Miniatur Rumah Adat Banjar

Miniatur Rumah Adat Banjar
Menerima Pesanan Pembuatan Miniatur Rumah Adat Banjar Hubungi RUSMAN EFFENDI : HP. 0852.4772.9772 Pin BB D03CD22E


Berbagi ke

Penghulu Rasyid

Posted: Rabu, 30 November 2011 by Rusman Effendi in
0

Penghulu artinya Pemimpin Keagamaan (Pimpinan Spritual) bernama Rasyid, ayah beliau bernama Ma’ali dan ibunya bernama Imur dan Kakaknya bernama Andi bin Kulah dan masih satu keturunan dengan Lambung Mangkurat, yaitu berasal dari keturunan Srilangka. Penghulu Rasyid dilahirkan pada tahun 1815 M di Desa Habau Kecamatan Banua Lawas (Kelua), bahkan rumah tempat kelahiran beliau itu dijadikan Makam Kuburan Tuan Guru Haji Arif Habau. Di lain pihak meriwayatkan (versi Haji Mukri Telaga Itar) bahwa Penghulu Rasyid dilahirkan di desa Telaga Itar pada tahun 1815 M.

Penghulu Rasyid sejak kecilnya taat beribadah serta patuh terhadap ajaran agama Islam, selain itu sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Sejak kecil belajar agama kepada orang tuanya. Setelah itu melanjutkan pelajaran kepada beberapa orang tokoh ulama, di antaranya Tuan Guru Haji Bahruddin dan Tuan Guru Haji Abdussamad. Selain itu, beliau belajar ilmu bela diri kepada salah seorang yang belum diketahui namanya.

Latar Belakang Perjuangan Penghulu Rasyid
Jauh sebelum tahun kelahiran Penghulu Rasyid (1815 M) di daerah Kelua telah berdiri sebuah Kerajaan yang bernama “BAGALONG” di wilayah Tabalong dan Daerah Pasir (Tanah Grogot). Setelah Raja Bagalong meninggal dunia, sebagai penggantinya diangkat Putera Almarhum bernama “PANGERAN NAMIN”. Sejak pemerintahan Pangeran NAMIN inilah pihak Belanda mulai berdatangan ke daerah ini yang katanya hanya berdagang.

Mereka mulai membeli rempah-rempah, hasil bumi dan hutan lainnya. Jumlah mereka kian hari kian bertambah di samping mereka mendatangkan bantuan Serdadu dari Pulau Jawa. Sehingga pada akhirnya mereka memaksa Pangeran NAMIN untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Belanda atau setidak-tidaknya bernaung di bawah kekuasaan Belanda dengan membayar upeti kepada Kerajaan Belanda .

Berkali-kali Belanda membujuknya namun Pangeran NAMIN tetap pada pendiriannya untuk tidak mau tunduk kepada Belanda. Pihak Belanda memberikan ultimatum kepada pangeran NAMIN harus mengambil salah satu pilihan, menyerah atau diperangi. Akhirnya Pangeran NAMIN melaksanakan musyawarah dengan para pembantunya yang kemudian mengambil suatu keputusan, yaitu tidak mengambil salah satu alternatif yang diajukan oleh Belanda, akan tetapi beliau bersama keluarganya serta pembantunya hijrah ke dalam hutan Baruh Undan untuk bertapa. Sedang pengawal istana dan tokoh-tokoh kerajaan yang lainnya yang tidak bersedia ke pertapaan, mereka menghindar ke pedalaman Balukut, sungai Ratin, Pelajau, Talan, Banua Rantau, Silaung, Habau dan lain–lain.

Pada pagi harinya karena belum menerima jawaban sebagai penegasan dari Pangeran NAMIN kepada Belanda, maka pihak Belanda langsung menyerang istana Kerajaan, namun ternyata Kerajaan tersebut dalam keadaan tidak berpenghuni, sedang istana sudah dibumi hanguskan oleh Pangeran NAMIN sebelum berangkat meninggalkanya. Pihak Belanda yang bermarkas di Amuntai sama sekali tidak mengetahui adanya pembumihangusan Istana tersebut.

Di lain pihak Pangeran Antasari telah menunjuk Penghulu Rasyid sebagai kepala perang di sektor Tabalong yang dalam hal ini beliau menetapkan Markas Pertahanan dan tempat latihan Prajurit dalam bergerilya di Desa Habau. Beliau didampingi oleh tiga pembantu utamanya, ialah:

1. Habib Rahban asal Demak
2. Datu Ahmad asal Habau
3. Untuk asal Telaga Itar Kelua

Keterangan :
Lokasi markas pertahanan Penghulu Rasyid ialah di Tunggung Sawu (Sungai Penghulu) Mandaling Habau Kecamatan Banua Lawas, sedang daerah penyanggulannya ialah di sekitar Telaga Itar, Muara Sungai Hanyar dan di sungai Buluh serta di Tabur.

Pernyataan perang dari Pangeran Antasari terhadap serdadu Belanda yang diploklamirkan di Tanjung pada tanggal 17 Agustus 1860 menyebabkan di seluruh wilayah Tabalong semuanya dalam keadaan bahaya. Pertempuran Pangeran Antasari yang dibantu oleh Penghulu Rasyid melawan Serdadu Belanda di Tanjung selama kurang lebih tiga hari tiga malam yang menyebabkan kira-kira 160 orang prajurit Antasari/prajurit Penghulu Rasyid telah gugur sebagai syuhada. Sedangkan dipihak serdadu Belanda, katanya kapal perangnya kembali ke Amuntai penuh dengan mayat serdadu yang juga gugur.

Penyanggulan dengan perang sistem gerilya yang dipimpin oleh Penghulu Rasyid telah dilakukan di mana-mana, pihak Belanda hampir tidak ada kemampuan lagi untuk menghadapi serangan penyanggulan dari Prajurit Penghulu Rasyid, yang dalam hal ini pihak Belanda terpaksa meminta bantuan Serdadu ke Banjarmasin.

Puncak Pertempuran
Pihak Belanda selain menggunakan cara perang juga dilakukan politik adu domba untuk memancing kelemahan-kelemahan yang menjadi kebiasaan bagi Bangsa Indonesia. Penguasa Belanda di wilayah Tabalong dan Amuntain membuat Maklumat atau Pengumuman yang isinya sebagai berikut:

BARANG SIAPA DAPAT MENANGKAP PENGHULU RASYID DALAM KEADAAN HIDUP ATAU MATI AKAN DIBERIKAN HADIAH 1.000 GOLDEN SERTA DIBERI BINTANG JASA DAN TIDAK DIKENAKAN PAJAK MEMAJAK SAMPAI TUJUH TURUN. KALAU DIA SUDAH TERBUNUH AGAR KEPALANYA DIBAWA SEBAGAI BUKTI.

Penghulu Rasyid bersama prajuritnya yang tegar dengan daya juang yang tinggi berjuang dan mengusir penjajah Belanda di Bumi Tabalong selama kurang lebih 6 tahun (1859-1865) sebagai suatu perjuangan yang tidak terpisahkan dengan wilayah perjuangan daerah-daerah lain di Kalimantan dan bahkan di Indonesia.
Pada suatu pagi yang NAHAS, Penghulu Rasyid dengan kekuatan Prajuritnya sedang disiagakan di sekitar Mesjid Pusaka Banua Lawas. Di luar dugaan, tiba–tiba serangan Belanda secara total dari segala jurusan. Akhirnya terjadilah pertempuran yang amat dahsyat dengan kekuatan yang kurang seimbang, ditambah suatu nahas bagi Pimpinan Griliawan yang gagah perkasa ini, Penghulu Rasyid, yang didampingi oleh sepupu beliau sebagai pendamping yang setia menyingkir keluar dari sektor pertempuran. Sementara seluruh prajuritnya sebagian ada terus mengadakan perlawanan dan sebagian lainnya ada yang mundur. Penghulu Rasyid beristirahat di bawah pohon berunai di sebelah Timur dari Jihad Mesjid Pusaka Banua Lawas.

Tempat persembunyian Penghulu Rasyid bersama sepupu beliau bernama Umpak telah tercium oleh Sepiun Belanda, yaitu kawan seperguruan Penghulu Rasyid yang kebetulan menjadi Pembakal (Kepala Desa) bernama BUSAN asal Sungai Rukam Kecamatan Kelua.
Pembakal BUSAN langsung saja menemui sasarannya dengan membayangkan uang kontan 1.000 Golden serta Bintang Jasa dan tidak dikenakan Pajak selama 7 turunan.
Seraya berkata :
“Akhirnya kita bertemu juga wahai sahabat, sebaiknya sahabat lebih baik menyerah daripada meneruskan perjuangan yang tidak bakal menang juga melawan Serdadu Belanda yang lebih kuat dan lebih hebat dari kita.”
“Saya tidak akan menyerah wahai sahabat, apapun yang akan terjadi saya tetap menghadapinya dengan penuh konsekuensi. Ingat pesan guru kita, kalau demikian pendirianmu lebih baik saya membunuh kamu seraya menghunus goloknya dengan pandangan yang ganas dan galak.”

Kalau demikian maksud sahabat yang dalam situasi begini saya tidak berdaya lagi karena luka saya sangat parah, untuk itu baiklah saya mohon diri untuk shalat ashar. Pembakal BUSAN mengangguk tanda setuju.
Penghulu Rasyid melaksanakan Shalat Ashar dan sampai pada Sujud akhir pada raka’at yang terakhir tidak bangkit-bangkit lagi, Pembakal BUSAN timbul rasa curiga dan langsung mendekatinya serta menyentuhnya pada bagian leher Penghulu Rasyid, ternyata beliau kembali kerahmatullah dalam keadaan Sujud.

Pembakal BUSAN rasa terkejut dan timbul rasa keraguan untuk mengambil langkah selanjutnya, beliau berjalan kira-kira 20 meter kemudian terbayang dalam benaknya 1.000 Golden, Bintang jasa dan Bebas Pajak 7 Turunan, dengan tidak berpikir panjang langsung memotong leher Penghulu Rasyid yang sudah dalam keadaan meninggal.

Kepalanya langsung dibawa untuk diperuntukkan kepada Opsir Belanda yang menunggu di Pos Terdepan. Namun di tengah jalan terjadi perebutan atas kepala itu dengan seorang sersan yang seolah-olah sersan itulah yang berhasil membunuh Penghulu Rasyid, akhirnya dapat dilerai oleh serdadu lain dan Pembakal BUSAN dapat membuktikan atas kebenaran dirinya.
Khabarnya uang 1.000 Golden dimaksud yang diterima oleh BUSAN hanya 500 Golden, sedang selebihnya dibagi-bagikan oleh Serdadu Belanda yang telah berusaha juga mendapatkannya. Jenazah Penghulu Rasyid dimakamkan pada sore Jum’at (setelah Shalat Ashar) di samping Mesjid Banua Lawas dalam tahun 1865 dalam usia 50 tahun.
Beliau berpulang kerahmatullah dengan meninggalkan bukti-bukti sejarah perjuangan yang tidak kecil artinya dalam memberikan semangat daya juang bagi anak cucu sebagai generasi perjuangan bangsa hingga tercapai wujud Kemerdekaan yang diidamkan oleh seluruh Bangsa Indonesia.














Bukti Sejarah :
1 (satu) buah Makam di samping Mesjid Pusaka Banua Lawas yang bernama “MAKAM PENGHULU RASYID”, Makam tersebut pada bagian bawahnya dari beton dan tehel serta pada bagian atasnya dari kayu ulin dan kubah. Kubah tersebut dibuat oleh Bidang Muskala Kanwil Depdikbud Propkalsel tahun 1998.
Makam tersebut berukuran :
Panjang : 200 cm
Lebar : 165 cm
Tinggi : 103 cm

Keadaan fisiknya sudah sangat memprihatinkan dengan perawatan yang kurang cukup memadai dan perlu mendapatkan perhatian oleh semua pihak.

Tumenggung Jalil

Posted: by Rusman Effendi in
0


Tumenggung Jalil gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja (lahir : Kampung Palimbangan, Amuntai, Hulu Sungai Utara tahun 1840, wafat : Benteng Tundakan, Balangan 24 September 1861 ) adalah panglima perang dalam Perang Banjar dengan basis pertahanan di Banua Lima, pedalaman Kalimantan Selatan. Jalil, namanya sejak kecil . Jalil merupakan seorang jaba bukan berdarah bangsawan. Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Desa Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal sebagai Kaminting Pidakan (jagoan/jawara).

Daftar isi:
1. Jalil Menyusun Kekuatan
2. Pertempuran di Amuntai, Balangan dan Tabalong
3. Benteng Batu Mandi dan Benteng Tabalong
4. Pertempuran di Benteng Tundakan 24 September 1861

1. Jalil Menyusun Kekuatan
Jalil diberi gelar Tumenggung Macan Negara oleh Sultan Tamjidillah II, karena itulah ia dikenal juga dengan sebutan Tumenggung Jalil. Kemudian Tumenggung Jalil memihak kepada Pangeran Hidayatullah dan diberi gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja oleh Pangeran Hidayatullah. Pada tahun 1859 Tumenggung Jalil telah menyusun kekuatan di Banua Lima. Tumenggung Jalil membuat pos-pos penjagaan di sekitar Babirik, Alabio dan Sungai Banar. Di sekitar Masjid Amuntai didirikan benteng. Di sungai dibuat rintangan-rintangan sehingga mempersulit bagi kapal yang akan lewat.

