Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Hikayat Panglima Burung (Bulan Jihad)

Posted: Senin, 26 April 2010 by Rusman Effendi in
2


Hikayat Panglima Burung justru menjadi  sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan etnis tahun 2001 di Kalimantan Tengah.  Saat itu Panglima Burung sebagai tokok gaib Dayak benar-benar dijadikan sandaran dalam menghadapi serangan etnis tertentu dari seberang. Apa boleh  buat, sesuatu  yang  telah dilupakan menjadi bangun  ke alam nyata. Lalu siapa Panglima Burung dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami  DAS Barito.
Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari  2001 di Sampit memaksa Panglima Burung hadir  “dan membantu warga  suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad, seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali, Ketua Pondok  Pesantren Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung (adalah) seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar hajjah”)

Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga menurunkan beberapa  tokoh  legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima sakti   lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu  terdapat dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima Api.
Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita berparas  cantik  namun  berwatak  bengis.  Panglima  Burung  sudah  ada  jauh sebelum Indonesia terbentuk”.  Namun begitu, yang mengejut­kan dari penuturan Kiyai Juhran ini adalah karena sosok  Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan menyandang titel seorang hajjah.

Dibawah judul: “Bulan Jihad itu Panglima Burung?”Anggraeni Antemas mengabarkan: “Pada 52 tahun yang lalu, tepatnya dalam bulan Januari 1949″, dalam kapasitas sebagai wartawan dan kolomnis Harian “WARTA BERITA” Medan, beliau pernah menulis. Isi tulisan menuturkan tentang “seorang pejuang wanita suku Dayak di udik (sungai) Barito yang  sakti  mandraguna. Konon, dia mengagumkan bukan saja karena keberaniannya menghadapi serdadu Belanda pada awal abad ke-19 tetapi juga  wajah dan sosok puteri Dayak tersebut adalah cantik namun beringas”. Kata Anggraeni, “Saya bersama Arsyad  Manan, wartawan Mingguan “WAKTU” memang telah bersepakat untuk menulis tentang kepatriotan pejuang wanita Dayak tersebut. Saya menulis untuk WARTA BERITA dan Arsyad Manan untuk WAKTU. Sumber utama kami  adalah   dua  orang  tokoh Dayak Kuala Kapuas yaitu Willem Anton Samat dan Adonis Samat (ayah dan  anak), yang   sama-sama senasib dengan kami sebagai orang politik “Republikein” yang tertawan masuk “Interneerings camp” Belanda pada clash II tahun 1948 di Banjarmasin. WA Samat dan Adonis Samat  bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti (Ratu) Zaleha dalam Perang Barito.  “Amuk Barito itu  terjadi  pada tahun  1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun,  Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan  bersatu  bahu  membahu  menghadapi serangan Belanda.  Nama-nama  pahlawan  Banjar seperti  Pangeran Antasari Gusti Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan  (para pahlawan Dayak  seperti) Temanggung Surapati,   Antung,  Kuing,  Temanggung  Mangkusari   dan  lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.

Dalam rentang perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”. Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha   kawan seperjuangannya.

Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah, Waja Sampai ka  Puting”. Dan karena ceritera kepahlawanan ini tetap diragukan orang maka Anggraeni Antemas dalam kesempatan berjumpa dengan Bapak Tjilik  Riwut (Gubernur pertama Kalteng) di Istana Merdeka Jakarta tahun 1950 menanyakan kebenaran kisah ini. Tjilik Riwut membenarkan  keberadaan srikandi Dayak  itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan  asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948)  sejalan dengan ceritera Pak Tjilik  Riwut (1950).

Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905, lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa keputusan  Bulan  Jihad dan sisa prajurit lainnya?  Ternyata Bulan Jihad tetap bertekad meneruskan perjuangan dan terus mengembara. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan. Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dia dibawa ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.

Sejak perpisahan itu, tidak  banyak orang  yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya  Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan  rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah muslimah Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi  perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.

Dari bukti sejarah yang ditunjukkan pendahulu kita menyatakan fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.  Kata Kiyai Juhran Erpan Ali,  “(Sejak) masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan  pun juga”.

-oOo-

2 komentar:

  1. trisno says:

    CERITA NYA bagus dan mudah dipahami terimakasih atas info nya.

  1. Terima kasih atas kunjungan ....