Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Naga Dalam Tradisi Kalimantan

Posted: Sabtu, 24 April 2010 by Rusman Effendi in
6



Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Lambung Mangkurat dan Raden Suryanata atau Raden Putra pernah 'berurusan' dengan naga. Perahu layar mereka dililit dua ekor naga putih hingga tidak bisa bergerak. Konon, dua ekor naga putih itu adalah hamba dari Putri Junjung Buih, calon istri Raden Putra. Semua hewan air takluk kepada Putri Junjung Buih.

Latar belakang cerita tersebut dapat dilacak ke kosmologi orang yang mempercayai, di balik riak dan arus air sungai terdapat Alam Bawah Air yang dikuasai dewata perempuan bernama Jata. Di sana ada permukiman. Penghuninya sesekali menampakkan diri ke atas air dalam bentuk buaya. Bisa juga berbentuk Gajah Mina, yaitu makhluk mitologis seperti kuda nil namun memiliki belalai seperti gajah. Selain itu di Alam Bawah Air terdapat naga yang disebut Tambun.

Menurut sejarahwan Banjar Idwar Saleh (1983/4), Putri Junjung Buih, nenek moyang Urang Banjar itu, adalah manifestasi dari Jata, sang penguasa Alam Bawah Air. Karena itu ia mempunyai kuasa atas segala makhluk yang berada di dalam air, termasuk sepasang naga putih yang melilit perahu layar Lambu Mangkurat dan Raden Putra. Keturunanannya pun dianggap mempunyai asosiasi dengan Alam Bawah Air, yang tampak pada tradisi eksklusif badudus dari sekelompok babuhan.

Jata dalam konsepsi penduduk pribumi Kalimantan, bukan sekadar dewata perempuan. Dalam lukisan imam Dayak, ia digambarkan sebagai naga maha raksasa yang menyangga bumi. Tugasnya maha penting dan maha berat yaitu mengapungkan kepingan tanah, tempat tinggal manusia agar tidak tenggelam ke kedalaman air asali (primeval water) yang maha dalam. Ketika ia bergerak, air dan tanah juga bergerak. Gerakan itu yang disebut gempa bumi. Ketika hujan panas pada sore hari, pantulan sinar sisiknya yang terdiri atas emas tampak dalam bentuk bianglala.

Jadi, Jata adalah naga utama yang maha besar dan makhluk raksasa primordial yang sejak mula ada. Naga lain adalah pengikutnya. Dalam khazanah lokal Urang Banjar, ada dituturkan tentang leluhur yang menjelma menjadi naga. Beberapa kelompok bubuhan percaya, pasangan nenek moyang mereka dahulu tidak mati tetapi menjelma menjadi naga dan sampai sekarang masih hidup sebagai makhluk bawah air. Mereka terus memperhatikan dan menjaga anak cucunya, juga dapat menghukum kalau lalai memperhatikan adat bubuhan.
Cerita tentang leluhur yang menjelma menjadi naga juga terdapat di kalangan orang Dayak Ngaju di Kalteng. Di Tumbang Jakolok, Sungai Katingan, terdapat cerita tentang Naga Andoh. Konon, seseorang yang bernama Andoh berubah menjadi naga setelah memakan sepotong kayu yang jatuh dari pohon beringin. (Schärer 1963).

Di jalur Sungai Kahayan dikenal pula ceritra seorang bernama Tambing yang berubah menjadi Naga. Tapi sayang, riwayat Naga Nusa Tambing berakhir tragis. Ia meninggal dunia karena tanpa sengaja menyambar ekornya sendiri. Ia mengira ekornya sendiri itu adalah musuh yang sedang ditunggu. Bangkai naga yang membunuh dirinya sendiri ini kemudian mengapung di tengah Sungai Kahayan. Lama-kelamaan ditumbuhi semak dan pepohonan dan akhirnya menjadi pulau bernama Pulau Nusa Tambing. Bila bepergian ke Palangka Raya, setelah Desa Pilang akan melewati Tumbang Nusa. Di desa itulah terdapat Pulau Nusa Tambing dan Terusan Nusa.

Narasi lokal-tradisional di atas, sedikit banyak memberi beberapa informasi. Pertama, info bahwa dalam khazanah lokal Kalimantan, naga adalah simbol penguasa Alam Bawah Air. Simbol itu kemudian dimanifestasi dalam diri Putri Junjung Buih dan keturunannya. Dengan demikian, naga menjadi simbol kekuasaan politik. Hanya tutus naga yang boleh menduduki tahta. Kedua, naga ada kait-annya dengan leluhur yang gaib. Mereka tidak jauh dari anak cucunya, bisa mendatangkan rezeki dan berkat, juga bala-bencana.

Dalam bidang mitos, mengatakan, mitos bukan sekadar cerita khayal, ilusi atau dongeng yang hanya berlaku pada zaman kuno. Mitos dari zaman bahari itu masih hidup dan mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam masyarakat modern sekarang ini.

Simbol naga yang dipakai dan terpakai itu bisa dilihat sebagai proyeksi pengalaman sosial masyarakat tentang kekuatan, keunggulan dan keperkasaan di wilayah berair. Selain itu, bisa dilihat sebagai proyeksi pengalaman religius-kultural masyarakat, bahwa kehidupan yang dijalani masa kini tidak lepas dari penyertaan dan perlindungan leluhur yang hidup di masa lalu. Namun, di sisi lain simbol naga bisa juga menjadi semacam citra diri yang mengacu pada putra-putri naga yang legitim untuk hidup dan berkuasa di wilayah perairan ini.

Proyeksi dan citra diri itu penting untuk menemukan dan mengukuhkan eksistensi diri. Untuk itu diperlukan ritualisasi. Proses itu dilakukan dengan pementasan ulang mitos primordial atau pengalaman leluhur pada masa lampau. Festival, arak-arakan, pertunjukkan, pesta atau perlombaan adalah momen kudus untuk pementasan ulang itu. Namun ritualisasi itu umumnya tidak tampil tunggal tetapi bercampur dengan seni, hi-buran pertunjukkan dan keramaian. Memang agak mengaburkan proses ritualisasi itu. Namun adanya simbolisasi makhluk mitologis merupakan petunjuk, telah terjadi proses reproduksi atau penciptaan dunia kembali, kosmogoni. Menunggu NagaPada 24-25 September, naga imajiner akan meluncur anggun membelah perairan Sungai Martapura dalam rangka merayakan hari jadi Kota Banjarmasin. Dapat dikatakan, inilah cara modern untuk melakukan rekos-mogoni. Masa lalu dan simbolnya diapung-kan kembali dalam pentas kekinian. Seperti dipaparkan di atas, kehadiran sim-bol reftil raksasa itu mempunyai asal-usul. Tentunya juga, pemakaian simbol itu tidak berlangsung dalam ruang yang steril nilai dan makna. Adastruktur, habitus dan logika pikir tertentu yang melatarbelakangi simbol itu dipakai dan terpakai.
Namun bagi penghuni bantaran Sungai Martapura, ada sesuatu yang mau dikatakan dan terkatakan dengan dipakainya atau ter-pakainya simbol naga. Entah pemakaian simbol itu datang dari masa arkhaik atau dari perjumpaan dengan komunitas Cina, naga adalah gaung pesan dari masa lampau bahwa kita adalah orang-orang sungai dan seharus-nya memiliki budaya sungai.

Datanglah wahai naga perkasa. Bawakan kami ceritra pusaka, legenda purba tentang asal-usul semesta. Ingatkan kami pada petuah tetuha tentang hidup bijaksana di alam raya.

-oOo-

6 komentar:

  1. Anonim says:

    Umpat mambacai
    Mantap,Realitas mitologis spt pada cerita tsb, sampai sekarang masih berlaku di masyrakat Kalsel, khususnya daerah hulu.

    Salam Budaya

  1. Terima kasih Komentarnya ...
    Salam Budaya

  1. Anonim says:

    Artikelnya keren..
    tapi apa ada pian baiisian gambar naga nya urang Banjar ?
    pinanya jelas babeda kalu lah wan naga nya suku lain...

  1. trisno says:

    tradisi seperti ini harus dikembangkan agar anak dan cucu bisa menikmati nya.terimakasih atas info nya