2. Pertempuran di Amuntai, Balangan dan Tabalong
Pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal-kapal perang Admiral van Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam dipimpin oleh Mayor G.M. Verspyck. Kapal perang itu akhirnya sampai di Alabio, dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena rintangan yang banyak di sungai.

Pertempuran terjadi disekitar Masjid Amuntai. Dari masjid inilah keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah menyerbu dengan hanya bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan Allahu Akbar menyerbu Belanda. Korban berjatuhan dan perang berhadapanpun terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan orang kafir dan mati dalam perang itu adalah semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap rakyat yang bertempur melawan penjajah Belanda.

Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat dibawah pimpinan Matia atau Mathiyassin pembantu utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani mengamok menyerbu serdadu Belanda. Beratus-ratus yang menjadi syuhada dalam pertempuran itu, 44 orang diantaranya dimakamkan di Kaludan. Rumah-rumah penduduk ikut menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya menjadi saksi kepahlawanan rakyat Amuntai mempertahankan agama. Diantara kampung yang musnah adalah Kampung Karias, dan diantara rumah penduduk yang musnah terdapat rumah Tumenggung Jalil. Di bekas benteng yang hancur, dijadikan Belanda bivak, benteng baru terletak di pertemuan sungai Balangan dan sungai Tabalong. Pertempuran ini terjadi pada 9 Februari 1860.

Pasukan-pasukan Pangeran Hidayatullah yang tersebar di sekitar Barabai bergabung dengan pasukan Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar Pantai Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong diantara serdadu Belanda yang menjadi korban adalah Kapten de Jong.

Pertempuran ini menyebabkan serdadu Belanda mundur.
Bantuan serdadu Belanda kemudian diangkut dengan kapal perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju dan memudiki sungai Tabalong. Sebelum mencapai daerah Tabalong, serdadu Belanda menghadapi serbuan rakyat disepanjang sungai yang dilewati. Sesampai di daerah Tabalong, terjadi pertempuran dengan pasukan Tumenggung Jalil. Perlawanan rakyat cukup sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah Kelua dan Amuntai. Baru bulan Juni 1860 Belanda berhasil menduduki daerah Tabalong. Serdadu Belanda menghadapi perlawanan dari pasukan Pengeran Hidayatullah, pasukan Jalil dan pasukan Pangeran Antasari, Tumenggung Surapati yang berpusat di Tanah Dusun.
 
3. Benteng Batu Mandi dan Benteng Tabalong
Tumenggung Jalil kemudian membuat benteng di Batu Mandi dan dari benteng ini dapat memutuskan hubungan serdadu Belanda antara Barabai dan Lampihong. Benteng ini terletak di atas sebuah bukit dan di sekitarnya diberi rintangan-rintangan, seperti parit-parit, lubang perangkap, tali jerat dan potongan pohon kayu besar yang sewaktu-waktu dapat digulingkan dari atas bukit. Benteng ini dipercayakan kepada Penghulu Mudin. Ketika serdadu Belanda menyerbu dan menaiki bukit yang dijadikan benteng ini, banyak sekali korban dari pihak Belanda, karena jebak (ranjau) yang dibuat. Diantara yang jatuh korban adalah pimpinan penyerbuan ini Sersan van de Bosch.

Karena gagal menaiki benteng tersebut, serdadu Belanda menembaki benteng ini dengan meriam dari bawah. Sementara itu Pangeran Antasari memperkuat benteng Tabalong. Pangeran Antasari menaikkan bendera di atas benteng itu, yaitu bendera merah dengan dua buah keris bersilang.

Benteng Batu Mandi dipersiapkan dengan sungguh-sungguh oleh Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah.
 
Disamping itu terdapat pula Pangeran Syarif Umar, ipar Pangeran Hidayatullah, Pangeran Usman kemenakan Pangeran Hidayatullah.
 
Sedangkan Tumenggung Jalil mempersiapkan pertahanan di sepanjang sungai Balangan. Sebelum sampai ke benteng ini, terdapat kubu-kubu pertahanan di batang Balangan. Di daerah Batang Alai terdapat kekuatan dibawah pimpinan Demang Jaya Negara Seman dan Kiai Jayapati.
 
Pusat kekuatan telah dibagi dan dipencar-pencar Pangeran Antasari tetap bertahan di sekitar Amuntai, Kalua dan Tabalong, sedangkan Jalil berada di pusat kekuatan di Pasimbi, yang berusaha menghambat gerakan serdadu Belanda menuju Batu Mandi. Kubu-kubu pertahanan Jalil selain di Pasimbi, juga terdapat di Lampihong, Layap, Muara Pitap dan lain-lain. Ketika serdadu Belanda sampai ke benteng Batu Mandi pada tanggal 13 Oktober 1860 ternyata benteng itu telah dikosongi.
 
Belanda sangat kecewa karena sebelum mencapai benteng Batu Mandi, serdadu Belanda menghadapi perlawanan yang gencar dari segala pelosok, ternyata benteng itu telah kosong.
 
4. Pertempuran di Benteng Tundakan 24 September 1861
 Garis pertahanan Pangeran Antasari antara benteng Pengaron, benteng Tundakan dan Gunung Tongka (di daerah Barito) merupakan basis perjuangan yang tak mudah ditaklukkan Belanda. Tumenggung Jalil setelah terpukul di Banua Lima, kemudian menggabungkan diri ke benteng Tundakan bersama-sama Tumenggung Baro dan Pangeran Maradipa. Ketika terjadi pertempuran menghadapi pasukan serdadu Belanda yang menyerbu benteng Tundakan, banyak korban berjatuhan kedua belah pihak.
 
Benteng di dipertahankan dengan sekuat tenaga oleh para pejuang tak kenal menyerah.
 
Mati syahid adalah idaman mereka dalam setiap pertempuran menghadapi orang kafir Belanda. Pertempuran itu terjadi pada 24 September 1861.
 Tumenggung Jalil mempertahankan benteng itu bersama-sama Pangeran Antasari dan tokoh pejuang lainnya. Benteng Tundakan hanya dipertahankan dengan 30 pucuk meriam dan senapan jauh lebih kecil dibanding dengan persenjataan Belanda. Meskipun dengan persenjataan yang kecil, tetapi dengan semangat juang tak kenal menyerah, akhirnya Belanda terpaksa mundur dan dapat dihalau dari tempat pertempuran.

Dengan demikian benteng Tundakan dapat dipertahankan dan diselamatkan. Setelah usai ternyata Tumenggung Jalil gugur sebagai kesuma bangsa. Mayatnya ditemukan dalam tumpukan tumpukan mayat-mayat serdadu Belanda, jauh di luar benteng. Ketika perang sedang berkecamuk, Tumenggung Jalil mengamok ke tengah-tengah musuh, dan dia menjadi korban bersama-sama serdadu Belanda yang dibunuhnya. Tumenggung Jalil menjadi syahid, seorang putera bangsa terbaik telah hilang.
 
Kebencian Belanda kepada Tumenggung Jalil sebagai musuhnya yang paling ditakutinya, berusaha mencari dimana kuburan Tumenggung ini. Akhirnya penghianat perjuangan memberi tahu letak kuburan tersebut.
Kuburan beliau dibongkar kembali oleh kaki tangan Belanda, tengkoraknya diambil dan disimpan di Negeri Belanda, sisa mayatnya dihancurkan dan dia pejuang bangsa yang tidak mempunyai kubur.

Al-Fatihah buat sidin! Bismillahirrahmannirrahim…

Kutipan dari WAPEDIA
Wiki: Tumenggung Jalil

A. M. Sangaji di Kalimantan

Posted: by Rusman Effendi in
0


Di Jakarta Pusat, Yogyakarta, Samarinda, atau mungkin di kota lainnya, terdapat nama Jalan A.M. Sangaji. Penamaan jalan untuk mengenang A.M. Sangaji selaku pejuang perintis kemerdekaan Indonesia kelahiran Maluku. Ia seangkatan dengan pejuang perintis kemerdekaan lainnya seperti H.O.S. Cokroaminoto dan H. Agus Salim. Oleh para pejuang kemerdekaan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, A.M. Sangaji disebut sebagai pemimpin tua. “Jago Tua”, kata beberapa surat kabar di ibukota Republik. “Hindeburg Kalimantan”, kata s.k. Merdeka Solo. Belanda dan Jepang pun tahu tentang kedudukan beliau sebagai pemimpin tua itu. A.M. Sangaji memiliki mobilitas. Ia tidak hanya di Maluku, tapi juga pernah berkiprah di Borneo, terlebih lagi di Jawa. Di tahun 1920-an, saat berada di Surabaya, ia melakukan korespondensi dengan Mohamad Horman, seorang tokoh pergerakan Sarekat Islam cabang Banjarmasin.

Tidak hanya itu, ia juga pernah lama tinggal di Borneo untuk menggelorakan semangat kebangsaan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Di Samarinda Kalimantan Timur, A.M. Sangaji melalui Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat (BPPR) yang didirikannya ia mengelola Neutrale School untuk menampung anak-anak sekolah dari kalangan bumiputera.









Setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, A.M. Sangaji mengkoordinir suatu perjalanan panjang yang dilakukan oleh 3 grup/gelombang dari Samarinda ke Banjarmasin untuk bertemu dengan pimpinan BPRI sekaligus memberitahukan proklamasi kemerdekaan, mengibarkan bendera, dan memberikan kesadaran kepada rakyat di daerah-daerah yang dilalui.

Rombongan A.M. Sangaji tiba di Marabahan Kalimantan Selatan, akan tetapi beberapa saat kemudian yakni pada bulan April 1946 polisi Belanda berhasil menangkap A.M. Sangaji dan memenjarakannya di penjara Banjarmasin, yakni bangunan penjara yang lokasinya sekarang ditempati Gedung Pos Besar Banjarmasin. Penjara Banjarmasin saat itu penuh sesak dengan tawanan. Sebagian besar adalah hasil penangkapan besar-besaran yang dilakukan Belanda pasca meletusnya pemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, pemberontakan 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “trikesuma” di Barabai tanggal 19 ke 20 Maret 1946.

Banyaknya pejuang yang ditangkap Belanda, mengakibatkan penjara Banjarmasin penuh sesak dengan para tawanan. Mereka yang mengalami mengatakan hanya berdiri, dan sukar bebas bernapas dan bahkan kelaparan karena makanan seringkali diberikan satu kali sehari dengan porsi sepiring dibagi empat, sehingga kulit pisang yang dilempar penjaga pun menjadi santapan dan rebutan. Akan tetapi, banyaknya pejuang dan saat dijebloskannya A.M. Sangaji ke dalam penjara Banjarmasin, telah menjadikan penjara itu seolah-olah daerah kekuasaan Republik.

Pak Sangaji masuk dengan lenggang yang gagah, ayun tangan sebagai seorang prajurit yang menang perang. Seruan merdeka bergemuruh sebagai sambutan dari segenap bilik penjara. Dan dari bangsal D (bangsal yang besar) bergema lagu Indonesia Raya. Polisi tak bisa bertindak apa-apa.

Di dalam Majalah Mandau yang diterbitkan oleh Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) di Yogyakarta (1948) Pak Sangaji menceritakan, “Keadaan kami ketika itu dalam penjara adalah sebagai dalam daerah merdeka, daerah Republik, di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya, ada polisinya, ada dokternya, ada kadi-nya dan terutama pemuda-pemuda sebagai prajurit yang menjadi isi tempat tahanan itu”, kata Pak Sangaji.

Selepas keluar penjara Banjarmasin, A.M. Sangaji menyeberang ke pulau Jawa. Ia kemudian memimpin Laskar Hisbullah yang berpusat di Yogyakarta dan pernah menugaskan R. Soedirman untuk membentuk Laskar untuk daerah Martapura dan Pelaihari, serta Tamtomo sebagai penghubung Markas Besar Hisbullah Yogya untuk Kalimantan. Akan tetapi, ia kemudian tewas ditembak militer ketika Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta tahun 1947. Sumber: Buku “Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942 (2007)”, Buku “Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik (2007)”, Buku “Sejarah Banjar (2003)”, Buku “Provinsi Kalimantan” (1950), buku “Republik Indonesia: Kalimantan” (1953), dan Majalah “Mandau” (1948).


Sumber : http://bubuhanbanjar.wordpress.com

Baca Juga ini : Basri Sangaji, Cucu Pahlawan Nasional yang Jadi "Preman Jakarta"


Rumah Bulat, Rumah Bersejarah di Marabahan

Posted: by Rusman Effendi in
0

Rumah Bulat, demikian masyarakat setempat menyebutnya, merupakan salah satu rumah bertipe joglo. Berlokasi di Jalan Panglima Wangkang RT 8 Kelurahan Marabahan Kota, Kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Posisinya menghadap Sungai Barito. Jarak dari Banjarmasin ke lokasi lebih kurang 45 km dan bisa ditempuh dengan kendaraan darat (mobil, sepeda motor) atau melalui sungai, yakni dari Sungai Martapura, Sungai Kuin, terus ke Sungai Barito.
Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa Rumah Bulat didirikan oleh seorang demang di Kewedanan Bakumpai bernama H. Abdul Azis sekitar tahun 1875. Rumah ini kemudian digunakan sebagai gudang atau tempat menyimpan barang-barang milik Demang, sedangkan pemiliknya sendiri bertempat tinggal di sebuah rumah yang berada tepat di belakang rumah bulat tersebut.
Nilai terpenting dari rumah tersebut bukan pada arsitekturnya yang dipengaruhi bangunan joglo Jawa, melainkan nilai sejarahnya sebagai bekas markas kaum pergerakan khususnya dari kalangan pemuda Marabahan (dahulu Bakumpai).
Pada mulanya rumah ini pernah digunakan sebagai tempat kegiatan keagamaan H.M. Japeri, salah seorang ulama di Marabahan. Di awal abad ke-20 di rumah ini menjadi tempat perkumpulan musik untuk menampung bakat seni para pemuda Marabahan. Namun lama kelamaan, perkumpulan ini menjadi sebuah organisasi kepemudaan bernama Persatuan Pemuda Marabahan (PPM) dibentuk pada tanggal 1 Maret 1929 dengan ketuanya M. Ruslan, dibantu oleh Suriadi sebagai sekretaris I dan Mawardi sebagai sekretaris II dengan pelindungnya H.M. Arip, bermarkas di sebuah rumah Joglo yang disebut masyarakat setempat dengan nama Rumah Bulat.

Dalam organisasi PPM mereka mendirikan Taman Bacaan (Het Leesgezelschap) dengan nama Family Bond bertempat di Rumah Bulat bergabung dengan perkumpulan musik yang telah ada. Mereka berlangganan surat kabar dan majalah. Dari surat kabar dan majalah tersebut, para pemuda Marabahan dapat mengikuti berita dan membaca tulisan yang mempropagandakan cita-cita kebangsaan yang saat itu telah tumbuh di Jawa maupun ditempat lainnya. Selain itu datangnya tokoh-tokoh pergerakan dari Jawa juga turut mewarnai tumbuhnya benih-benih kebangsaan dan semangat pergerakan di daerah ini.
Pada tahun 1930 Persatuan Pemuda Marabahan memperluas tujuan dan ruang geraknya dengan mensponsori berdirinya Sarekat Kalimantan dengan Pedoman Besarnya H.M. Arip. Perubahan nama menjadi Sarekat Kalimantan antara lain dalam rangka memenuhi syarat untuk menjadi anggota Indonesia Muda yang dibentuk setelah Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.
Susunan pengurus Sarekat Kalimantan terdiri dari M. Ruslan (Ketua), A. Gani (Wakil Ketua), A. Sunhaji (Penulis I), Sabran (Penulis II), Tambi (Bendahara I), Matran (Bendahara II), dan H. Basirun, Sabran B, Muhiddin serta Imbran (Pembantu-pembantu) dengan Ketua Pedoman Besarnya adalah H.M. Arip. Dalam anggaran dasarnya disebutkan, Sarekat Kalimantan bertujuan ke arah keekonomian dan kesosialan.
Setelah terbentuknya cabang-cabang Sarekat Kalimantan di daerah lainnya di Kalimantan, maka Sarekat Kalimantan melangsungkan kongresnya yang pertama pada tahun 1930 di Bakumpai (Marabahan).
Di Marabahan, atas dorongan H.M. Arip telah berdiri pula PHIS Swasta pada tahun 1929 oleh para pemuda Marabahan yang dikelola oleh Sarekat Islam. H.M. Arip (H. Matarip atau H. Muhammad Arip Bakumpai adalah seorang pedagang kelahiran Bakumpai (Marabahan) yang pulang pergi Banjarmasin – Surabaya. Ketika berada di Surabaya, H.M. Arip turut aktif dalam pergerakan dengan menjabat sebagai Komisaris SI di Surabaya. Dan atas anjuran ketua SI OS Cokroaminoto, H.M. Arip membawa Sarekat Islam ke Kalimantan Selatan.
Mula-mula PHIS dipimpin dan diajar oleh Marjono (pegawai Borneo Post). Mengingat pesatnya perkembangan sekolah tersebut, Marjono mendatangkan teman-temannya yakni Sutomo dan Sunaryo anggota Sarikat Buruh di Surabaya untuk menjadi guru di PHIS.
Pusat kegiatan PHIS bertempat di “Rumah Bulat” bergabung dengan Sarekat Kalimantan (sebelum menjadi BINDO). Sekolah PHIS ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat Marabahan, sehingga jumlah muridnya semakin banyak. Guru-guru PHIS menggembleng semangat kebangsaan pemuda-pemuda Marabahan melalui pengajaran dan juga kepanduan yang waktu itu bernama Borneo Padvinder Organisatie (BPO).
Setelah berlangsung enam bulan kegiatan PHIS mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Hindia Belanda. Marjono, Sutomo dan Sunaryo dicurigai sebagai anggota partai terlarang. Keterkaitan mereka dengan PARI diketahui Belanda menyusul ditemukannya dokumen-dokumen PARI di Singapura. Diantara dokumen tersebut terdapat surat-surat dari Marjono, Sutomo dan Sunaryo dari Marabahan. Belanda mengambil tindakan tegas dengan menggrebek Rumah Bulat, dan menahan Marjono dan Sunaryo dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (Irian Barat). 
Atas anjuran Marjono sewaktu akan ditahan agar kegiatan PHIS tetap dilanjutkan dengan bantuan Taman Siswa, maka tokoh-tokoh Marabahan bersama Sutomo yang muncul kemudian berangkat ke Yogyakarta menemui tokoh-tokoh Perguruan Taman Siswa. Sebagai hasil hubungan itulah pada tahun 1931 Ki Hajar Dewantara mengirimkan guru-guru Taman Siswa yaitu M. Yusak, Sundoro dan Yusyadi.
Sejak PHIS dibantu pengelolaannya oleh ketiga guru tersebut, maka paada tanggal 1 Januari 1931 atas persetujuan bersama ditetapkan bahwa PHIS dijadikan Perguruan Taman Siswa cabang Marabahan dengan kegiatan bertempat di Rumah Bulat. Dari Marabahan, Taman Siswa berkembang di daerah lainnya seperti di Banjarmasin Kandangan, Barabai, Kelua dan Kuala Kapuas.
Sekolah Taman Siswa ini hanya menyelenggarakan pendidikan setingkat Taman Muda atau tingkat pendidikan kelas 4-6 untuk anak-anak berumur 10 s.d. 13 tahun. Meski demikian, orang dewasa juga dapat mengikuti pendidikan yang dikelola Perguruan Taman Siswa pada sore hari.
Setelah tahun 1942, tentara Jepang datang ke Marabahan dan mengambil alih Rumah Bulat. Namun tidak berlangsung lama, karena Marabahan kembali dikuasai oleh NICA menyusul kekalahan Jepang melawan Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya.
Sebelum NICA datang, Rumah Bulat sudah terlebih dahulu dikuasai oleh para pemuda Marabahan yang tergabung dalam Pemuda Persatuan Rakyat Indonesia (PPRI). Organisasi ini berdiri pada tanggal 1 November 1945 di¬pimpin oleh M Ruslan, Bahaudin, dan M. Arpan.
Rumah ini juga ditempati oleh Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) IX Pelopor, yakni sembilan pelaku ekspedisi dari BPKI Surabaya pimpinan Bung Tomo. Mereka dipimpin oleh H. Ahmad Hasan dan Jaderi, berangkat dari Panarukan (7 November 1945) dengan kapal layar dan berhasil mendarat di Samuda (Sampit) pada tanggal 18 November 1945.
Selanjutnya rombongan tiba di Marabahan dan disambut oleh PPRI. Mereka kemudian rnembentuk Pemerintahan Darurat RI Daerah Marabahan.
Pagi hari tanggal 5 Desember 1945 bendera Merah Putih dikibarkan di depan Kantor Kewedanan Bakumpai, dan dinyatakan bahwa mulai saat itu Kewedanan Bakumpai rnenjadi bagian wilayah Republik Indonesia.
Setelah pengibaran bendera, para pemuda PPRI bersama BPRI dan pejuang lainnya kemudian menyerang posisi KNIL dan Polisi NICA di Marabahan. Dalam pertempuran tersebut Marabahan dapat direbut dan dinyatakan sebagai bagian wilayah RI. Bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan Bendera Merah Putih. Peristiwa tersebut sangat heroik, karena Marabahan menjadi wilayah pertama Republik Indonesia di Kalimantan dan untuk pertama kali pula bendera Merah Putih berkibar di bumi Kalimantan Merdeka.
Sumber : http://bubuhanbanjar.wordpress.com

Nasionalisme Seorang Muhammad Arip Bakumpai

Posted: by Rusman Effendi in
0

H.M. Arip atau H. Matarip (H. Muhammad Arip Bakumpai) adalah seorang putera Bakumpai (kini Marabahan, Kabupaten Barito Kuala Kalsel). Meski demikian, ia sebenarnya mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan semangat nasionalisme di Kalimantan Selatan (Zuider Afedeling van Borneo). Profesi kesehariannya adalah pedagang yang pulang pergi Banjarmasin-Surabaya. 
Namun, karena profesi itulah ia memperoleh banyak pengalaman, pengetahuan dan hubungan dengan dunia luar, melakukan kontak-kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan di tanah Jawa dan melihat kemajuan pergerakan di daerah lain, sehingga ketika kembali ke kampung halaman turut menjadi pelopor atau penggerak organisasi pergerakan di daerah ini. Ia adalah pembawa organisasi Sarekat Islam ke Kalimantan Selatan. Ketika berada di Surabaya, H.M. Arip turut aktif dalam pergerakan dengan menjabat sebagai Komisaris SI di Surabaya.

Atas saran Vorzitter Central Sarekat Islam, OS Cokroaminoto agar mendirikan cabang SI di Kalimantan, maka H.M. Arip bersama rekan-rekannya seperti Sosrokardono, mereka mendirikan SI di Banjarmasin dan beberapa kota di Kalimantan Selatan. Sehingga kemudian pada tahun 1914 Sarekat Islam berdiri di Banjarmasin dan mendapat pengakuan badan hukum (rechtspersoon) dengan besluit Gubernur Jenderal Nomor 33 tanggal 30 September 1914. Dari Banjarmasin, SI berkembang di beberapa kota di Kalimantan Selatan.
 
Di Marabahan, atas dorongan H.M. Arip telah pula berdiri HIS Swasta yang dikelola oleh Sarekat Islam dan di kemudian hari nantinya menjadi Perguruan Taman Siswa.
Peran H.M. Arip terukir pula pada saat dibentuknya Persatuan Pemuda Marabahan (PPM) pada tanggal 1 Maret 1929. Organisasi ini diketuai M. Ruslan, dibantu oleh Suriadi sebagai sekretaris I dan Mawardi sebagai sekretaris II dengan pelindungnya H.M. Arip, bermarkas di sebuah rumah Joglo yang disebut masyarakat setempat dengan nama Rumah Bulat, yakni sebuah rumah bertipe Joglo di jalan Panglima Wangkang, Marabahan sekarang. 
 
Ketika Persatuan Pemuda Marabahan memperluas tujuan dan ruang geraknya dengan mensponsori berdirinya Sarekat Kalimantan pada tahun 1930, maka H.M. Arip kembali berperan sebagai Pedoman Besarnya. Perubahan nama menjadi Sarekat Kalimantan antara lain dalam rangka memenuhi syarat untuk menjadi anggota Indonesia Muda yang dibentuk setelah Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.
 
Pada saat kongres Sarekat Kalimantan yang ke-2 tahun 1931 di Barabai, para peserta kongres organisasi Sarekat Kalimantan menyatakan kebulatan tekad untuk menjadikan Sarekat Kalimantan berasaskan kebangsaan dan merubah organisasi menjadi sebuah partai politik dengan nama Barisan Indonesia (BINDO) dengan Pedoman Besarnya H.M. Arip. Perubahan itu menjadikan Barisan Indonesia (BINDO) merupakan organisasi lokal pertama yang berasaskan kebangsaan dan non-cooperatif yang dibentuk atas inisiatif para putera daerah Kalimantan Selatan.
Tiga tahun setelah pengrebekan PNI cabang Banjarmasin, maka dibentuklah cabang PNI Pendidikan di Marabahan pada tahun 1932. Organisasi ini dipimpin Musyaffa (Ketua); dibantu oleh Sunhaji (Penulis); seorang bendaharawan, M. Yusak (Pembantu Umum); dan sebagai pelindung H. M. Arip.
 
Keberadaan Perguruan Taman Siswa di Kalimantan Selatan juga tidak terlepas dari peran H.M. Arip. Mula-mula Taman Siswa berdiri di Marabahan dan kemudian di Banjarmasin dan Barabai. Cikal bakal lahirnya Taman Siswa bermula dari Particuliere Hollands Inlandse School (PHIS) atau HIS Swasta pada tahun 1929 yang didirikan pemuda Marabahan dan dikelola oleh Sarekat Islam yang nota bene dibidani oleh H.M. Arip. Ketika pemerintah Hindia Belanda menangkap guru-guru PHIS Marabahan yakni Marjono, Sutomo dan Sunaryo dan membuangnya ke Boven Digul, maka Atas anjuran Marjono sewaktu akan ditahan agar kegiatan PHIS tetap dilanjutkan dengan bantuan Taman Siswa, maka tokoh-tokoh Marabahan bersama Sutomo yang muncul kemudian berangkat ke Yogyakarta menemui tokoh-tokoh Perguruan Taman Siswa. Sebagai hasil hubungan itulah pada tahun 1931 Ki Hajar Dewantara mengirimkan guru-guru Taman Siswa yaitu M. Yusak, Sundoro dan Yusyadi
 
H.M. Arip terus berkiprah dalam menanamkan semangat kebangsaan di kalangan bumiputera. Ia tidak hanya berperan dalam kepengurusan organisasi, namun juga terjun langsung sebagai guru, sebagaimana ia lakoni sebagai guru kursus dan sekolah Neutralschool di Birayang yang dikelola Parindra Cabang Birayang.
 
Demikian sekelumit peran historis yang dapat dimunculkan dari seorang Muhammad Arip Bakumpai yang dikutip dari buku “Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942″. Banyak sisi lain yang belum terungkap dari kehidupannya.Foto di atas adalah sosok beliau di tahun 1939, dan hingga saat ini merupakan satu-satunya foto yang dapat diperoleh dari keturunan beliau di Marabahan. Semoga ada yang bergerak untuk menyusun biografi beliau secara lebih utuh.
 
Sumber :  http://bubuhanbanjar.wordpress.com

Gerakan Tengkorak Putih

Posted: by Rusman Effendi in
0

 
Gerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya yang terdapat pada periode akhir Perang Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (Zuider Afdeling van Borneo) dan secara organisatoris berada di luar organisasi tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Meskipun keberadaan Gerakan Tengkorak Putih relatif singkat yakni dari menjelang Pertemuan 2 September 1949 di Munggu Raya hingga tahun 1950, aksi-aksinya mempunyai dampak yang cukup berarti terhadap kemajuan gerilya dan perkembangan politik waktu itu.

Gerakan Tengkorak Putih yang dalam berbagai pustaka disebut juga sebagai Divisi Tengkorak Putih atau Lasykar Rakyat Murba, hanyalah salah satu dari kelompok gerilya yang ada di Kalimantan Selatan dan berjuang bahu membahu dengan tentara ALRI Divisi IV.

Situasi dan kondisi Kalimantan Selatan pada bulan-bulan pertama 1949 sebenarnya kurang memberikan iklim kondusif terhadap terbentuknya kelompok gerilya ini, mengingat adanya usaha-usaha konsolidasi yang dilakukan oleh Pemerintah Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan untuk menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pusat komando perjuangan dalam melawan Belanda. Namun, dengan adanya pejuang-pejuang asal Kalimantan yang datang dari Jawa yang menolak menggabungkan diri ke dalam tentara ALRI, telah memungkinkan terbentuknya kelompok gerilya ini melalui sebuah kompromi.

Gerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya, tepatnya sebuah pasukan rakyat dari organisasi kelaskaran yang turut bergerilya dan bukannya pasukan dari sebuah organisasi ketentaraan. Gambaran ini tentunya tidak terlalu jauh dari kenyataan mengingat organisasi atau formasinya yang bersifat seadanya dan tidak memiliki aturan-aturan yang formal. Pengikat keanggotaan kelompok gerilya ini sendiri bersifat longgar, yakni tujuan dan kepentingan yang sama dalam melawan Belanda, sehingga tidaklah mengherankan apabila kelompok gerilya ini mudah mengalami perpecahan menyusul penarikan mundur serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA dari daerah Hulu Sungai.

Aksi-aksi Pasukan Tengkorak Putih terhadap Belanda yang muncul se¬telah pertemuan di Munggu Raya sehingga terkesan tidak mematuhi kesepakatan cease fire yang ditujukan kepada semua kelompok bersenjata, telah mengangkat nama kelompok gerilya ini yang sebelumnya kurang begitu dikenal luas.
Meski secara organisatoris Pasukan Tengkorak Putih berdiri sendiri, secara taktis aksi-aksinya banyak dipengaruhi oleh Komando Tentara ALRI Divisi IV, menyusul dengan semakin banyaknya tentara ALRI yang menjadi “anggota” kelompok gerilya ini dalam rangka menghadapi serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA yang seringkali melanggar perintah cease fire. Dari sinilah dapat terlihat adanya ciri khas yang menonjol dari kelompok gerilya ini yakni ia telah bekerjasama atau dimanfaatkan oleh Tentara ALRI sebagai “senjata” untuk menyerang serdadu dan polisi Belanda dari belakang.
 
Tindakan tersebut dilakukan lantaran munculnya aksi-aksi serdadu dan polisi Belanda yang mengganggu rencana pelaksanaan cease fire, sedangkan pihak ALRI sendiri seakan tidak mampu berbuat apa-apa kare¬na merasa terikat dengan perintah cease fire tersebut.
Ciri lainnya adalah aksi-aksi kelompok gerilya ini cenderung bersifat ancaman, intimidasi atau melakukan penjagaan. Hanya sedikit aksi kekerasan yang langsung ditujukan kepada serdadu dan polisi Belanda. Hal tersebut terjadi lantaran adanya pengendalian dari tentara ALRI dan oleh adanya pengaruh usaha-usaha menciptakan suasana yang lebih aman untuk mengadakan perundingan guna menghasilkan dan melaksanakan cease fire yang resmi. Dengan demikian, adalah terlalu berlebihan apabila ada pendapat atau generalisasi yang menyatakan, bahwa aksi-aksinya telah menyebabkan banyak pertumpahan darah dimana-mana.
 
Pengaruh aksi-aksi Pasukan Tengkorak Putih terhadap kemajuan gerilya dan perkembangan politik jelas ada, namun relatif kecil. Sebabnya adalah selain aksi-aksinya cenderung bersifat ancaman dalam bentuk perang psikologis (psywar) atau berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan serdadu dan polisi Belanda, perubahan yang ada lebih disebabkan oleh pengaruh lainnya yang relevan seperti pengaruh Perundingan 16 – 17 Oktober 1949 di Banjarmasin yang menghasilkan cease fire order. Bahkan sebaliknya, perubahan yang terjadi seperti penarikan mundur serdadu dan polisi Belanda dari daerah Hulu Sungai dan terbentuknya APRIS justru sangat berpengaruh terhadap keberadaan kelompok gerilya ini.
 
Arti penting dari munculnya aksi-aksi Gerakan Tengkorak Putih tidaklah semata-mata akibat kekurangpercayaannya terhadap kesepakatan yang dihasilkan dari Pertemuan di Munggu Raya (2 September 1949) antara pihak Belanda dan ALRI Divisi IV yang difasilitasi oleh pihak Tentara Republik atau kejengkelannya terhadap aksi-aksi KNIL, KL, dan Polisi NICA yang mengacaukan rencana pelaksanaan cease fire, melainkan juga terletak pada fakta bahwa pada periode akhir keberadaannya, aksi-aksinya itu merupakan manifestasi yang antara lain disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian anggota kelompok gerilya ini terhadap kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadikan mantan anggota KNIL sebagai bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Hal ini ditambah lagi dengan adanya aspek ketersingkiran akibat adanya kebijaksanaan untuk mendemobilisasikan sebagian anggotanya ke masyarakat maupun rasionalisasi anggota Divisi Lambung Mangkurat, termasuk di dalamnya mantan anggota Pasukan Tengkorak Putih di awal tahun lima puluhan.
 
Kalau ditelusuri dari awal hingga akhir keberadaannya, tampak jelas bahwa kelompok gerilya ini mempunyai dua periode perjuangan yang saling berbeda. Periode pertama, berlangsung setelah pembentukannya sampai dengan Perundingan 16 – 17 Oktober 1949. Sedangkan pada perio¬de kedua, berlangsung setelah perundingan di Banjarmasin tersebut sampai dengan ma¬suknya kelompok gerilya ini ke dalam Batalyon 605 (Juli 1950).
 
Dari kedua periode tersebut, terlihat adanya pergeseran pola dari motif tindakan. Kalau pada periode pertama aksi-aksinya ditujukan kepada para penghianat, serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA atau kaki tangannya, maka pada periode kedua selain ditujukan kepada mantan orang-orang Belanda juga kepada orang yang dianggap merugikan atau menghalangi perjuangan mereka. Begitu pula dengan motif tindakan, pada periode pertama aksi-aksi mereka disebabkan oleh adanya keinginan untuk mengusir Belanda, sedangkan pada periode kedua juga disebabkan oleh adanya faktor kekecewaan atau rasa ketersingkiran terutama setelah adanya pembentukan APRIS dan proses demobilisasi.
 
Selain itu, terjadi pula pergeseran pandangan masyarakat terhadap aksi-aksi kelompok gerilya ini. Pada periode pertama aksi-aksinya didukung oleh sebagian besar masyarakat atau Tentara ALRI Divisi IV, maka pada periode kedua aksi-aksinya dan penolakannya untuk menggabungkan diri ke dalam Divisi Lambung Mangkurat atau kembali ke masyarakat telah menyebabkan aksi-aksinya kurang didukung, dan bahkan dipandang telah mengganggu ketenteraman umum. Dari sinilah dapat ditarik kesimpulan lainnya tentang aksi-aksinya yakni perjuangan kelompok gerilya ini cenderung “kesiangan” karena berada di saat-saat akhir Perang Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (1949-1950).
 
Sumber : http://bubuhanbanjar.wordpress.com/2011/03/07/gerakan-tengkorak-putih/#more-810
 

Ibnu Hajar

Posted: Selasa, 29 November 2011 by Rusman Effendi in
0





Menurut buku-buku sejarah tahun sekitar 1949 sampai dengan tahun 1963 di Kalimantan selatan terjadi pemberontakan dari Kesatuan rakyat yang tertindas yang dipimpin oleh ibnu hajar, seorang mantan pejuang yang ingin lepas dari NKRI dan mendirikan Negara islam Indonesia. Karena keterbatasan sumber, maka cerita ini hanya secuil yang bisa di ungkapkan dalam sejarah. Terlepas dari predikat beliau sebagai seorang pejuang atau seorang pemberontak, ada hal yang menarik tentang sosok Ibnu Hajar……

Ibnu Hajar, dilahirkan di desa ambutun ( Kab. HSS ). Tidak ada kejelasan tahun berapa ibnu hajar dilahirkan, yang jelas ibnu hajar lahir pada masa penjajahan belanda. Orang tua ibnu hajar bapaknya asli orang ambutun, dan ibunya berasal dari suku dayak di pedalaman kalimantan tengah, tepatnya di puruk cahu. Ibnu hajar waktu kecil diberi nama “Angli” . Pada saat perjuangan melawan belanda, beliau mempunyai nama samaran, yaitu ibnu hajar. Nama samaran sering digunakan oleh para pejuang untuk mengelabui belanda, dan menyulitkan belanda dalam pelacakan. Banyak nama samaran pejuang yang sampai sekarang tetap melekat di hati masyarakat. Beberapa nama pejuang seperti H.Asmawati, Daeng Lajida, Hasnan Basuki, Danu Saputera, dan lain-lain masih harum di tengah-tengah masyarakat kalsel khususnya di kabupaten hulu sungai selatan.

Ibnu hajar waktu kecil dikenal oleh teman sebaya nya sebagai anak yang pemberani. Pada waktu kecil dia sehari-hari membantu orang tua nya bercocok tanam dan berburu ke hutan di kawasan ambutun dan telaga langsat. Oleh orang tuanya ibnu hajar juga dididik dengan keras dan disiplin, dan banyak di ajarkan ilmu keagamaan, dan konon juga ibnu hajar di ajarkan oleh ibunya ilmu dari kesaktian dari suku dayak. Ibnu hajar beranjak dewasa tumbuh menjadi anak yang alim dan pemberani.

Pada saat mulai dewasa itulah jiwa nasionalisme ibnu hajar tumbuh, dia ingin membaktikan dirinya untuk membela tanah airnya, “banua”nya dari penjajahan belanda. Akhirnya ibnu hajar bergabung dengan para pejuang, seperti hasan basry. Ibnu hajar dikenal sebagai seorang yang pintar, dia sangat menguasai taktik perang gerilya dan penguasaan medan. Dan juga dia dikenal sebagai seorang yang pemberani, selalu berada di barisan depan dalam peperangan. Hanya kekurangan beliau tidak bisa baca tulis, karena memang sejak kecil tidak diajarkan oleh kedua orang tuanya, dia hanya diajarkan ilmu keagamaan dengan tulisan dan kata arab/arab melayu.

Karena peran ibnu hajar ini sangat menyusahkan belanda, sehingga oleh pemerintah belanda pada saat itu dia termasuk tokoh pejuang yang sangat berbahaya. Karena prestasi beliau itulah maka ibnu hajar menjadi tokoh dan komandan pejuang bersama hasan basry sampai masa kemerdekaan. Banyak prestasi beliau pada saat masa perjuangan itu.

Kembali terlepas kepada polemic kenapa beliau berpaling dari NKRI, intinya adalah karena ketidakadilan terhadap para pejuang kemerdekaan khususnya yang asli “banua”, campur tangan pusat yang semena-mena. Singkat kata Ibnu hajar mengkoordinir para para pejuang yang merasa termarginalkan oleh Negara, kemudian beliau dengan anak buahnya merampok gudang senjata milik TNI dikandangan ( sekarang Yonif 621 kandangan ). Setelah merebut berbagai senjata dan amunisi, beliau dan anak buahnya lari ke pedalaman gunung meratus untuk menyusun strategi dan kekuatan.

Markas besar atau basecamp kelompok “garumbulan” pimpinan ibnu hajar ini di daerah Paramasan ( daerah di pegunungan meratus sekarang termasuk dalam kabupaten banjar yang sekarang disengketakan oleh kab. Tanah bumbu karena daerah ini kaya akan hasil tambang batu bara dan bijih besi ). Paramasan terletak strategis karena ada di jantung pegunungan meratus yang dikelilingi gunung gunung yang tinggi dan terjal, disertai jurang jurang yang dalam, sehingga sulit sekali untuk bisa sampai ke daerah sana. Dan juga daerah ini mempunyai akses mudah ke seluruh daerah di kalsel. Seperti tanah bumbu, pelaihari, martapura, rantau, kandangan dan barabai. Di daerah inilah ibnu hajar menghimpun kekuatan dan menyususn strateginya. Sebenarnya banyak juga basecamp “garumbulan” di daerah lain di penjuru daerah pegunungan meratus tetapi masih dibawah komando oleh “Mabes Paramasan”.

Kelompok KRyT atau “garumbulan” ini banyak mempunyai anggota, kira kira jumlahnya ratusan orang. disana terkumpul mantan pejuang yang beralih haluan, ada juga “bubuhan tacut yang jagau” yang tidak punya pekerjaan di kampungnya karena kemiskinan dan masih morat maritnya perekonomian NKRI pada masa itu.
Tapi ada satu mata rantai yang putus antara sosok ibnu hajar dan kelompok yang dia pimpin. Ibnu hajar dikenal sebagai sosok yang alim, berwibawa, dan mempunyai rasa social yang tinggi, tetapi bertolak belakang dengan kelompok “garumbulan”.
Kelompok “garumbulan” terkenal sangat kejam, mereka tidak segan membunuh dan membantai orang, mereka sering menculik masyarakat. Mereka sering menculik masyarakat yang kaya di desa, untuk minta tebusan. Mungkin uang tebusan ini untuk digunakan sebagai dana operasional dan logistic mereka. Kalau tidak bisa ditebus maka sandera ini akan dibunuh, baru mayatnya dibuang. Kakek saya bercerita pernah ada di daerah padang batung ada anak orang kaya disana yang diculik, “garumbulan “ minta tebusan, tapi hanya sebagian saja yang bisa dibayarkan, maka sanderanya dibunuh, kemudian di potong dua bagian, sebagian diberikan kepada orang tua sandera, sebagian nya di buang. Inilah salah satu kekejaman kelompok ini. Di daerah gunung di sekitar kandangan banyak sekali menjadi “ladang pembantaian” kelompok garumbulan. Pada zaman “garumbulan “ ini banyak masyarakat di desa yang pindah ke kota karena ketakutan.

Kakek saya menceritakan banyak tentang kesaktian ibnu hajar, beliau tahan tembak, mampu berjalan dan menyeberang di atas permukaan sungai beliau mampu menghilang.( Beliau bisa berlindung dan tidak keliatan hanya dengan berpegang pada satu daun ilalang ), beliau bisa melangkahi satu buah gunung hanya dengan satu kali loncatan, banyak lagi kesaktian yang beliau miliki……
menarik memang, apakah beliau benar benar mempunyai kelebihan seperti itu, atau cuma mitos saja. Wallahu a’lam bisshawab…
Dalam menghadapi pemberontakan Ibnu Khajar, pemerintah pusat menggunakan tokoh-tokoh kharismatik local seperti Hasan Basery (mantan komandannya Ibnu Khajar) dan Idham Khalid seorang politikus dari Nahdiatul Ulama (NU), dan ada juga dari keluarga ibnu hajar sendiri untuk mermbujuk Ibnu Khajar dan KRIyTnya agar meletakan senjata.

Pada bulan Juli 1963, mungkin karena sudah banyak para pengikut dekatnya nya yang mati, ditambah dana operasional yang tidak lagi mencukupi, akhirnya dengan bujukan ibnu hajar menyerah. Dia dibujuk supaya menyerah tapi dia tetap akan menjadi tentara, dia akan diberi kenaikan pangkat dan disekolahkan kemiliteran ke jawa.

Akhirnya ibnu hajar mau menyerah. Pada saat penyerahan diri ibnu hajar, beliau langsung disambut oleh ratusan masyarakat, dan juga dihadiri oleh gubernur dan petinggi TNI di kalsel pada saat itu, diadakan pesta besar dengan menyembelih sapi dan dibagikan serta dimakan bersama-sama masyarakat di desa longawang. Ibnu Khajar dan pengikutnya turun menyerahkan diri di Desa Ambutun kemudian terus bergerak ke desa longawang Hulu Sungai Selatan. Ibnu hajar turun dengan pakaian tentara kebanggaan nya, seragam tentara dengan atribut lengkap dengan pangkat letnan dua. Baju kebanggaan nya pada saat dia sebelum memberontak. 

Setelah itu ibnu hajar menyerah dan organisasi Kesatuan Rakyat Yang tetindas resmi dibubarkan. Ibnu hajar di bawa ke banjarmasin, dibanjarmasin beliau terus di bawa ke Jakarta, di Jakarta bukannya dimasukkan pendidikan kemiliteran, bukan pula diberikan kenaikan pangkat, tapi beliau di masukkan ke tahanan, kemudian beliau di siding atas dasar pemberontakan dengan hukuman mati. akhirnya beliau dihukum mati. Sejak saat itu tidak ada lagi berita tentang beliau, tidak tahu beliau masih hidup atau sudah mati, kalau sudah mati tidak ada juga yang tahu dimana beliau dimakamkan. Sampai detik inipun sosok ibnu hajar masih menjadi misteri……
Wallahu a’lam bisshawab………..

Sumber : http://www.facebook.com/home.php#!/notes/rusdian-noor/ibnu-hajar/1977841640719

Baca jua ini :
Ibnu Hajar dari sudut Pandang yang berbeda
Ibnu Hajar dan Stigma Pemberontak

Surat Wasiat Sultan Adam

Posted: Kamis, 24 November 2011 by Rusman Effendi in
0

Bismillaahirrahmaanirrahim


Surat Wasiat ini masih tersimpan baik, memiliki perjalanan sejarah yang panjang, dan mungkin tidak sembarang orang bisa memegangnya/menyimpannya. (Wallahualam bishawab)
Surat wasiat Sultan Adam ini intinya adalah pengaturan suksesi tahta Kesultanan Banjar kepada cucunya Pangeran hidayatullah. Dibuat pada tanggal 12 Shafar 1259 H, atau 14 Maret 1843 M, 14 tahun sebelum Sultan Adam Wafat (usia Pr Hidayat ~ 21 thn). Kenapa kepada cucunya ? saya kurang tahu pasti, yang pasti karena anak beliau Sultan Muda Abdurrahman wafat dan Pr. Hidayatullah adalah anak dari Sultan Muda Abdurrahman, kemungkinan terbesar cucunya tersebut memiliki perangai yang baik, sampai2 Sultan Adam menaruh hormat terhadap Pr. Hidayatullah.

Agar tidak terjadi perselisihan, Sultan Adam dengan bijak segera membuat Surat Wasiat Suksesi Kesultanan Banjar karena wafatnya anak beliau sebagai putra mahkota. Hal ini mencegah terjadi perebutan kekuasaan sesama anak-anak beliau maupun cucu-cucunya.
Sesudah Wafatnya Sultan Adam tahun1857 M , surat wasiat tersebut dibacakan oleh Mufti Kesultanan Banjar Haji Jamaluddin. Maka di nobatkanlah Pr. Hidayatullah sebagai Sultan, Raja Banjar dengan gelar Al-sulthan Hidayatullah Al-watsiqubillah.
Sepeninggal Sultan Hidayatullah tahun 1904, surat wasiat ini kemudian dipegang oleh putra beliau Pr. Alibasyah, kemudian oleh kakekku Pr. Sadibasyah (beliau sempat melegalisir keabsahan surat wasiat tersebut tahun 1974) dan selanjutnya oleh Ibunda Ratu Yus Roostianah Arma (disahkan dengan saksi dari adik-adiknya kakek dan putra - putrinya kakek).

Ini adalah alih aksara kedalam huruf latin dari surat wasiat. Surat wasiat ditulis dalam tulisan ArabMelayu/Arab Banjar. ( Lihat Foto Surat Wasiat )

Bismillahirrahmannirrahim
Asyhadualla illahhaillallah naik saksi aku tiada Tuhan lain yang disembah denngan se-benar2nya hanya Allah. Wa asyhaduanna Muhammaddarrasulullah naik saksi aku Nabi Muhammad itu se-benar2nya pesuruh Allah Ta'alla.
Dan kemudian dari pada itu aku menyaksikan kepada dua orang baik2 yang memegang hukum agama Islam yang pertama Mufti Haji Jamaluddin yang kedua pengulu Haji Mahmut serta aku adalah didalam tetap ibadahku dan sempurna ingatanku.
Maka adalah aku memberi kepada cucuku Andarun bernama Pangeran Hidayatullah suatu desa namanya Riyam Kanan maka adalah perwatasann tersebut dibawah ini , mulai di Muha Bincau terus di Teluk Sanggar dan Pamandian Walanda dan Jawa dan terus digunung Rungging terus digunung Kupang terus di gunung Rundam dan terus di Kepalamandin dan Padang Basar terus dipasiraman gunung Pamaton terus digunung Damar terus di Junggur dari Junggur terus di kala'an terus digunung Hakung dari Hakung terus digunung Baratus, itulah perwatasan yang didarat.
Adapun perwatasan yang di dipinggir sungai besar maka adalah yang tersebut dibawah ini, mulai diteluk Simarak terus diseberang Pakan Jati terus seberang Lok Tunggul terus seberang Danau Salak naik kedaratnya Batu Tiris terus Abirau terus di Padang Kancur dan Mandiwarah menyebalah gunung Tunggul Buta terus kepeda Pahalatan Riyam Kanan dan Riyam Kiwa dan tamunih yaitu Kusan.
Kemudian aku memberi keris namanya Abu Gagang kepada cucuku.
Kemudian lagi aku memberi suatu desa namanya Margasari dan Muhara Marampiyau dan terus di Pabaungan kahulunya Muhara Papandayan terus kepada desa Batang Kulur dan desa Balimau dan desa Rantau dan desa
Banua Padang terus kahulunya Banua Tapin.
Demikianlah yang berikan kepada cucuku adanya.
Syahdan maka adalah pemberianku yang tersebut didalam surat kepada cucuku andarun Hidayatullah hingga turun temurun anak cucunya cucuku andarun Hidayatullah serta barang siapa ada yang maharu biru maka yaitu aku yiada ridho dunia akhirat.
Kemudian aku memberi tahu kepada sekalian anak cucuku dan sekalian raja-raja yang lain dan sekalian hamba rakyatku semuanya mesti me-rajakan kepada cucuku andarun Hidayatullah ini buat ganti anakku Abdurrahman adanya.

Tertulis kepada hari Isnain tanggal 12 bulan Shaffar 1259
Syahid mufti Haji Jamaluddin, Syahid pengulu Haji Mahmut.

Sumber : Facebook Pangeran Hidayatullah Al Watsiqubillah

Undang-Undang Sultan Adam

Posted: Minggu, 20 November 2011 by Rusman Effendi in
0

“Pada hejrat sanat 1251 pada hari Chamis yang kalima belas hari bulan Almuharram djam pukul sembilan pada ketika itulah aku Sultan Adam memboeat Undang-undang pada sekalian ra’jatku supaja djadi sempurna agama rakjatku dan atikat mereka itu supaja djangan djadi banyak perbantahan mereka itoe dan soepaja djadi kamudahan segala hakim menghukumkan mereka itu aku harap djuga bahwa djadi baik sekalian hal mereka itu dengan sebab undang-undang ini maka adalah undang-undang ini maka undang-undangku beberapa perkara”

Undang-undang ini ditetapkan pada kamis 15 Muharram 1251 Hijriah pukul 09.00 pagi oleh Sultan Adam. Undang-undang ini dibuat oleh sebuah Tim dengan pimpinan oleh Sultan sendiri dan dibantu oleh anggota antara lain menantu Sultan sendiri Pangeran Syarif Hussein. Mufti H. Jamaluddin dan lain-lain. Maksud dan tujuan dari Undang-Undang ini dikeluarkan jelas tertulis dalm konsiderannya yaitu :  
-         untuk menyempurnakan agama dan kepercayaan rakyat 
-         untuk mencegah jangan sampai terjadi pertentangan rakyat, dan  
-         untuk memudahkan bagi para hakim dalam menetapkan hukum agar rakyatnya menjadi baik.  

Perkara 1
Adapoen perkara jang pertama akoe soeroehkan sekalian ra’jatkoe laki-laki dan bini-bini beratikat dalal al soenat waldjoemaah dan djangan ada seorang baratikat dengan atikat ahal a’bidaah maka siapa-siapa jang tadangar orang jang beratikat lain daripada atikat soenat waldjoemaah koesoeroeh bapadah kapada hakimnja, lamoen benar salah atikatnja itoe koesoeroehkan hakim itoe menobatkan dan mengadjari atikat jang betoel lamoen anggan inja dari pada toebat bapadah hakim itu kajah diakoe
Pasal ini menetapkan kepada sekalian penduduk seluruh Kerajaan Banjar agar berpegang pada itiqad Ahlussunah wal Jamaah, berdasarkan mazhab Syafei seperti yang diajarkan oleh Syekh Abu Hasan al Asy’ari dan al Maturidi. Pasal ini sebagai reaksi dari adanya berbagai aliran sufi yang mengajarkan berbagai ajaran yang bertentangan atau menyimpang dari Faham Ahlussunah wal Jamaah, seperti ajaran Wahdatul Wujud yang pernah menghebohkan Kerajaan Banjar yang dibawa oleh Syekh Abdul Hamid Abulung. Kalau ada orang yang menganut Faham yang bertentangan dengan Faham Ahlussunah wal Jamaah supaya segera dilaporkan kepada Hakim dan Hakim wajib membetulkan itiqadnya dan seandainya orang tersebut tidak mau bertobat, supaya dilaporkan kepada Sultan.

Perkara 2
Tiap-tiap Tatoeha kampoeng baoelah langgar soepaja didirikan mereka itoe sembahjang bardjoemaah pada tiap-tiap waktoe dengan sekalian anak boeahnja dan koesoeroeh meraka itoe membawai anak-anak boeahnja sembahjang berjoemaah dan sembahjang djoemaat pada tiap djoemaat lamoen ada njang anggan padahkan kajah diakoe.
Pasal ini memuat kewajiban bagi tetua kampung untuk membuat langgar (surau), tempat salat berjamaah dan diwajibkan bagi setiap warga kampung untuk melaksanakan salat Jumat berjamaah. Dan bagi mereka yang ingkar dilaporkan pada Sultan. Pasal ini menunjukkan bagaimana pelaksanaan hukum Islam itu dijalankan, sebab Sultan juga campur tangan dalam hal masalah warga kampung yang ingkar salat berjamaah dan ingkar salat hari Jumat. Perintah kesultanan untuk menjalankan salat Jumat ini memang sejak zaman Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah I. Sanksi bagi mereka yang tidak Salat itu adalah denda. Masalah denda ini cukup berat hingga pernah dipermasalahkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan guru beliau Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi di Madinah sewaktu beliau menuntut ilmu agama di sana. Hasil pembicaraan itu melahirkan sebuah kitab yang bernama Fatawa.

Perkara 3
Tiap-tiap Tetoeha kampoeng koesoeroehkan memadahi anak boeahnja dengan bermoefakat, astamiwah lagi antara berkarabat soepaja djangan djadi banjak bitjara dan pembantahan.
Suatu kewajiban pula bagi Tetua Kampung untuk saling menasehati khususnya keluarganya dan anak buahnya agar selalu bermufakat dan bermusyawarah supaya jangan terjadi perselisihan dan percekcokan. Sangat jelas disini Sultan menekankan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Perkara 4 
Siapa-siapa jang hendak nikah kepada hakim koesoeroeh orang jang terlebih adil di dalam kampoeng itoe membawanja kepada hakim sekoerangnja doea orang lamoen kadada seperti itoe djangan dinikahkan.
Pasal ini mengatur masalah perkawinan. Barangsiapa yang ingin nikah harus datang kepada hakim dengan membawa dua orang dari warga kampungnya yang dianggap adil. Kalau tidak ditemukan persyaratan itu maka tidak dapat dinikahkan. Kedua orang yang adil itu fungsinya menjadi saksi sesuai dengan ketentuan Hukum Islam. Dalam kesultanan Banjar terdapat jabatan yang mengatur masalah perkawinan dan juga berwenang dalam masalah pengadilan. Jabatan tersebut:

  • Mufti : hakim tertinggi, pengawas pengadilan umum.
  • Qadhi : pelaksana hukuman dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berjalan dengan wajar.
  • Penghulu : hakim yang kebanyakan, mendapat cap atau piagam dari Sultan. Penghulu adalah petugas yang menjalankan pelaksanaan perkawinan menurut hukum Islam. Pada waktu itu Penghulu juga merupakan hakim pada tingkat rendah.

Perkara 5
Tiada koebarikan sekalian orang menikahkan perempoean dengan taklik kepada moejahab jang lain dari pada jang moejahab Sjafei maka siap jang sangat berhadjatkan bataklid pada menikahkan perempoean itoe bapadah kajah diakoe dahoeloe.
Pasal ini juga mengatur tentang masalah perkawinan. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh berlainan mazhab kecuali hanya mazhab Syafi'i. Kalau juga terjadi sebelumnya harus dilaporkan kepada Sultan. Dalam hal ini jelas bahwa mazhab Syafei adalah mazhab resmi kesultanan dan penyimpangan dari mazhab Syafi'i, berarti tidak sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan.

Perkara 6
Mana-mana perempoean jang hendak minta pasahkan nikahnja lawan lakinja maka hakim koesoeroeh mamariksa apa-apa ekral bini-bini itoe padahakan kajah diakoe. Pasal itu masih mengatur tentang perkawinan.
Pasal ini menyebutkan bahwa bagi setiap perempuan yang ingin membatalkan nikahnya dengan suaminya, maka diperintahkan agar hakim memeriksa apa ekral perempuan itu dan melaporkannya kepada Sultan.

Perkara 7
Tiada koeberikan moefti membari pidatoe hendak berhoekoem atau orang jang dalam tangan berhoekoem dan tiada koebariakan orang itoe maminta pitoea hakim hanja djoea mamintakan pitoeanja.
Mufti adalah hakim tertinggi selaku pengawas peradilan umum. Meskipun demikian dia dilarang untuk memberikan fatwa perkara atau orang yang sedang berperkara begitu pula bagi orang yang sedang berperkara dilarang meminta fatwa kepada mufti dan hanya hakim yang dibolehkan untuk meminta fatwa kepada mufti. Jadi mufti hanya bisa memberikan fatwa kalau diminta oleh hakim yang sedang memeriksa dan mengadili suatu perkara.

Perkara 8
Siapa-siapa jang datang kepada mufti memadahkan soeroehankoe meminta pitoea, tiada koebariakan moefti memberi pitoea lamoen tiada lawan tjapkoe
Sebagai kelanjutan dari pasal sebelumnya, pasal ini memperingatkan kepada mufti, bahwa mufti dilarang membawa kepada seseorang dengan meminta fatwa Sultan, kecuali dia membawa tanda-tangan Sultan dengan cap kerajaan.

Perkara 9
Siapa-siapa jang berhoekoem tiada koebariakan masoek pada radja-radja atau mantri atau pambakal atau panakawan.
Pasal memuat larangan bagi pejabat pemerintahan Kesultanan seperti para raja, mantri, pambakal atau panakawan untuk mencampuri urusan orang-orang yang saling berperkara. Tentang jabatan panakawan disini adalah orang-orang yang menjadi suruhan raja atau kepala-kepala yang dibebaskan dari segala pekerjaan negeri dan dari segala pembayaran pajak.

Perkara 10
Sekalian hakim lamoen soedah habis periksanja kedoea pihak perkara da’wa dan djawab dan saksi djaerah koesoeroehkan moefakat mamoetoeskan itoe lawan chalifahnja dan toean loerahnja.
Pasal ini memuat kewajiban bagi para hakim setelah selesai melaksanakan pemeriksaan perkara dakwaan dan jawaban serta saksi-saksi diperintahkan untuk mufakat dengan khalifah (wakil kadhi) dan lurah (setara camat). Sistem pengadilan seperti ini memberi gambaran bahwa sistem peradilan pada masa Sultan Adam mirip dengan Peradilan di negeri Anglo Saxon yang mengenal sistem Yuris.

Perkara 11
Lamoen soedah djadi papoetoesan itoe bawa kajah ading-ading dahoeloe mantjatjak tjap di dalam papoetoesan itoe.
Menurut pasal ini bilamana keputusan sudah selesai harus dibawa lebih dahulu kepada ading-ading. Ading disini yaitu adik, maksudnya adik Sultan yang saat itu menjabat sebagai Mangkubumi (Pangeran Mangku Bumi Nata/nama sebelumnya Pangeran Husin), karena semua putusan harus dicap oleh Mangkubumi. Mangkubumi memegang wewenang sebagai pelaksana administrasi tertinggi.

Perkara 12
Siapa-siapa jang kalah bahoekoem maka enggan ia dari pada kalahnja itoe sarahkan kajah ading papoetoesannja itoe ading jang mengaraskannja.
Pasal ini menyebutkan bahwa barangsiapa yang kalah dalam berperkara dan tidak mau menerima atas kekalahannya itu, putusannya itu diserahkan pada Mangkubumi untuk mengatakannya. 

Perkara 13
Sekalian bilal-bilal dan kaoem-kaoem ada hakim mengoeroes bitjara pahakoemen djangan ada jang enggan karena itoe perintah joea.
Pasal ini menjelaskan bahwa para bilal, kaum (merbot) diberi tugas oleh hakim untuk menyelesaikan masalah suatu perkara mereka tidak boleh menolak. Para bilal, kaum (merbot) pada waktu Kesultanan Banjar merupakan bagian dari aparat pelaksanaan hukum karena kedua jabatan itu dapat diminta oleh hakim untuk membantu melaksanakan keputusan Pengadilan yang bertindak atas nama Sultan. 

Perkara 14
Kalau ada orang jang naik hoekoeman kajah hakim endada lawan soerat da’wah dan djawab tiada koebariakan hakim membitjarakannja.
Menurut pasal ini bilamana ada orang yang hendak berperkara kepada hakim harus dengan surat gugatan dan jawaban tertulis bila tidak demikian hakim tidak dibolehkan untuk memeriksanya. Ini merupakan ketentuan yang lebih maju di dalam hukum acara bilamana dibandingkan dengan perkara di muka hakim Gubernemen Belanda yang waktu itu dibolehkan gugatan secara lisan, sedangkan disini disyaratkan dengan tertulis. 

Perkara 15
Lamoen ada menda’wi mandjoeloeng soerat da’wi kajah hakim koesoeroeh djoeloeng menda’wi alaihi maka lamoen soerat anggan menda’wi alahi daripada mendjawab da’wi itoe pada hal sampai lima belas hari anggannja itoe koesoeroehkan hakim memoetoeskan hoekoemnya dengan woekoelnja.
Pasal ini menjelaskan bahwa suatu gugatan yang masuk harus diserahkan dulu kepada tergugat dan tergugat harus menjawabnya. Apabila dalam waktu 15 hari ia belum mengajukan jawaban maka Hakim diperintahkan untuk memutuskan perkaranya. 

Perkara 16
Mana-mana segala perkara jang dahoeloe daripada zamankoe tiada koebariakan dibabak dan mana-mana segala perkara zamankoe lamoen njata salahnja adja dibabak diboejoerakan oleh hakim.
Pasal ini menjelaskan bahwa segala peraturan dan perundangan yang berlaku sejak dahulu sebelum Sultan Adam tetap diberlakukan sampai saat itu tidak dibenarkan untuk diubah, dan sebaliknya segala peraturan sejak zaman Sultan yang ternyata salah, bertentangan terutama dengan hukum syariat Islam hakim boleh memperbaikinya. 

Perkara 17
Siapa-siapa jang baisi tanah pahoemaan atau doekoeh atau djenis milik lain daripada itoe jang bersanda pada waktoe ini atau handak mendjandakan jang terdjoeal atau handak mandjoeal atau tersewakan atau handak menjewakan atau jang terkadoeakan atau handak mengadoeakan atau jang terindjamkan atau handak maindjamkan datang kepada hakim bersaksi dan hakim itoe koesoeroeh baoelah soerah besar milik dan hakim soerah besar tempat segala tarich itoe soepadja digadoeh oleh Hakim-Hakim ganti berganti dan apabila taboes manaboes datang djoea kepada hakim boleh memboeang kadoeanja tarich itoe maka ampoenja milik dan orang saorang orangnja memberi kepada hakim lima doeit
Pasal ini mengatur tentang masalah tanah yang selengkapnya berbunyi : siapa-siapa yang mempunyai sawah atau tanah kering atau jenis hak milik lainnya yang digadaikan atau hendak menjual disewakan atau hendak menyewakan, meminjam dengan syarat bagi hasil (mangdoeakan) harus melapor kepada Hakim dengan membawa saksi-saksi, dan hakim membuatkan surat pengesahannya dua rangkap, satu rangkap bagi pemilik asal dan satu rangkap untuk pihak kedua. Hakim harus membuat buku besar yang berisi tentang masalah-masalah seperti itu supaya dapat diketahui bagi hakim selanjutnya ganti berganti. Biaya untuk pembuatan surat menyuratnya sebesar lima duit. Disini terlihat adanya aturan yang jelas karena semua harus didaftar pada Hakim atau ada tanda pendaftaran dari hakim. 

Perkara 18
Mana-mana orang jang barambangan laki-laki sebab perbantahan ataoe lainnja tiada koebariakan itoe lakinja memegang bininja hanja koesoeroeh segala berkebaikan maka hakim serta kerabat kedoea pihak koesoeroeh memadahi dan membaikkan dan apa-apa kesalahan kedoea pihak dan apabila anggan menoeroet hoekoem dan adat serta hadjat minta baikan pada hal perempoean itoe keras tiada maoe berkebaikan lagi maka padahakan kajah diakoe.
Pasal ini mengatur masalah perkawinan dan secara lengkapnya berbunyi : Siapa-siapa suami isteri sedang dalam pertengkaran dan pisah tidur (berambangan), suaminya jangan-jangan mempersulit posisi isterinya dengan cara tidak berkumpul tetapi juga tidak dicerai, dan pihak keluarganya dan hakim berkewajiban merukunkan kembali suami isteri tersebut, dan apabila keduanya tidak mau, maka masalahnya harus dilaporkan kepada Sultan untuk menyelesaikan tingkat akhir. 

Perkara 19
Tiada koebariakan orang menjarahkan batagihan kepada radja-radja atau mantri-mantri atawa lamoen tiada soerat hakim.
Pasal ini mengatur hukum peradilan dan hukum acara, seseorang dilarang untuk menyerahkan penagihan piutang kepada pejabat-pejabat kerajaan tanpa ada surat perintah dari hakim. Dalam hal ini terlihat dengan jelas bahwa kerajaan Banjar tidak membenarkan perlakuan sewenang-wenang kalau tidak ada kerajaan tertulis tentang perintah dari hakim, hal ini berlaku untuk semua orang termasuk anak-anak raja atau para bangsawan. 

Perkara 20
Sekalian banoea tiap-tiap tatoeha kampoeng koesoeroehkan mendjaga boelan pada tia-tiap awal boelan Ramadan dan achirnja dan tiap-tiap boelan hadji dan awal boelan Moeloed maka siapa-siapa jang melihat boelan lekas-lekas bapadah kapada hakimnja soepaja hakimnja lekas-lekas bapadah kajah diakoe maka mana banoea jang dilaloeinja ilir itoe ikam kabari samoeanja.
Pasal ini diwajibkan setiap kampung untuk menjaga dan melihat bulan pada tiap-tiap awal bulan Ramadan, akhir Ramadan, pada tiap-tiap awal bulan Zulhijah (bulan Haji). Pada tiap-tiap awal bulan Rabiul Awwal (bulan Maulud Nabi) dan bilamana melihat sesegeralah melapor pada Hakim dan Hakim melapor pada Sultan agar dapat diumumkan keseluruh kerajaan. Pasal ini mengatur masalah yang bersangkutan dengan peribadatan khususnya ibadah puasa pada bulan Ramadan. Dalam hal ini kerajaan Banjar memegang teguh prinsip ru’yatul hilal dalam penetapan awwal Ramadan, Idhul Fitri dan Idhul Adha adalah dasar yang diamalkan Rasullah saw dan khulafaur Rasyidin dan yang dipegangi oleh seluruh ulama Madzahibil Arba’ah. Sedangkan dasar hisap falak untuk menetapkan tiga hal tersebut adalah dasar yang tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin serta diperselisihkan keabsahannya dikalangan para ulama. 

Perkara 21
Tiap-tiap kampoeng kaloe ada perbantahan isi kampoengnja koesoeroehkan membitjarakan dan mamatoetkan moefakat lawan jang toeha-toeha kampoengnja lamoen tiada djoea dapat membicarakan ikam bawa kepada hakim.
Menurut pasal ini bilamana terjadi di sengketa di dalam kampungnya maka diperintahkan untuk mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilaman tidak berhasil barullah dibawa kepada Hakim. Dalam masayarakat Banjar sampai sekarang masih menjadi suatu tradisi ‘mematut” yaitu mendamaikan antara kedua belah pihak yang bersengketa, seperti kasus pelanggran hukum seperti perkelahian. Jadi terdapat lembaga hukum secara tradisi dalam menyelesaikan persengketaan untuk dirukunkan kembali, sehingga tidak terjadi timbulnya perasaan dendam antara kedua belah pihak ‘Lembaga Bapatut” ini dihadiri oleh kedua belah pihak dan seluruh kerabat keluarga terdekat yang bersengketa yang dipimpin oleh tetuha kampung. Kalau tidak terdapat penyelesaian, barulah dibawa kepada hakim. Kalau ini yang terjadi maka kerukunan bermasyarkat membahayakan sebab perasaan dendam tidak terhapuskan. Pasal ini menunjukkan bahwa kerajaan Banjar menerapkan hukum Islam sesuai dengan ketentuan dalam Al Qur’an Surat al Hujarat ayat 10, yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat selamat”. 

Perkara 22
Sekalian orang jang berhoeboengan jang telah dihoekoemkan oleh hakim-hakim tiada koebariakan lari kepada siapa-siapa dan tiada koebariakan siapa-siapa jang mengeia-i orang jang dihoekoemkan hakim itoe mana-mana orang jang enggan dari pada perintahan ini maka lari djoea ija kepada siapa-siapa akoe hoekoemkan.
Pasal ini melarang bagi orang yang telah divonis oleh hakim untuk meminta bantuan hukum kepada orang lain atau menggunakan kenalan atau kerabat dekat dengan kerajaan untuk meringankan atau membebaskan. 

Perkara 23
Sekalian orang jang telah berdjoeal tanah pahoemaan ataoe doekoeh ataoe lain-lainja pada zaman dahoeloe sama ada soedah tardjoealnja kalain lain benda itoe ataoe tatap adja di dalam tangannja maka manoentoet karabatnja nang mandjoeeal itoe menda’wi berserikat lawan diija lagi baloem dibagi banda itoe dan djikalaoe moefakat jang manda’wo berserikat dengan jang mandjoeal itoe sekalipoen apdahal lawannya banda jang di dalam tangan jang manoekar itoe doea poeloeh tahoen ataoe lebih maka anjar menda’wi pada hal hidoep kadoeanja lagi hadir kadoeanja.di dalam masanja jang tersebut itoe di dalam tangan jang manoekar maka tiada koebariakan jang mandjoeal itoe ataoe jang manda’wa berserikat itoe manaoetoet kepada hakim-hakim dan segala hakim-hakim tiada djoea koebariakan membitjarakan djoea sebab karena lawas.
Menurut ketentuan pasal ini bahwa setiap yang menjual sawah atau kebun dan lainnya pada masa lampau, baik barang yang dijual itu tetap berada ditangan sipembeli maupun sudah berpindah tangan, timbul tuntutan dari salah seorang keluarga bahwa barang yang dijual itu adalah miliknya bersama atau harta warisan yang belum dibagi paraid, pada terjualnya sudah lebih 20 tahun, pada masa hidupnya ia bersama-sama tetapi baru saja dia menggugat maka tuntutan itu tidak berlaku dan para hakim dilarang memeriksa perkara itu. 

Perkara 24
Ikam sekalian hakim-hakim kaloe ada orang jang mandjoeloeng da’wa dan djawabnja ikam oelahkan tarieh tatkala ia mandjoeloeng da’wa dan djawanja itoe maka mana-mana jang berkahandak kepada saksi ikam pinta saksinja itoe di dalam sakali hadja inja jang boleh maadakan saksi itoe di dalam masa saboelan adja inja maingat-ingatan saksinya maka kalaoe soedah habis segala bitjaranja jang masoek kepada hakim ikam poetoeskan adja djikalaoe maadakan poelang saksi jang lain daripada jang diseboetnya dahoeloe djangan ikam tarima lagi.
Ada dua hal yang diatur dalam pasal ini. Yang pertama adalah kewajiban para hakim untuk menerima gugatan dan jawaban, sedangkan yang kedua adalah mengenai saksi dalam suatu perkara. Barangsiapa dalam satu perkara mengajukan saksi, maka ia diberi waktu satu bulan untuk mengingat-ingat siapa saksi, yang akan diajukannya, tetapi kalau lewat maka hakim dapat memutuskan perkaranya. Bilamana yang bersangkutan akan mengajukan saksi berbeda dengan saksi terdahulu, maka saksi tersebut harus ditolak oleh hakim. 

Perkara 25 
Mana-mana laki-laki jang berbini boedjang kamudian maka manda’wa lakinja itoe akan bininja tiada berdara serta diwantar-wantarkanja kepada setengah manoesia jang djadi aib perempuan itoe jaitoe bapadah kajah diakoe karena inja menda’wa dengan tiada saksi.
Pasal ini mengatur tentang masalah seorang laki-laki yang kawin dengan perawan akan tetapi menuduh istrinya tidak perawan lagi dan menyebar luaskannya (mewantar-wantarkan) kepada orang lain sehingga isteri menjadi malu atau aib, supaya dilaporkan kepada Sultan karena ia menuduh tanpa saksi. Sultan akan menetapkan hukuman apa yang dijatuhkan padanya. 

Perkara 26 
Mana-mana pahoemaan dan doekoeh jang soedah dijoeal ataoe soedah dibagi oleh orang toenja ataoe oleh hakim pada hal masyhoer wantar didjoeal toekarnja atauoe bahagianja itoe apalagi djika ada saksi kerabat ataoe pasah sekalipoen maka soedah sepoeloeh tahoen atawa lebih maka tiada boeleh anak tjoetjoenja dan karabatnja membabak manoentoet kepada hakim kamoedian daripada soedah mati jang mendjoeal ataoe jang manarima bahagi.
Dalam pasal ini disebutkan bahwa apabila sawah atau kebun yang sudah dijual atau sudah dibagi oleh orang tuanya dan umumnya mengetahuinya apalagi ada saksi dari kerabatnya sendiri, anak cucunya tidak diperkenankan membatalkan sawah atau kebun yang telah dijual atau telah dibagi itu. 

Perkara 27 
Siapa-siapa jang menang bahoekoem tiada boleh orang jang menang itoe menoentoet sewa tanahnja itoe pada jang kalah bahoekoem selama perhoemaan di dalam tangannja itoe adanja.
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa barang siapa yang menang dalam perkara sengketa tanah, yang menang tidak boleh menuntut sewa tanah kepada yang kalah. Jadi maksdunya meskipun tanah itu beberapa tahun berada ditangan pengusaha yang tidak berhak, tetapi apabila tanah itu kembali kepada yang berhak sebagai akibat menang perkara, si pemenang tidak boleh menuntut sewa tanah kepada yang kalah selama tanah itu dikuasai oleh yang kalah. Pasal-pasal 23, 26 dan 27 meskipun tidak dicantumkan hukumnya dalam kitab fiqih, namun Agama Islam memberikan wewenang kepada setiap penguasa atau kerajaan untuk menentukan yang mana yang baik demi terjaminnya keadilan dan ketertiban. 

Perkara 28 
Siapa-siapa jang handak bahoema di dalam watas Halabioe ataoe Negara ataoe lainnja maka jaitoe boeleh orang mangakoei watas jang tiada dioesahanija dan perhoemaannja dan tiada boleh orang maharoe biroe.
Pasal ini menjelaskan tentang kebebasan bagi setiap warga dalam wilayah kesultanan untuk mengerjakan sawah khususnya di daerah Alabio, Negara lainnya, tidak diperbolehkan penduduk lainnya untuk melarangnya dan tidak boleh seseorang mengakui batas sebidang tanah yang tidak dikerjakan. Dari pasal ini dapat dilihat bahwa pada waktu dahulu khususnya pada masa kesultanan tidak ada keutamaan penduduk di suatu daerah tertentu atas tanah yang di dalam wilayahnya sehingga ia dapat melarang orang dari daerah lain yang akan mengerjakan tanah itu, hal ini juga menunjukkan bahwa di daerah ini khususnya wilayah kesultanan Banjar tidak dikenal semacam hak ulayat menurut ciri-ciri umum. 

Perkara 29
Mana-mana padang jang ditinggalkan orang kira-kira doea moesim ataoe lebih maka kembali mendjadi padang poelang dan tiada tanda milik djadi tattamanja atawa galangan ataoe sungai jang menghidoepi tanahnja itoe maka diganai poela oleh jang lannja itoe serta ditetapinja maka tiada koebarikan orang jang dahoeloe itoe menghendaki lagi atas menoentoet kepada hakim-hakim.
Pasal ini mengatur tentang tanah bekas ladang yang ditinggalkan oleh penggarapnya selama dua tahun atau lebih, kembali menjadi padang atau tanah yang tidak ada yang memilikinya dengan syarat tidak ada bekas-bekas tanda yang memilikinya seperti galangan (tanggul), sungai yang digali untuk mengairi sawah itu. Pasal ini mengatur kebiasaan penduduk yang mengerjakan tanah secara berpindah (shifting cultivation) dan kemungkinan membuka tanah yang belum pernah dibuka yang lebih subur. Bekas tanah garapan ini apabila ditinggalkan selama dua tahun tidak ada yang memiliki dan tidak boleh menuntut kalau orang lain yang mengerjakannya.

Pasal-pasal 28 dan 29 tentang pengolahan tanah dan mentelantarkan tanah diatur sesuai dengan hukum Islam yang dalam ilmu Fiqih disebut hakut tahjir tetapi menurut Adijani Al Alabi disebut Ihyanul Mawat, yaitu menghidupkan tanah yang sudah mati. Pasal-pasal yang menyangkut tentang masalah pola penguasaan, pemilikian dan penggunaan tanah tertuang dalam pasal 17, 23, 26, 27, 28 dan pasal 29 dari Undang-undang Sultan Adam. Meskipun Undang-undang Sultan Adam tersebut sudah dihapus sejak Belanda menguasai Kesultanan Banjar tahun 1860, tetapi sampai sekarang pola penguasaan, pemilikan dan pola penggunaan tanah seperti tercantum dalam pasal-pasal itu tetap berlaku secara tradisional dikalangan masyarakat Banjar. Segala permasalahan yang timbul dari akibat penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah ini selalu hukum atau undang-undang adalah merupakan jalan terakhir yang ditempuh. Dalam hal ini peranan Kepala Desa atau Pembakal sangat besar. Pembakal yang menandatangani segel tanah yang sampai sekarang merupakan bukti yang dipercaya dalam masalah pemilikan tanah.
Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-undang no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa hampir tidak menimbulkan permasalahan dengan adat yang menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah (Land Tenure) di Kalimantan Selatan. Segel tanah yang merupakan bukti pemilikan tanah secara adat, disamping ditandatangani Pambakal juga dikuatkan oleh Camat sebagai Kepala Pemerintahan Kecamatan. Sebagai bukti hak milik secara adat sudah sah. Untuk hal-hal yang bersifat resmi bukti hak milik secara adat sudah tidak berlaku, karena berdasarkan UUPA tersebut harus berbentuk sertifikat tanah yang dibuat oleh Kepala Pertanahan Kabupaten. Dengan dihapusnya Kesultanan Banjar oleh Belanda maka Undang-undang Sultan Adam juga tidak berlaku lagi, tetapi sampai sekarang penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah masih hidup dikalangan masyarakat Banjar dan dihormati secara tradisi.

Perkara 30
Mana-mana orang kababaran jang tiada mengakoe jaitoe padahkan kajah diakoe. Pasal ini mengatur tentang wanita yang melahirkan tanpa suami dan tidak mengaku bahwa dia berzina, harus dilaporkan pada Sultan untuk mentapkan jenis hukumannya. Melahirkan kababaran juga diartikan dengan melahirkan secara paksa atau digugurkan sebagai akibat hubungan tanpa nikah atau akibat kumpul kebo.

Perkara 31 (Pasal terakhir Versi Martapura)
Mana-mana Loerah dan Mantri-Mantri Oeloe Soengai dan lainnja tiada koebariakan masoek bitjara dan mengganggoe kepada segala perintah jang koetentoekan kepada sekalian Hakim-hakim dan Khalifahnja dan toean Loeranja tida koebariakan loempat dan ganggoe kepada sekalian perintah jang koebariakan loempat dan ganggoe kepada sekalian perinat jang koententoekan kepada segala Lalawangan dan Loerah dan Mantrinja maka adalah perintah jang koetentoekan kepada sekalian Hakim itoe mana-mana sekalian bitjara Hakim menghoekoem perbantahannja sekalian ra’jatkoe dan perintah yang koetentoekan kepada sekalian ra’jatkoe moefakat dan misiwarat Hakim-Hakim dan Lalawangan dan Loerah Mantrinja Koesoeroeh mengeraskan hoekoem Allah Taala jang dihoekoemkan oleh Hakim jaitoe sekalian Lalawangan dan Loerahnja dan Mantrinja Koesoeroeh mengraskan hoekoem itoe djikalaoe berkata seorang kepada saoempama Lalawangan oeloen redha bernadzar adja adja doea real setali tiba-tiba orang sampai batagih nadzar dan batin maka taloempat orang itoe ditagih wang panahoernja itoe tiada halal karena nadzar itoe pasid tiada sah karena ketiadaan aldzam jang mewajibkan membajar dia dan djika diperoleh sjaratnja sekalipoen jaitoe tiada dikanai segala gawi dan poepoe pinta dan tiada dikanai gawi dan poepoe pinta dan tiada hiaroe biroe hak milik oeloen wadjib atas oeloen maatoeri kepada tiap-tiap moesim doea rial setali maka apabila diperoleh syaratnya itoe wadjiblah atas mambajar dan tiada halal pembajarannja. Sekalian kepada kepala djangan ada jang menjalahi apabila ikam tiada kawa manangat lekas-lekas bapadah kajah diakoe.

Pasal ini merupakan pasal terakhir dari versi Martapura, sedangkan versi Amuntai bersambung beberapa pasal lagi sampai pasal 38.

Pada pasal ini dapat dipelajari beberapa hal tentang Kesultanan Banjar ialah tentang nama-nama pejabat kerajaan, petunjuk pelaksanaan menjalankan perintah kerajaan, tentang kewajiban pembayaran nadzar dan baktin, tentang kewajiban mamatuhi fatwa Mufti H. Jamaluddin. Nama-nama pejabat kerajaan yang disebutkan dalam Undang-Undang ini ialah : Pembakal, Lurah, Lalawangan dan Mantri yang masing-masing menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya. Pembakal adalah kepala dari sebuah kampung yang meliputi beberapa buah anak kampung. Lurah adalah pembantu Lalawangan yang mengamati pekerajaan beberapa pembakal dan dalam melaksanakan tugasnya Lurah dibantu oleh Khalifah, bilal dan kaum. Lalawangan adalah kepala distrik yang membawahi bebrapa Lurah. Mantri adalah pangkat kehormatan untuk orang-orang yang berjasa kepada kerajaan. Beberapa di antara Mantri itu juga menjabat sebagai Lalawangan. Petunjuk pelaksanaan untuk menjalankan tugas perintah dari kerajaan, dalam Pasal ini disebutkan bahwa :
  1. Pejabat-pejabat kerajaan tidak boleh mencampuri urusan peradilan. Tugas peradilan adalah menetapkan hukum dalam beberapa perkara. Dalam hal ini terlihat adanya semacam jaminan kebebasan peradilan seperti pada masa sekarang.
  2. Pejabat-pejabat kerajaan harus mendukung dan menguatkan apa-apa yang telah menjadi keputusan Hakim. Tugas tersebut didasarkan atas permusyawarahan, (moefakat dan misiwarat). Dalam hal ini terlihat adanya semacam koordinasi pelaksanaan tugas seperti pada masa sekarang.
Dalam hal pelaksanaan tugas kerajaan ini terlihat adanya pembagian tugas dan wewenang antara pejabat-pejabat kerajaan dan tugas peradilan yang dilakukan oleh para Hakim. Pejabat kerajaan tidak boleh mencampuri Urusan peradilan bahkan harus menguatkan putusan pengadilan itu.

Pasal itu mengatur pula tentang kewajiban seorang warga kerajaan. Kewajiban itu ada tiga jenias berdasarkan pasal ini yaitu kewajiban membayar nadzar dan baktin dan kewajiban berbakti untuk kerajaan melaui tenaga yang disebut “gawi” dan “pupuan pinta”. Kewajiban “gawi” dan “pupuan pinta” ini merupakan kewajiban bagi setiap warga sesuai dengan ketentuan yang sudah ditentukan. Bagi warga penduduk kerajaan yang dikenakan uang baktin yaitu dibayar dengan tenaga yaitu bekerja untuk kepentingan kerajaan tetapi dapat juga diganti dengan sejumlah uang yang besarnya sudah ditetapkan. Uang nadzar adalah kewajiban membayar dengan uang tanpa dapat diganti dengan bekerja untuk kerajaan. Kewajiban gawi dan pupuan pinta semacam pekerajaan gotong royong yang diwajibkan bagi setiap warga kesultanan. Masalah selanjutnya dari Pasal ini adalah kewajiban bagi semua warga kerajaan untuk tunduk pada fatwa Haji Jamaluddin yang menjadi Mufti Kerajaan, cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Fatwa yang bersifat dan menyangkut masalah agama terhimpun dalam Perukunan yang merupakan petunjuk praktis untuk menjalankan ibadah. Tetapi dalam pasal ini adalah kewajiban taat pada fatwa Haji Jamaluddin Mufti Kerajaan tentang uang nadzar yang sah dan yang tidak sah. Nadzar yang sah adalah yang dinyatakan secara tegas dengan berbagai persyratannya, sedangkan nadzar yang tidak mencukupi persyaratannya adalah tidah sah Kalau ada yang tidak taat pada fatwa itu, penyelesaiannya diserahkan pada Sultan. Pasal 32 menurut catatan Biro Hukum adalah teks dari Pasal 33 menurut versi Amuntai. Undang-undang Sultan Adam menurut versi Amuntai tersebut Pasal 1 sampai pasal 30 isinya sama. Pasal 31 agak berbeda isinya, selanjutnya Undang-undang Sultan Adam versi Amuntai dilanjutkan dengan Pasal 33 sampai Pasal 38.

Perkara 33
Sekalian orang yang handak bahoekoem kepada Kadhi di Boemi Selamat jaitoe naik dahoeloe kepada si Boetoeh atawa kepada Mangkoebumi, maka ia berdoea itoe koesoeroeh mamariksa serta memoetoeskan mesjawaratnya, kemoedian bawa poetoesannja kepada diakoe dan barang jang berkehandak kepada Kadhi, maka si Boetoeh koesoeroeh memberi tjap soepaja diterima oleh KadhiPada Pasal ada dua istilah yang perlu diketahui terlebih dahulu yaitu Boemi Selamat dan Si Boetoeh.

Bumi Selamat adalah nama keraton Banjar di Martapura. Sebutan si Butuh adalah sebutan untuk Putra Mahkota yaitu putera dari Sultan Adam sendiri yang saat itu adalah Sultan Muda Abdurrahman. Sedang sebutan ading-ading dalam Pasal 11 maksudnya adalah Mangkubumi (Perdana Mantri) yang saat itu dijabat oleh adik Sultan sendiri, yaitu Ratu Anum Mangku Bumi Kencana (sebelumnya Pangeran Noh). Dalam pasal ini disebutkan bahwa barangsiapa yang hendak berperkara kepada Kadhi di Bumi Selamat terlebih dahulu harus datang kepada putera Mahkota Sultan Muda dan Mangkubumi dan kedua pejabat kerajaan itu harus diberi cap kerajaan dan selanjutnya dibawa kepada Sultan. Barangsiapa yang ingin meneruskannya kepada Kadhi maka putera mahkota Sultan Muda harus memberi cap kerajaan agar perkaranya diterima oleh Kadhi.

Perkara 34
Akan Kadhi Bumi Selamat telah moefakat sama diakoe, jang ia tiada manarima chal-chal orang melainkan jang ada tjap si Boetoeh dan tjap Mangkoeboemi, dan lagi apabila ada jang anggan daripada poetoesan Hakim jang soedah tjadi tjap Mufti, Mangkoeboemi jang koesoeroeh mengarasi dengan mengikat atawa marantai. 
Menurut pasal ini bahwa Kadhi telah bermufakat dengan Sultan bahwa ia tidak menerima persoalan-persoalan melainkan yang ada cap dari Sultan Muda dan Mangkubumi. Kalau orang tetap enggan atau menolak putusan itu, maka Mangkubumi diperintahkan menghukumnya dengan hukuman mengikat atau dirantai.

Perkara 35
Apabila Kadhi Boemi Selamat mendapat kenjataan orang jang melanggar oendang-oendang atawa orang jang mendjoeal namakoe atawa nama di Boetoeh atawa nama Mangkoeboemi atawa jang mentjampoeri pekerdjaan si Boetoeh atawa pekerdjaan Mangkoeboemi. Kadhi Boemi Selamat, koe-idzinkan mahoekoem orang itoe sekoerang-koerangnja setahoen.
Pasal ini menegaskan sanksi hukuman bagi orang yang melanggar Undang-Undang menjual nama Sultan, Sultan Muda, Mangkubumi maka Kadhi Bumi Selamat (Qadi Martapura) diperintahkan untuk menghukum orang tersebut dengan hukuman setahun. Pasal ini merupakan satu-satunya pasal yang memuat sanksi hukuman kurungan sekurang-kurangnya setahun. Di dalam pasal ini diatur adanya beberapa tindak pidana yang diancam dengan hukuman kurungan sekurang-kurangnya setahun, yaitu :
  1. Melanggar Undang-undang Sultan Adam. Memang tidak jelas jenis melanggar undang-undang pasal berapa yang kena sanksi hukuman kurungan setahun itu. Dalam pasal-pasal sebelumnya, hanya disebutkan bapadah kajah diakoe, artinya laporkan kepada Sultan. Dalam hal ini jenis hukumannya terserah pada Sultan.
  2. Menipu atau perbuatan tertentu dengan menggunakan nama Sultan untuk kepentingan keuntungan pribadi.
  3. Menipu atau melakukan perbuatan tertentu dengan menggunakan nama Sultan Muda, untuk kepentingan pribadi.
  4. Menipu atau perbuatan tertentu dengan menggunakan Mangkubumi, untuk kepentingan pribadi.
  5. Mencampuri pekerjaan Sultan Muda, Mangkubumi, maksudnya mengganggu dengan perbuatan, tindakan atau ucapan kelancaran tugas dari pejabat kerajaan tersebut.

Perkara 36
Barangsiapa ada kedapatan moefakat pekerdjaan kadhi dahoeloe dari pada menjampaikan kepada si Boetoeh atawa kepada Mangkoeboemi maka orang itoe koehoekoem dengan hoekoeman jang telah koeizinkan kepada Kadhi itoe jaitoe jang diseboet dalam perkara jang ketiga poeloeh lima
Pasal ini merupakan kelanjutan dari pasal 35, bahwa seseorang yang berperkara itu harus terlebih dahulu mengajukan kepada si Butuh dan Mangkubumi jangan langsung kepada Kadhi. Kalau diketahui menyalahi prosedur maka dikenakan hukuman seperti pasal 35.

Perkara 37
Hendaklah sekalian ra’jatkoe ingat-ingat akan sekalian oendang-oendangkoe ini.
Pasal ini mempertegas bahwa semua rakyat kerajaan harus memperhatikan apa yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, dengan kata lain harus mematuhinya.

Perkara 38
Ini oendang-oendang kepada sekalian kepala-kepala baik radja-radja atawa mantri, pambakal lainnja apabila ia koesoeroeh maka didjalankannja apa-apa jang terseboet di dalam tjapkoe itoe, maka ada jang melawan, jaitoe djikalaoe ia memboenoeh, maka tiadalah koebarikan hoekoem boenoeh kepada orang jang mendjalankan perintahkoe itoe.
Pasal ini merupakan ketentuan kepada pejabat-pejabat kerajaan seperti Raja-Raja, Mantri, Pambakal atau lainnya yang menjalankan tugas kerajaan atas perintah Sultan, maka ada yang melawan dan si Penjabat itu terpaksa membunuh orang yang melawan itu, maka si Penjabat tersebut tidak dikenakan sanksi hukuman.

Undang-undang Sultan Adam versi Amuntai ini ditutup dengan kata-kata yang berbunyi : Maka ini oendang-oendang telah moefakat akoe dengan Mangkoeboemi dan sekalian radja-radja dan Mantri-Mantri Pembakal dan Toean-Toean Haji dan sekalian Kepala-Kepala adatnja.

Pasal penutup ini, menjelaskan bahwa Undang-undang Sultan Adam ini telah mendapat persetujuan dari segala lapisan pejabat Mangkubumi, Raja-Raja, Mantri-Mantri, Pambakal dan Tuan Haji itu maksudnya adalah para alim ulama.