1755M Habib Hussein baru dapat memenuhi permintaan tersebut, dan pada tahun 1755 ia bersama keluarganya pindah ke Mempawah dan membangun pemukiman baru di Galah Herang dalam kawasan kerajaan itu.


0 komentar: