Asal Mula Batu Benawa
Posted: Jumat, 27 Juli 2012 by Rusman Effendi in
0
Konon pada jaman dahulu kala, di
Desa Pagat, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bernama Diang
Ingsung dengan seorang anaknya yang bernama Raden Penganten. Kehidupan mereka
berdua diliputi dengan rasa kasih sayang, karena keluarga itu hanya terdiri
dari dua orang sehingga tidak ada anggota keluarga lain tempat membagi
kecintaannya.
Kehidupan mereka sangat
sederhana. Mereka hanya hidup dari alam sekitarnya, tanaman hanya terbatas pada
halaman rumahnya, demikian pula perburuannya terbatas pada binatang-binatang
yang ada di sekitar desa mereka.
Karena itulah maka pada uatu hari
Raden Penganten berminat untuk pergi merantau, mencari pengalaman dan kehidupan
baru di negeri orang. Demikian keras kehendak Raden Penganten, sehingga
walaupun ia dihalang-halangi dan dilarang ibunya, ia tetap juga pada
kemauannya.
Akhirnya, si ibu hanya tinggal
berpesan kepada anak satu-satunya yang ia kasihi, agar anaknya membelikan
sekedar oleh-oleh apabila anaknya kembali dari perantauan. Maka, berangkatlah
Raden Penganten ke sebuah negeri yang jauh dari desanya. Di sana ia dapat memperoleh rezeki yang banyak,
karena selalu jujur dalam setiap perbuatannya. Di sana ia dapat pula menabungkan uangnya hingga
dapat membeli barang-barang yang berharga untuk dapat dibawa kembali kelak. Di
perantauan, Raden Penganten dapat pula menikah dengan seorang putri dari negri
tersebut yang cantik paras mukanya.
Demikianlah maka Raden Penganten
dapat tinggal di perantauannya, untuk beberapa tahun lamanya. Pada suatu ketika
timbullah niat Raden Penganten untuk kembali ke negerinya dan menjumpai ibunya
yang telah lama ia tinggalkan.
Dibelinya sebuah kapal, lalu
dipenuhi dengan barang-barang. Pada saat yang telah ditentukan, berangkatlah ia
bersama istrinya menuju kampung halaman di mana ibunya tinggal. Berita
kedatangannya itu terdengar pula oleh ibunya. Ibunya yang sekarang telah tua,
dengan sangat tergesa-gesa datang ke pelabuhan untuk menjemput anaknya yang
tercinta.
Namun ketika sampai di pelabuhan,
betapa kecewanya hati Diang Ingsung, jangankan mendapat oleh-oleh yang
dipesannya dulu, mengakui dirinya sebagai ibu yang telah melahirkannya pun,
Raden Penganten tidak mau. Rupanya, di depan istrinya yang cantik jelita, ia
merasa malu mengakui Diang Ingsung yang telah tua renta dan berpenampilan
sangat bersahaja itu sebagai ibunya.
Betapa besar rasa kecewa dan
sakit hati Diang Ingsung. Tapi ia masih berusaha menginsafkan anaknya yang
durhaka itu, tapi Raden Penganten tetap membantah dan tetap tidak mau mengakui
ibunya itu. Ia malahan membelokkan kapalnya mengarah ke tujuan lain
meninggalkan pelabuhan dan Diang Ingsung yang hancur hatinya karena perbuatan
anaknya yang durhaka.
Dengan hati yang penuh diliputi
rasa kecewa dan putus asa, Diang Ingsung lalu memohon kepada yang Maha Kuasa
agar anaknya mendapat balasan yang setimpal dengan kedurhakaan terhadap
dirinya.
Seketika itu juga datanglah badai
dan topan menghempaskan kapal Raden Penganten hingga pecah menjadi dua. Tentu
saja seluruh isi kapal itu termasuk anaknya yang durhaka tenggelam dan binasa.
Adapun bekas pecahan kapal itu kemudian berunah menjadi gunung batu yang
kemudian dinamakan Gunung Batu Banawa.
Pesan Moral:
Perbuatan durhaka terhadap orang
tua sangat dimurkai oleh Tuhan. Seorang anak seharusnya berbakti, mengasihi dan
menyayangi orangtua yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkannya